Korban peristiwa Talangsari, Lampung, hingga kini menanti penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Korban peristiwa Talangsari, Lampung, hingga kini masih menanti penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat yang mereka alami. Penyelesaian kasus non-yudisial yang ditawarkan pemerintah dinilai tidak cukup untuk menegakkan keadilan dan menghapus stigma yang dirasakan korban.
”Pengakuan dan penyesalan (pemerintah) tidak bisa dibandingkan dengan stigma yang kami rasakan. Kami distigma sebagai gerakan pengacau, teroris, dan itu sangat menyakitkan,” kata Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung Edi Arsadad saat acara diskusi bertajuk ”34 Tahun Peristiwa Talangsari” di Bandar Lampung, Rabu (8/2/2023). Acara yang diikuti berbagai organisasi masyarakat sipil di Lampung itu juga disiarkan secara daring.
Selain stigma, para korban Talangsari dan keluarganya juga kehilangan hak-haknya selama puluhan tahun. Kehidupan korban dan keluarganya setelah peristiwa itu menjadi kacau dan karut-marut. Selain kehilangan harta benda, anak-anak korban Talangsari juga tidak bisa melanjutkan pendidikan secara layak kala itu.
Kondisi itu secara turun-temurun berdampak pada keturunan mereka. Hingga kini, ada puluhan korban Talangsari dan keluarganya masih hidup dalam diskriminasi. Stigma sebagai gerakan kelompok pengacau itu hanya bisa hilang jika peradilan HAM atas kasus itu ditegakkan.
”Pengadilan HAM yang kami nantikan agar ada ketok palu dan jelas siapa pelaku, siapa korban. Selama belum ada ketok palu, kami masih tetap distigma,” katanya.
Edi menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui dan meminta maaf atas pelanggaran HAM di Talangsari dapat menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung untuk melanjutkan penyidikan atas kasus itu sesuai rekomendasi Komnas HAM. Ia menyatakan siap menunjukkan sejumlah bukti terkait keterlibatan aparat dalam pembantaian warga kelompok Anwar Warsidi pada 7 Februari 1989.
Berdasarkan catatan Kompas, sampai saat ini pihak yang telah diproses secara hukum dan dinyatakan bersalah baru dari kelompok Anwar Warsidi. Sementara keterlibatan pihak militer yang ketika itu berada di bawah komando Komandan Korem 043 Garuda Hitam tidak pernah diusut.
Seperti diketahui, operasi militer dilakukan pada 7-8 Februari 1989 di Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara (saat itu Lampung Tengah). Dalam operasi militer tersebut dilaporkan 31 orang tewas, termasuk Warsidi. Dari pihak militer, Kapten Soetiman yang kala itu menjabat Danramil Way Jepara juga dilaporkan tewas.
Adapun berdasarkan investigasi oleh Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Smalam), jumlah korban meninggal mencapai 246 orang. Para korban bukan hanya dari kelompok Warsidi, melainkan juga warga dari desa-desa sekitar.
Edi menambahkan, pemerintah juga harus memberikan pemulihan hak-hak kepada korban Talangsari secara transparan dan bermartabat. Selama ini, bantuan sosial dan pembangunan untuk warga di Talangsari dianggap sebagai bantuan untuk para korban pelanggaran HAM. Padahal, warga Talangsari juga mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan warga lainnya.
Sebelumnya, pada November 2022, Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dipimpin Makarim Wibisono turun ke Lampung untuk menyelesaikan kasus Talangsari. Selain bertemu dengan para korban, tim juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membahas penyelesaian kasus Talangsari secara non-yudisial.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung Sumaindra Mey menilai, tidak adanya penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu juga berdampak terhadap gerakan masyarakat sipil saat ini. Ia mencontohkan, saat akan menggelar diskusi publik terkait peristiwa Talangsari, aparat meminta data terkait siapa saja yang akan hadir pada acara tersebut. Padahal, diskusi publik bukanlah hal yang semestinya dikhawatirkan oleh aparat.
Diskusi publik bukanlah hal yang semestinya dikhawatirkan oleh aparat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, HS Tisnanta, menilai, Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM non-yudisial bekerja dengan waktu yang terlalu singkat. Pengakuan dan penyesalan Presiden Joko Widodo atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu juga tidak diikuti dengan keputusan yang jelas.
Padahal, kata Tisnanta, proses penyelesaian atas kasus pelanggaran HAM yang telah ditegaskan oleh Komnas HAM semestinya diikuti dengan proses pengadilan untuk menjelaskan peristiwa itu dan siapa saja yang menjadi korban dan pelaku dalam tragedi itu. ”Inilah tantangan yang paling berat. Keputusan itu yang masih ditunggu,” ucapnya.
Sementara itu, Jane Rosalina dari Divisi Pemantauan Impunitas Kontras menilai, pemerintah tidak punya komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara yudisial. Padahal, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dan merekomendasikan agar negara membentuk peradilan HAM yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun, hingga kini, para pelaku pelanggaran HAM berat di Tanah Air tidak pernah diusut.