Sutradara Silvester Petara Hurit menghadirkan seni teater di panggung realitas. Harapan orang kecil, serta kritik terhadap realitas yang menggelisahkan orang Lamaholot, disuarakan dengan lantang di panggung ini.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
DOKUMEN NARA TEATER
Pertunjukan teater Sade Bero di pesisir pantai Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 2019. Teater yang diproduksi Nara Teater dengan sutradara Silvester Petara Hurit itu mengangkat kisah nelayan yang kesulitan menambatkan perahu mereka.
Seorang pria berambut gondrong mendayung perahu dari tengah laut menuju pesisir. Bola matanya bergerak liar, tampak kebingungan mencari tambatan perahu. Di pesisir, pria lain merayap di samping puing perahu yang hancur dibentur gelombang ke tembok.
Kedua orang itu kemudian berusaha menyelamatkan perahu lain yang tersisa meski harus memikulnya melewati tembok tinggi. Langkah gontai mereka diikuti seorang perempuan berselimut jala ikan dengan wajah letih sambil berurai air mata.
Ketiga orang itu tengah bermain teater yang mengangkat kisah nyata nelayan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Nelayan terimpit ruang menambatkan perahu setelah pemerintah membangun tembok di bibir pantai. ”Sade Bero” atau menambatkan perahu menjadi judul pertunjukan teater yang disutradarai Silvester Petara Hurit ini.
Teater tidak dipentaskan di atas panggung. Silvester dengan berani mementaskannya langsung di lokasi yang menjadi subyek kerisauan nelayan, yakni proyek pembangunan talud Taman Kota Larantuka. ”Konsepnya panggung di atas realitas,” ujar Silvester saat ditemui di Larantuka, Rabu (25/1/2023).
Silvester menjadikan panggung teater sebagai pelantang harapan orang kecil, serta kritik terhadap realitas yang menggelisahkan. Ia gelisah dengan nilai budaya Lamaholot yang kini kian tersisi termasuk kebijakan pembangunan yang mencaplok ruang tambat perahu.
DOKUMEN NARA TEATER
Pertunjukan teater ”Sade Bero” di pesisir pantai Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT, pada 2019. Teater yang diproduksi Nara Teater dengan sutradara Silvester Petara Hurit itu mengangkat kisah nelayan yang kesulitan menambatkan perahu mereka.
”Dalam budaya Lamaholot, laut dan darat adalah lumbung pangan. Laut dan darat adalah ibu. Dan karena itu sakral. Laut metafora kesejahteraan dan keberlimpahan. Darat seumpama rumah tempat manusia pulang,” kata Silvester.
Lamaholot merupakan subetnis yang mendiami wilayah ujung timur Pulau Flores, keseluruhan Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan sebagian Kepulauan Alor. Silvester lahir dan tumbuh dalam budaya Lamaholot. Ia anak adat dari Desa Lewotala, sebuah perkampungan di punggung Gunung Ile Mandiri.
Kritik atas kebijakan pembangunan itu hanyalah satu dari begitu banyak karya Silvester. Sebelumnya, ia menyutradarai teater berjudul ”Karya Ina Lewo” pada tahun 2018. Dalam teater ini, ia mengangkat kisah perempuan tangguh dari Pulau Adonara. Seorang perempuan yang menyelamatkan kampungnya dari musuh.
Dalam budaya Lamaholot, laut dan darat adalah lumbung pangan. Laut dan darat adalah ibu. Dan karena itu sakral. Laut metafora kesejahteraan dan keberlimpahan. Darat seumpama rumah tempat manusia pulang.
Karya ini sengaja mengangkat peran, posisi, dan arti perempuan dalam kultur Lamaholot. Perempuan Lamaholot lekat dengan tradisi menenun, nyanyian tenun, syair-syair, dan mantra-mantra. Peran dan posisi itu kini mulai tergeser, nyanyian tenun dan syair hampir tidak terdengar lagi.
Silvester juga pernah memanggungkan teater berjudul ”Tonu Wujo” pada tahun 2018 dan 2019. Mitologi Tonu Wujo adalah tentang Sang Dewi Padi, figur sentral di balik kultur berladang orang Lamaholot. Pertunjukan ini hendak mengingatkan penghormatan terhadap bahan makanan, kerja, kejujuran, dan pengorbanan.
Silvester Petara Hurit di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT, Rabu (25/1/2023).
Terakhir, pada 25 November 2022, Silvester menyutradarai teater berjudul ”Mencari Bung” yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ia mengangkat nasib para guru pada momentum Hari Guru yang jatuh pada hari yang sama. Para pemainnya adalah guru-guru dari Flores Timur.
