Kekerasan Seksual di Kampus Masih Marak, UPR Bentuk Satgas Khusus
Kalimantan Tengah masih dijerat darurat kekerasan seksual. Kini, lagi-lagi kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan Universitas Palangka Raya. Kampus pun bentuk tim satgas khusus tangani kasus serupa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Koalisi perempuan yang tergabung dalam Save Our Sister berunjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Jambi, Kamis (26/7/2018). Mereka menuntut dibebaskannya WA (15), korban pemerkosaan yang divonis penjara 6 bulan karena menggugurkan kandungannya.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Universitas Palangka Raya membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Tim itu dibentuk setelah banyaknya kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang ironisnya dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa mereka.
Pranata Hubungan Masyarakat Universitas Palangka Raya (UPR) Despriawan Imanuel menjelaskan, selama terjadi peristiwa kekerasan seksual di lingkungan UPR, belum pernah dibentuk satuan tugas khusus menangani dan mengantisipasi kekerasan seksual di kampus. Hal itu pun tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
”Untuk itu, dukungan dan perlindungan korban tersebut diimplementasikan dengan pembentukan satgas PPKS di UPR,” ucap Despriawan di Palangkaraya, Kamis (2/2/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Aktivis melakukan aksi damai tolak kekerasan seksual pada perempuan, di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (9/12/2018). Mereka mendesak untuk segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Dalam catatan Kompas, dalam dua tahun terakhir selalu terjadi kekerasan seksual di UPR. Tahun 2020, seorang oknum dosen berinisial PS dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan karena melakukan pelecehan seksual terhadap enam mahasiswi.
Adapun pada September 2022, seorang oknum dosen berinisial VAG dilaporkan karena diduga melakukan kekerasan seksual dan penganiayaan terhadap korban yang merupakan mahasiswinya. Kasus itu masih berlanjut hingga kini.
Despriawan menegaskan, dosen tersebut masih datang ke kampus hanya untuk absen, tetapi pihaknya sudah melarang yang bersangkutan untuk mengajar, meneliti, dan melakukan aktivitas pengabdian atas nama kampus. Pihaknya, melalui Satgas PPKS UPR, telah melakukan pemeriksaan bersama-sama tim dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beberapa waktu lalu.
”Sesuai aturannya, kami memberikan sanksi disiplin terhadap pelaku atau terlapor. Itu merupakan rekomendasi dari hasil pemeriksaan tim satgas,” kata Despriawan.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Koalisi perempuan yang tergabung dalam Save Our Sister berunjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Jambi, Kamis (26/7/2018). Mereka menuntut dibebaskannya WA (15), korban pemerkosaan yang divonis penjara 6 bulan karena menggugurkan kandungannya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar (Kombes) Kismanto Eko Saputro menjelaskan, sampai saat ini penyidikan masih dilakukan, tetapi belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Pasalnya, korban (mahasiswi) sampai saat ini belum bersedia untuk menandatangani berita acara pemeriksaan.
”Kami berupaya untuk menghubungi korban untuk menanyakan alasannya (tidak tanda tangan), tapi untuk sementara belum ada tersangka,” kata Eko.
Eko menambahkan, proses hukum masih berlanjut untuk menelusuri kasus tersebut. ”Proses masih berlanjut, kami upayakan maju sampai ke persidangan,” ucapnya.
Perdamaian merupakan tindakan melanggengkan kekerasan seksual
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga membubuhkan tanda tangan saat aksi damai tolak kekerasan seksual pada perempuan, di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (9/12/2018). Mereka mendesak untuk segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Perlindungan korban
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Palangkaraya Aryo Nugroho mengungkapkan, tanggung jawab kampus tidak hanya membentuk satgas, tetapi juga memberikan upaya perlindungan dan pemulihan terhadap korban dan menindak pelaku dengan tegas.
Aryo menambahkan, pihaknya mendapatkan informasi akan ada upaya damai antara pelaku dan korban. Hal itu, menurut dia, sangat janggal dan menilai banyak informasi yang ditutup.
”Informasi yang kami kumpulkan, terduga pelaku pernah menjanjikan akan menikahi korban, tetapi hal itu hanyalah janji palsu untuk melancarkan aksi bejatnya,” kata Aryo.
Aryo menegaskan, jangan sampai ada pemaksaan terhadap korban untuk melakukan perdamaian. Bagi Aryo, perdamaian merupakan tindakan melanggengkan kekerasan seksual tersebut.
”Kami desak penyidik untuk melanjutkan proses hukum terhadap pelaku dan memberikan perlindungan kepada korban, kami juga mendesak UPR untuk melindungi dan memulihkan korban,” ucap Aryo.