Islam Nusantara Berpotensi Beri Sumbangsih pada Perdamaian Dunia
Islam Nusantara bisa memberikan sumbangsih pada penciptaan perdamaian dunia. Nilai-nilai lokalitas, kontekstualitas, dan inklusivitas dinilai menjadi kuncinya. Hanya saja, butuh kejelasan konsep tentang Islam Nusantara.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Islam Nusantara bisa memberikan sumbangsih pada penciptaan perdamaian dunia. Nilai-nilai lokalitas, kontekstualitas, dan inklusivitas dinilai menjadi kuncinya. Hanya saja, butuh kejelasan konsep Islam Nusantara itu sendiri agar menjadi pemahaman bersama.
Demikian benang merah Konferensi Internasional Islam Nusantara dan Perdamaian Dunia, Minggu (5/2/2023), di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa). Seminar hasil kerja sama dengan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu digelar sebagai rangkaian kegiatan menyambut Resepsi Satu Abad NU pada 7 Februari 2023 di Sidoarjo.
Hadir sebagai pembicara kunci dalam seminar tersebut Martin van Bruinessen, pengamat Islam Nusantara dari Utrecht University. Sedangkan pembicara sepanjang seminar adalah Ulil Abshar Abdalla selaku Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Muhammad Syaikhon (dosen Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya), KH Abdul Ghofur Maimoen (Rais Syuriah PBNU), Amanda Tho Seeth (German Institute for Global and Area Studies/GIGA), dan Samir Boudinar (dosen Ouigda University, Maroko).
Seminar dibuka dengan pertanyaan mengenai konsepsi Islam Nusantara. Martin van Bruinessen memulai sambutannya dengan pertanyaan kejelasan konsep Islam Nusantara. Sebab, selama ini banyak orang memiliki tafsir berbeda-beda. Apakah Islam di Nusantara, Islam dengan corak budaya Nusantara, atau lainnya. Namun, menurut Martin, sangat mungkin, Islam Nusantara adalah semacam konsep pembebasan ala Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai pencetus pembebasan pemikiran bangsa atas pemikiran Barat.
”Mungkin konsep Islam Nusantara juga untuk membebaskan diri dari gerakan-gerakan Islam transnasional, proses Arabisasi, dan sejenisnya, yang pemilihannya mungkin meneruskan perdebatan sejak akhir Orde Baru di mana Gus Dur dan Nurcholish Madjid mengkritisi aktivis dewan dakwah atau ustaz yang datang dari Timur Tengah yang ingin membersihkan Islam dari sisa-sisa budaya lokal. Juga bisa jadi mengkritik golongan konservatif yang mempromosikan Islam berbaju Arab untuk menggantikan Islam lokal. Dan, perjuangan Islam yang dipolitisasi menjadi Islam yang mengakui pentingnya tradisi budaya Indonesia,” katanya.
Menurut Martin, ada dua hal yang bisa dikaitkan dengan konsep Islam Nusantara, yaitu Islam Nusantara sebagai kenyataan (yang sudah terjadi) serta sebagai cita-cita ke depan. Terminologi Islam Nusantara pertama muncul dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015.
Pertanyaan serupa muncul dari Amanda saat menjelaskan keterkaitan Islam Nusantara dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ala PBB. Menurut dia, konsep PBB itu butuh masukan lokal dan pendekatan lokal.
”Ada potensi besar Islam Nusantara memberikan masukan lokal dari Indonesia, demi perdamaian global dan pembangunan berkelanjutan. Namun, butuh posisi dan definisi Islam Nusantara secara jelas, misal, kemanusiaan serta cita-cita Islam Nusantara ke depan seperti apa?” tanya Amanda.
Sifat-sifat tertentu yang berkembang di Nusantara dan itu membawa kebaikan. (Ulil Abshar Abdalla)
Masukan lokal dimaksud, misalnya bagaimana penanganan HAM dalam Islam, kesetaraan jender, dan lainnya. Dan, tentang kesetaraan jender, menurut Amanda, bisa dijawab dengan dimasukkannya 11 perempuan dalam susunan kepengurusan PBNU.
Pertanyaan-pertanyaan konsep Islam Nusantara itu dijawab oleh Ulil Abshar Abdalla dalam makalahnya. Bahwa Islam Nusantara sebagai kenyataan, tidak bisa dimaknai sebagai semata-mata Islam di Nusantara. Namun, Nusantara artinya lebih ke sifat. ”Yaitu sifat-sifat tertentu yang berkembang di Nusantara dan itu membawa kebaikan,” kata Ulil. Dan, sifat-sifat relevan diangkat dalam Islam Nusantara adalah terkait konsepsi manusia dan kemanusiaan.
Tantangan
Mengusung Islam Nusantara, yaitu Islam dengan sifat-sifat kenusantaraannya, menurut Ulil bukan tanpa tantangan. Menurut dia, tantangan ke depan adalah bagaimana generasi penerus bisa kembali memahami dan mengenali ciri-ciri ke-NU-annya.
”Saya khawatir tradisi NU hilang karena generasi muda terlalu semangat belajar ilmu rasional/umum (al-'ulum al-'aqliyah) dan meninggalkan ilmu agama (al-ulum al-syar'iyah). Akibatnya, tantangan ke depan adalah bagaimana menjembatani antara ilmu-ilmu agama dan umum sehingga (ilmu agama) bisa dipelajari oleh generasi muda dengan lebih menyenangkan dan tidak membosankan,” kata Ulil.
Dan, kunci jembatan keilmuan itu, menurut Ulil, adalah memahami sistesis Al Gazali (Gazalian sintesis), yaitu memahami ilmu agama sekaligus umum, tetap modern tetapi berbasis pada tradisi. ”Abad kedua NU nantinya, harapannya bisa melahirkan generasi ilmuwan muslim modern, tapi berangkat dari tradisi. Inilah sintesis Al Gazali,” kata Ulil.
Tantangan besar lain yang harus dihadapi NU versi Martin Van Bruinessen, jauh lebih banyak, yaitu terkait masalah global. ”Sekarang banyak anak muda tertarik ustaz keren ketimbang yang diajarkan orangtuanya. Apakah NU akan mampu menawarkan interpretasi Islam Nusantara yang menarik bagi anak muda dan mengilhami generasi berikut? Bagaimana mengembangkan wacana yang mampu membahas masalah besar yang dihadapi manusia, misalnya lingkungan hidup dan perubahan iklim, hukum internasional (perang), resolusi konflik, HAM, kesetaraan ras dan jender, kesetaraan agama. Apakah kita sanggup? Apa NU sanggup merumuskan wacana yang menjawab semua tantangan itu?” kata Martin di awal.
Dengan semua hal itu, Muhammad Syaikhon, dosen Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, menegaskan bahwa Islam Nusantara berpotensi mampu mengatasi tantangan itu semua dengan nilai-nilai yang diemban. ”Sumbangsih Islam Nusantara pada perdamaian dunia sangatlah dimungkinkan. Sebab, Islam Nusantara memiliki nilai-nilai inklusi seperti moderat, toleran, harmoni (imbang), saling mengenal, tolong-menolong (at taawun). Islam Nusantara itu berusaha mendialektikakan antara keridaan Allah dan manusia,” katanya.