Kelakar "Ngaliwet" hingga Ular Tangga di Lampu Merah Kiaracondong
Lampu merah di perempatan Kiaracondong-Soekarno Hatta, Kota Bandung, dianggap sebagai yang terlama di Indonesia oleh publik. Kepadatan dan lalu lintas yang jenuh ini menggambarkan kemacetan yang sulit untuk diurai.

Sejumlah kendaraan melintasi Jalan Soekarno Hatta setelah tertahan di lampu merah perempatan Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/1/2023). Lampu lalu lintas di titik ini dianggap sebagai yang terlama di Indonesia karena kendaraan bisa tertahan hingga 12 menit.
Kota Bandung masih sulit lepas dari kemacetan. Salah satu bentuk keruwetannya terlihat di lampu merah. Jengkel dan kesal pengguna jalan tumpah ruah di sana. Saking jengkelnya, sebagian warga mendaulat lampu merah di perempatan Kiaracondong-Soekarno Hatta sebagai yang terlama di Republik ini.
Gelisah tergambar dari balik canda Riyanto (32), warga Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, yang tengah menunggu lampu merah di perempatan Kiaracondong-Soekarno Hatta, Bandung. Angin sejuk yang membelainya pada Kamis (26/1/2023) pagi itu tidak bisa menghalangi peluh yang terlihat dari sela helm-nya.
“Kalau di lampu merah ini, kita bisa ngaliwet (makan bersama) karena terlalu lama,” ujar Riyanto sambil tertawa. Sesekali dia melirik alat hitung mundur yang berada di sebelah lampu merah yang menunjukkan angka 240 detik. Beruntung, dia berada tidak jauh dari persimpangan.
Baca juga: Otak-atik Atasi Kemacetan Jakarta
Dengan sepeda motornya, Riyanto bergerak lincah di antara antrian mobil, bus dan truk yang berhenti di lampu merah. Dia mendekati bibir perempatan agar bisa melewati kemacetan dengan segera.
Riyanto selalu melewati jalan ini menuju tempat kerjanya di Jalan Asia-Afrika yang berjarak sekitar sembilan kilometer dari rumahnya.Jika berangkat di pagi hari, waktu tempuh menuju kantornya bisa lebih dari 40 menit. Perempatan Kiaracondong adalah titik yang kerap membuat dia jenuh.
“Pokoknya selama ada celah, masuk saja. Kalau terlalu jauh di belakang, bisa kena lampu merah dua kali. Kalau kelamaan, bisa terlambat saya. Masalahnya, ini jalur tercepat, mau tidak mau lewat ini,” ujarnya lesu.

Hitungan durasi lampu merah mencapai 300 detik saat sejumlah kendaraan menunggu lampu merah di perempatan Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/1/2023).
Jika sepeda motor bisa bermanuver di antara celah antrian kendaraan, para pengemudi mobil dan kendaraan besar lainnya hanya bisa pasrah. Jalur dengan lebar sekitar delapan meter dan dibagi empat ruas ini membatasi pergerakan ratusan kendaraan yang lewat.
Bahkan, kemacetan di perempatan simpang Kiaracondong Kamis (26/1/2023) pagi itu mengular hingga ratusan meter. Rijal (40), pengemudi mobil barang yang terhenti di sana, hanya bisa menghela napas. Lampu merah kembali menghambat jalannya untuk ketiga kali. Durasi lampu merah saat itu lebih dari tiga menit, sementara lampu hijau hanya sekitar dua menit.
“Ini sudah lebih 15 menit saya mengantri. Pokoknya kalau di belakang sudah kena lampu merah, pasti terjebak lebih dari sekali. Kadang bisa tiga kali kena lampu merah, dihitung-hitung bisa seperempat jam,” ujarnya.
Rijal sepakat dengan informasi media sosial yang menyebut lampu merah perempatan Kiaracondong ini paling lama se-Indonesia. Bahkan, beragam lelucon muncul dari kondisi ini.
