Kasus Perkawinan Anak bak Beranak Pinak di Indramayu
Perkawinan anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terus terjadi bak beranak pinak. Kasus itu lahir dari ”rahim” kemiskinan dan memicu perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga ”stunting”.

Lili Marlina (34) menunjukkan baju bertuliskan ”Stop Perkawinan Anak” di rumahnya di Desa Krasak, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (31/1/2023). Lili pernah menikah di usia 17 tahun. Namun, perkawinannya hanya bertahan tiga bulan.
Perkawinan anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terus terjadi bak beranak pinak. Kasus itu lahir dari ”rahim” kemiskinan dan memicu perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga stunting atau tengkes. Dibutuhkan regulasi dan peran berbagai pihak untuk mencegah petaka pernikahan dini.
Lili Marlina (34) masih berusia 17 tahun saat menikah dengan suaminya pada 2006. Saat itu, pria tersebut baru ia kenal sepekan via telepon seluler.
”Ibu bilang, mau ngapain lagi. Menikah aja kalau sudah ada yang lamar,” kenangnya saat ditemui di Desa Krasak, Jatibarang, Selasa (31/1/2023).
Apalagi, Lili kala itu masih masa puber. Perempuan tamatan sekolah dasar ini belum bisa berpikir jernih. Teman-temannya pun sudah banyak yang menikah. Dia juga sudah capek menjadi penjaga warung makan kecil di Jakarta dan Bogor dengan gaji Rp 300.000 per bulan.
Baca Juga: Perkawinan Anak di Indramayu Turut Picu Perceraian hingga Tengkes
Lili akhirnya menempuh hidup baru dengan suaminya di rumah mertuanya di Indramayu. Akan tetapi, anak buruh tani ini tidak merasa bahagia dengan pernikahannya. Kakak iparnya memintanya mengadu nasib di luar negeri sebagai pekerja migran. Suaminya juga menganggur.
Ketika menanti panggilan dari perusahaan penyalur pekerja migran, Lili dan suaminya bercerai di usia pernikahan yang masih tiga bulan. Pemicunya, faktor ekonomi dan orang ketiga.
”Kami pulang ke rumah masing-masing. Hampir setiap malam selama tiga bulan saya menangis,” ucapnya.
Setelah berpisah, ia memutuskan menjadi pekerja rumah tangga di Arab Saudi selama dua tahun. Selain ingin ”lari” dari kesedihannya, Lili juga butuh uang untuk menyambung hidup. ”Saya cuma satu tahun bekerja karena takut jadi korban pemerkosaan majikan. Saya dideportasi,” ujarnya.

Sejumlah pelajar di Kabupaten Indramayu bersama Forum Anak Jawa Barat menghadiri peluncuran Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di pendopo Kabupaten Indramayu, Sabtu (18/11/2017). Bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Koalisi Perempuan Indonesia, anak-anak membacakan deklarasi stop perkawinan anak yang merusak masa depan anak-anak Indonesia.
Sekitar tahun 2011, ia menikah lagi. Salah satu komitmennya, suaminya tidak boleh memintanya mencari duit di luar negeri lagi. Kini, ibu satu anak ini jualan aneka camilan. ”Ternyata menikah di usia dini itu enggak enak,” ucap Lili sambil memandang atapnya yang dilapisi karung.
Kisah suram perkawinan anak juga datang dari Rasminah (37), warga Desa Krimun, Losarang. Pada usia 14 tahun, ia melahirkan anak pertama setelah menikah dengan pria yang usianya dua kali lipat darinya. ”Pernikahan saya cuma setahun. Suami pergi enggak tahu ke mana,” ungkapnya.
Pada usia 16 tahun, Rasminah kembali dinikahkan dan mempunyai anak kedua. Lagi-lagi, pernikahannya tidak berlanjut. Suaminya pergi tanpa kabar. Dia terpaksa mengadu nasib ke Jakarta sebagai penjaga warung makan. Baru tiga bulan, orangtuanya memintanya kembali.

Kepulangannya disambut perjodohan lagi. Tujuh tahun menikah, Rasminah dikaruniai seorang anak lagi. Ia tidak hanya mengurusi anak dan suaminya, tetapi juga mertua, sawah, dan ternak. Suatu hari kakinya dipatuk ular dan membusuk. Ia kini bertumpu pada satu kaki dan kruk.
Penderitaannya bertambah saat suaminya meninggal. Menanggung tiga anak, Rasminah tak sanggup. Akhirnya, ia bertemu Runata, seorang buruh tani yang menjadi suami keempatnya hingga kini. Tahun 2016, Rasminah berjumpa dengan aktivis Koalisi Perempuan Indonesia.
Bersama Endang Wasrinah dari Indramayu dan Maryanti (Bengkulu Tengah) yang juga korban perkawinan anak, Rasminah menggugat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Didampingi Tim Koalisi 18+, mereka berjuang menaikkan batas usia pernikahan.

