Menko Polhukam Harapkan Keberpihakan DPR untuk Pemberantasan Korupsi
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengharapkan agar DPR mempunyai keberpihakan dalam pemberantasan korupsi seiring dengan terjadinya penurunan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengharapkan agar DPR mempunyai keberpihakan dalam pemberantasan korupsi seiring dengan terjadinya penurunan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia. Menurut dia, kinerja lembaga legislatif memengaruhi penurunan angka tersebut. Apalagi terdapat temuan soal peningkatan risiko korupsi politik.
Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia, pada 2022, Indonesia mencatatkan skor IPK sebesar 34 dan berada pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Jumlah itu menurun empat poin dibandingkan setahun sebelumnya, yakni 38. Penurunan itu sekaligus menjadi yang tertinggi sejak 1995.
”Harus diketahui juga bahwa turunnya indeks persepsi korupsi bukan hanya penilaian ke pemerintah. Penilaiannya itu juga pada legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Jadi, kalau rasanya, di bidang eksekutif (pemerintah) kita sudah habis-habisan. Buktinya peningkatan penegakan hukum,” kata Mahfud seusai mengunjungi Panti Asuhan Bina Siwi, di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (3/2/2023).
Salah satu yang mengakibatkan terjadinya penurunan indeks seara drastis ialah tingginya risiko korupsi politik. Dalam survei tersebut, indikator Political Risk Service (PRS) tercatat anjlok dari 48 poin pada 2021 menjadi 35 pada 2022. Sejumlah hal yang sehubungan dengan PRS, yaitu korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran suap untuk izin ekspor-impor. Dari hasil penelusuran, korupsi politik semacam itu dianggap masih lazim terjadi.
Dengan kondisi tersebut, Mahfud ingin mengajak jajaran legislatif bekerja sama dalam perumusan undang-undang yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Selama ini, pihaknya tidak bisa terlalu dominan dalam upaya tersebut mengingat kewenangan pembuatan undang-undang berada di tangan DPR. Dalam pandangannya, bentuk pencegahan korupsi dalam lembaga legislatif bisa dilakukan jika memang ada kemauan dari lembaga itu sendiri.
“Risiko korupsi politik itu seolah sudah melekat dalam sistem politik kita sehingga pemerintah tidak bisa ikut dalam urusan-urusan partai politik yang punya agenda-agenda apa-apa dan sebagainya,” kata Mahfud.
Bentuk kerja sama yang coba diajukan Mahfud antara lain berupa pengusulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai. Ia menilai, RUU Perampasan Aset, misalnya, bisa menyita aset-aset terkait dugaan korupsi. Itu diyakininya membuat koruptor tidak akan berkutik.
Kemudian, sebut Mahfud, RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai juga tidak kalah penting. Dicontohkannya, transaksi yang nilainya lebih dari Rp 100 juta mesti dikirimkan melalui transfer bank. Mekanisme semacam itu dipercaya mampu mencegah tindak korupsi. Pasalnya, perpindahan tercatat jelas dengan cara seperti itu.
“Kalau (caranya) begitu akan diketahui orang korupsi. Uangnya dari mana saja, dri bank sekian, dikirim ke bank mana saja,” kata Mahfud.
Mahfud mengungkapkan, kedua RUU itu sudah diajukan, tetapi belum disetujui oleh DPR. Memang, bola pemberantasan korupsi juga ada di tangan pemerintah. Sebab, pembuatan suatu kebijakan dilangsungkan lewat kerja sama antara pemerintah dan DPR. Untuk itu, keberpihakan DPR dalam penetapan RUU yang bernapaskan semangat pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan.
Di sisi lain, kata Mahfud, potensi tindak korupsi juga bisa muncul pada administrasi birokasi yang berbelit-belit. Pemerintah mencoba membangun instrumen hukum yang kuat dengan mengeluarkan kebijakan UU Cipta Kerja. Diyakininya, proses administrasi yang berbelit-belit bisa segera ditangani. Itu didukung juga dengan digitalisasi pemerintahan melalui adanya kebijakan berupa Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).
“SPBE ini juga akan segera disahkan Presiden. Korupsi, kolusi, serta pembayaran di bawah meja dan sebagainya bisa ditangkap,” kata Mahfud.
Dihubungi terpisah, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Zaenur Rohman, menyepakati pernyataan Mahfud. Pihaknya setuju jika RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Belanja Tunai segera disahkan.
Di sisi lain, ia juga mendesak agar pemerintah melakukan reformasi dalam penegakan hukum. Bentuk reformasi terentang dari aspek rekrutmen, promosi, mutasi, hingga kesejahteraan aparat penegak hukum.
Lebih lanjut, Zaenur menyatakan, praktik politik juga butuh diperbaiki. Terlebih lagi, kemunduran IPK disebabkan oleh korupsi politik. Pihaknya mengkhawatirkan, korupsi politik bisa meningkat lagi pada 2023. Pasalnya, para politisi tengah mengumpulkan modal politik untuk berkontestasi pada Pemilu 2024. Dalam kondisi tersebut, segenap masyarakat perlu diedukasi guna menolak segal amacam bentuk korupsi politik.
“Kalau itu bisa diperbaiki (reformasi institusi penegak hukum dan sistem penegakan hukum secara menyeluruh), maka kita punya penegak hukum yang bersih. Masalah-masalah penegakan hukum tidak akan menjadi beban. Justru dengan penegak hukum yang bersih, masalah korupsi akan bisa ditekan dan diberantas,” tandas Zaenur.