“Ada yang bilang bisa masak sampai main ular tangga di lampu merah ini. Lumayan menghibur,” ujarnya sambil tertawa.
Lalu lintas jenuh
Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung Dadang Darmawan mendengar keresahan yang berbalut canda dari masyarakat Kota Bandung ini. Dia berujar, durasi lampu merah di perempatan Kiaracondong-Soekarno Hatta ini telah diatur maksimum.
Akan tetapi, kondisi lalu lintas di jalur ini dianggap sudah jenuh dan banyak dilalui kendaraan. Hal tersebut berdampak pada sebagian kendaraan mendapatkan siklus lampu merah dan hijau.
“Kami menyetel (lampu merah) itu 380 detik. Tapi kalau misalnya ada informasi sampai 600 detik, berarti mereka kebagian dua siklus. Memang di simpang ini tingkat kejenuhannya luar biasa. Jadi, antara volume kendaraan yang melintasinya dengan kapasitas jalan sudah sangat padat,” paparnya.
Baca juga: Jalur Lintas Bawah Senilai Rp 297 Miliar di Depok Urai Kemacetan
Dadang memaparkan, perbandingan volume lalu lintas dengan kapasitas atau V/C Ratio di jalur ini melebihi 0,8. Jumlah tersebut menunjukkan jumlah kendaraan yang melewati jalur ini sangat banyak sehingga pelayanan lalu lintas terhambat. Selain itu, laju kendaraan rata-rata yang melewati jalur ini di bawah 21 kilometer per jam.
“Berdarasakan perhitungan level of service, kalau rasio sudah di atas 0,8 dan laju kendaraan di bawah 21 kilometer per jam, itu sudah dipastikan jalanan ini macet. Inilah kondisi yang terjadi di lampu merah Kiaracondong,” ujarnya.
Kondisi ini, lanjut Dadang, sudah tidak bisa lagi diantisipasi dengan rekayasa seperti penggunaan lampu pengatur lalu lintas atau lampu merah. Pembangunan infrastruktur seperti jembatan layang dianggap menjadi jalan keluarnya karena jumlah kendaraan di Kota Bandung dan Jawa Barat terus bertambah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, pertumbuhan kendaraan per tahun di provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia ini mencapai 5,58 persen dalam kurun 2017-2021. Di tahun 2021, jumlah seluruh kendaraan di Jabar mencapai 16,84 juta unit, sementara di tahun 2020 sebanyak 16,1 juta unit.
Dari jumlah tersebut, sepeda motor masih menjadi jenis yang menyumbangkan jumlah kendaraan terbanyak di Jabar. Di tahun 2021, jumlah sepeda motor mencapai 12,7 juta unit, atau setara 75,4 persen dari kendaraan yang beredar.
BPS Kota Bandung juga mencatat potensi kendaraan di ibu kota Provinsi Jabar ini. Di tahun 2020, potensi kendaraan Kota Bandung mencapai 1,57 juta unit, dan 1,1 juta unit di antaranya merupakan sepeda motor. Kendaraan umum berjenis bus dan mikrobus hanya 3.249 unit dan minibus sebanyak 4.769 unit.
“Kemacetan ini menandakan aktivitas kendaraan pribadi yang tinggi. Mau tidak mau, masyarakat harus berpindah menggunakan kendaraan umum karena penambahan ruas jalan tidak sebanding dengan kendaraan yang semakin banyak. Namun, kendaraan umum yang layak tidak banyak,” ujarnya.
Moda terintegrasi
Dadang berujar, pihaknya tengah menyiapkan sistem transportasi umum yang aman, nyaman, dan terjangkau. Tidak hanya untuk mengatasi kemacetan akibat kendaraan pribadi, adanya moda angkutan publik ini juga bisa memaksimalkan pelayanan masyarakat saat kereta cepat rute Jakarta-Bandung beroperasi.