Naskah teater itu diambil dari kisah nyata. Guru bergaji rendah dengan segala tekanan kerja. Hampir 20 tahun sebagai seniman pertunjukan, penulis, dan kemudian menjadi sutradara, Silvester tidak kesulitan menyusun naskah. ”Sekitar satu bulan saja, kami sudah bisa mulai latihan,” ucapnya.
Berutang demi teater
Tantangan berikutnya melatih para pemain terater yang hampir semua belum pernah menggeluti seni pertunjukan. Ia mengenali potensi setiap individu dan memotivasi mereka untuk menampilkan yang terbaik. Tempat latihan pun berpindah-pindah, mulai dari pekarangan rumah, lapangan, kebun, hingga pantai.
Sebagai pelatih senior, Silvester punya metode sendiri. Metode yang lahir dari pengalaman melatih dari kampung ke kampung di Pulau Flores, Solor, dan Adonara. Ia semakin rutin melatih setelah mendirikan Nara Teater pada 3 Juni 2016.
Nara Teater sengaja dibentuk untuk mendorong gairah berteater di Flores Timur. Di sana wadah para peminat dan pegiat teater bertemu, berdialog, serta belajar mengenal, mendalami, dan mencintai teater. Nara Teater juga mendorong dan membantu anggotanya mengembangkan teater di setiap komunitas.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Warga berjalan menuju patung Bunda Maria di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT, pada Rabu (25/1/2023). Larantuka dijuluki ”Kota Reinha” yang berarti kota dengan pelindung Bunda Maria. Penduduk kota itu mayoritas memeluk Katolik.
Terbukti, beberapa binaan Silvester sudah membentuk kelompok sendiri. Ada Vero Ratumakin yang memimpin Sanggar Sina Riang, Zaeni Boli dengan Bengkel Sastra Milenial, dan banyak lagi. ”Saya senang melihat perkembangan komunitas mereka,” ucap Silvester.
Silvester mulai berkecimpung di dunia kesenian teater sejak tahun 2004. Pada tahun yang sama, ia mengambil kuliah di Jurusan Teater pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Kampus itu kini bernama Institut Seni Budaya Indonesia.
Ia pernah bermain sebagai aktor untuk beberapa pementasan, di antaranya ”Oidipus Rex” karya Sophokles (2005), ”Kawin Bedil” karya Arthur S Nalan (2006), ”Kisah Cinta” karya Arifin C Noer (2006), ”Silver Wedding” karya John Bowen (2007), dan ”Shakespeare Carnivora” karya BenJon (2009).
Tahun 2007 hingga 2010, ia fokus pada menulis esai, resensi, dan kritik teater. Tahun 2010, ia mulai menetap di kampung halamannya Flores Timur dan kemudian mendirikan Nara Teater. Di samping tugas pokoknya sebagai aparatur sipil negara, ia menulis naskah, memberi workshop, dan menyutradarai pertunjukan.
Beberapa kali ia membawa Nara Teater tampil di Jakarta. Dengan modal urunan para pemain, selebihnya ia menggunakan uang pribadi. ”Suatu waktu setelah selesai tampil di Jakarta, uang saya habis. Saldo di ATM tidak bisa tarik lagi. Akhirnya terpaksa utang dulu,” tuturnya mengenang.
Masjid Agung Syuhada di jantung kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT, pada Rabu (25/1/2023). Toleransi di kota mayoritas pemeluk Katolik itu sangat terjaga.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Kabupaten Flores Timur Maksimus Masan Kian mengatakan, Silvester sangat berjasa dalam memajukan seni pertunjukan teater di Flores Timur. Silvester intens mendampingi anak-anak di sekolah dalam mengembangkan karya seni teater.
”Kita tidak bisa menghitung berapa karya di dunia teater sejak ia ada di Flores Timur. Yang saya ikuti, di antaranya, pentas seni teater yang digagas melibatkan siswa SMA se-Kabupaten Flores Timur sampai menghantarkan siswa SMA Negeri 1 Adonara Barat meraih Juara I di tingkat nasional,” kata Maksimus.
Zaeni Boli, penggiat seni yang pernah belajar bersama Silvester, menuturkan, Silvester selalu menekankan pada proses. Setiap orang ditempa lewat disiplin dan rela berkorban. ”Dan ia (Silvester) memberi contoh untuk itu,” ujar Zaeni.
Berteater, bagi Silvester, adalah sebuah perjalanan, sebuah proses pencarian dan penemuan jati diri pribadi dan diri kolektif-kulturalnya sebagai orang Lamaholot. Panggung teater kini telah berdiri, mari nikmati karya Silvester.
DOKUMEN NARA TEATER
Salah satu penampilan Silvester Petara Hurit (kedua dari kiri) dalam teater.