Pengguna sistem pembayaran QRIS naik 816 persen dalam setahun terakhir. Perlahan masyarakat mulai beralih ke pembayaran non-tunai.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Jumlah pengguna Quick Response Code Indonesia Standard atau QRIS di Nusa Tenggara Timur pada 2022 meningkat sekitar 816 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menandakan masyarakat mulai beralih ke transaksi non-tunai yang dianggap lebih praktis.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT pada Jumat (3/2/2023) melaporkan, penggunaan QRIS pada 2021 sekitar 15.000 meningkat menjadi 137.459 pada 2022. Dalam setahun, jumlah pengguna bertambah 122.459 orang.
Selama tahun 2022, tercatat 141.727 pedagang yang menyediakan sistem pembayaran dengan QRIS. Mereka melayani 952.073 transaksi dengan nilai Rp 129,83 miliar. Mayoritas transaksi terjadi di Kota Kupang, ibu kota provinsi.
Menurut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT Donny H Heatubun, QRIS yang baru diluncurkan tahun 2019 itu merupakan sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal. ”Bank Indonesia terus berkomitmen meningkatkan penggunaan QRIS melalui sisi supply (merchant QRIS) dan demand (pengguna QRIS),” katanya.
Bentuk dorongan BI untuk pertumbuhan penggunaan QRIS, lanjutnya, dengan meluncurkan program pasar SIAP QRIS. Sepanjang tahun 2022, peluncuran dilakukan di sejumlah pasar tradisional, seperti Pasar Oeba, Pasar Kasih Naikoten, Pasar Baru Atambua, Pasar Boubou, dan Pasar Nataga.
Selain untuk sektor perdagangan, BI juga mendorong penggunaan QRIS dalam skema lainnya, yaitu untuk transaksi pemerintah daerah, parkir, sumbangan sosial di rumah ibadah.
Diakuinya, tantangan untuk menambah pengguna QRIS adalah banyak kelangan masyarakat yang belum terinformasi. Oleh karena itu, sepanjang tahun 2022, BI telah melakukan sosialisasi sebanyak 29 kali ke berbagai komunitas termasuk perguruan tinggi.
Itu sangat dilematis karena mereka dengan modal kecil yang setiap waktu harus terus diputar. BI fokus dulu pada pedagang besar (Tuti Lawalu)
Masyarakat yang mencoba menggunakan QRIS telah merasakan manfaat pembayaran non-tunai. Sistem itu lebih cepat, tidak memerlukan uang kembalian, dan terbebas dari risiko uang palsu.
”Bank Indonesia terus berkomitmen mendigitalisasi sistem pembayaran di NTT. Kami menargetkan penambahan minimal 150.000 pengguna baru pada 2023 dengan lebih gencar lagi melakukan sosialisasi,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan Kompas, hampir semua supermarket dan minimarket di Kota Kupang sudah menyediakan sistem pembayaran dengan metode QRIS. Bahkan, banyak toko kecil juga sudah menyediakannya, tetapi pembeli yang menggunakan sistem itu masih sangat minim.
Di Pasar Tradisional Betun, Kabupaten Malaka, di lapak pedagang sayur juga disediakan sistem QRIS oleh Bank NTT. Sayangnya, banyak pedagang menolak jika dibayar dengan QRIS.
”Kalau dengan QRIS berarti uang langsung masuk ke tabungan di bank. Kami harus ke bank atau ATM untuk ambil uang. Sementara setiap hari kami pakai uang itu untuk diputar lagi,” kata Anas Bria (50), pedagang sayur.
Bukan hanya itu, Anas juga mengeluh dengan pemotongan saldo tabungan di bank. Bagi dia, penggunaan sistem QRIS merepotkan dan tidak menguntungkan bagi pedagang kecil.
Pengajar ilmu ekonomi pada Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Tuti Lawalu berpendapat, penambahan pengguna sistem QRIS di NTT yang sangat tinggi menunjukkan, digitalisasi sistem pembayaran mulai berjalan.
Ia optimistis, pengguna akan terus bertambah.
Terkait kendala yang dialami pedagang kecil di Betun, menurut Tuti, kondisi itu juga terjadi di pasar tradisional lain. ”Itu sangat dilematis karena mereka dengan modal kecil yang setiap waktu harus terus diputar. BI fokus dulu pada pedagang besar,” ujarnya.