Bus Trans Metro Pasundan yang merupakan program Teman Bus dari Kementerian Perhubungan diluncurkan di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (27/12/2021). Bus ini akan melayani lima rute yang melintasi lima kabupaten/kota.
Bus Rapid Transit atau BRT, lanjut Dadang, tengah disiapkan pemerintah. Sistem transportasi berbasis bus ini akan melayani penumpang di wilayah Bandung Raya, dan sebagian besar berada di Kota Bandung.
Menurut Dadang, pemerintah tengah menyiapkan kendaraan yang menjadi angkutan pengumpan atau feeder ke jaringan BRT. Dia berujar, angkot (angkutan kota) akan dikonversi menjadi mikrobus dengan perhitungan satu unit bus menggantikan dua angkot.
“Hitungannya satu angkutan bisa untuk 20 penumpang. Rencana transformasi ini tahun 2024 akan dieksekusi. Semua melibatkan teman-tema dari koperasi angkutan. Semua harus dikomunikasikan dalam menyiapkan angkutan-angkutan feeder dalam menyongsong BRT,” paparnya.
Kebutuhan akan transportasi massal ini juga diutarakan pengamat transportasi dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Sony Sulaksono Wibowo. Dia menyebut, Kota Bandung perlu memperbaiki sistem transportasi publiknya agar bisa dinikmati oleh masyarakat.
Namun, Sony menyarankan moda transportasi di Kota Bandung sebaiknya menggunakan kendaraan kecil. Ruas jalan yang cenderung sempit dan pendek membuat kendaraan besar sulit untuk melewatinya. Beberapa jalan juga melewati kemiringan karena permukaan bumi di Bandung raya yang cenderung cekung seperti mangkuk.
Sony juga menilai angkutan umum di Kota Bandung masih belum terintegrasi. Bahkan, sejumlah wilayah di bagian timur kota ini masih belum terjangkau trayek angkutan umum. Padahal, pertumbuhan perumahan di daerah ini cukup tinggi dan masyarakat di sana perlu mendapatkan layanan publik tersebut.
“Saya cenderung berpendapat Kota Bandung tetap mempertahankan angkot sebagai moda transportasi umum. Jalan di Kota Bandung tidak cocok untuk menggunakan kendaraan besar. Yang terpenting adalah angkutan kota yang terintegrasi, dan saya belum melihat itu di Kota Bandung,” ujarnya.
Budaya masyarakat

Sejumlah pengendara melintas di sekitar lampu merah perempatan Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/1/2023).
Sony juga menilai budaya masyarakat dalam menggunakan angkutan umum di Kota Bandung masih belum terbentuk. Selain mengajak masyarakat untuk beralih ke angkutan umum, dia juga berharap para pemangku kepentingan mampu memberikan pelayanan yang terbaik agar warga bersedia meninggalkan kendaraan pribadinya.
Menurut Sony, kepastian trayek, keamanan, hingga kenyamanan dalam operasional transportasi publik mampu menarik minat masyarakat. Saat itu tercapai, masyarakat juga diharapkan mau beralih agar moda transportasi publik ini bisa digunakan dengan optimal dan jalan tidak dipadati oleh kendaraan pribadi.
“Ini semua tugas bersama dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak hanya pemerintah dan penyedia angkutan, masyarakat juga diharapkan mau menggunakan transportasi publik. Tentu dengan jaminan keamanan, kenyamanan, serta integrasi yang menjangkau masyarakat,” ujarnya.
Masalah ini jelas tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Apalagi, perempatan Kiaracondong-Soekarno Hatta bakal menjadi salah satu akses jalan di sekitar perhentian Kereta Cepat Jakarta-Bandung di kawasan Tegaluar. Dengan potensi 31.125 orang per hari, durasi singkat Bandung-Jakarta yang diklaim hanya 45 menit sangat cepat hanya tinggal angan saat warga melanjutkan perjalanan di dalam kota.
Baca juga : Menanti Lesatan ”Komodo Merah”