Pelajar menunjukkan poster yang berisi penghentian perkawinan anak di pendopo Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (18/11). Kampanye itu merupakan bagian dari Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak.
Perjuangan itu berhasil menaikkan usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dispensasi kawin
Namun, regulasi itu belum mencegah perkawinan anak. R dan N, masih berusia 18 tahun, misalnya, mengajukan dispensasi kawin atau izin menikah. Keluarga dari Gabuswetan sepakat menikahkan kedua anak putus sekolah itu karena N sudah hamil (Kompas, 26/4/2021).
Kisah pernikahan dini terus berlanjut. Sepanjang 2022, Pengadilan Agama Indramayu menerima 572 pengajuan dispensasi kawin. Dari jumlah itu, hakim mengabulkan 564 permohonan. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun 2021 dan 2020 yang masing-masing 625 kasus dan 761 kasus.
”Penurunan dispensasi nikah ini menunjukkan masyarakat mulai sadar aturan usia pernikahan minimal 19 tahun. Akan tetapi, angkanya masih tinggi,” ujar Dindin Syarief Nurwahyudin dari Bagian Humas Pengadilan Agama Indramayu.

Rasminah (35) berfoto bersama anak-anaknya di rumahnya di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (16/4/2021).
Dispensasi kawin di Indramayu terbanyak ketiga di Jabar setelah Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Menurut Dindin, pemberian dispensasi kawin dilematis. Di satu sisi, usia anak belum sesuai untuk menikah, tetapi orangtua memohon agar anaknya bisa menikah.
”Sekitar 70-80 persen anak yang ingin dispensasi kawin sudah hamil 3-6 bulan. Hakim sulit menolaknya karena kalau anaknya hamil sebelum nikah itu jadi aib,” ujar Dindin. Menurut dia, pergaulan berisiko di lingkungan anak turut menyebabkan kehamilan tidak diinginkan.
Kekhawatiran orangtua jika anaknya terjerumus dalam pergaulan berisiko juga menjadi alasan pengajuan dispensasi kawin. Rata-rata anak yang dinikahkan sudah putus sekolah di menengah pertama dan atas. ”Sekitar 50 persen calon suami merupakan buruh serabutan,” ujarnya.

Dindin Syarief Nurwahyudin, Kepala Humas Pengadilan Agama Indramayu, saat diwawancarai, Kamis (26/1/2023).
Dampak dari pernikahan dini itu rata-rata cerai karena mereka belum siap secara mental dan ekonomi. Dari 7.771 kasus perceraian tahun 2022, sebanyak 5.612 atau 72 persen dipicu faktor ekonomi.
Perkawinan anak juga memicu kekerasan dalam rumah tangga. Tahun 2019, misalnya, SP (15), warga Kecamatan Karangtempel, Kabupaten Indramayu, tewas di tangan suaminya, UN (19). UN mencekik istrinya hingga meninggal setelah SP meminta uang untuk jalan. Keduanya menikah siri karena di bawah umur (Kompas, 6/7/2019).
Sekitar 70-80 persen anak yang ingin dispensasi kawin sudah hamil 3-6 bulan. Hakim sulit menolaknya karena kalau anaknya hamil sebelum nikah itu jadi aib. (Dindin Syarief Nurwahyudin)
Pernikahan dini bahkan dapat berujung stunting atau tengkes, kondisi kurang gizi kronis sejak bayi dalam kandungan yang berakibat terganggunya tumbuh kembang anak. Tahun 2021, prevalensi tengkes di Indramayu tercatat 14,4 persen. Semakin kecil angkanya semakin baik.

Petani membajak sawah di Desa Jengkok, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (8/12/2021).
”Anak yang menikah karena hamil malu memeriksakan kehamilannya. Ini berisiko pada persalinan prematur, berat bayi rendah, dan stunting,” ujar Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP2KBP3A Indramayu Cicih Sukarsih.
Pihaknya telah menyiapkan tim pendamping keluarga yang terdiri dari petugas dinas, tenaga kesehatan, dan aparat desa. Sebanyak 4.239 orang akan memantau kondisi keluarga berisiko stunting, termasuk pemohon dispensasi nikah, di sejumlah desa di Indramayu.
Akar kemiskinan
Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jabar Darwini menilai perkawinan dini terus terjadi karena akar masalahnya belum terselesaikan, yakni kemiskinan. ”Lapangan kerja susah, jadi orang memilih menikah. Meskipun gratis, sekolah juga butuh biaya lain,” ujarnya.

Jalan raya jalur pantai utara (pantura) Indramayu di Eretan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (22/4/2022).
Pada 2021, misalnya, persentase penduduk miskin di Indramayu mencapai 13,04 persen atau peringkat ketiga termiskin di Jabar setelah Kabupaten Kuningan (13,1 persen) dan Kota Tasikmalaya (13,13 persen). Tahun lalu, lebih dari 225.000 warga Indramayu tergolong miskin.
Perkawinan dini terus terjadi karena akar masalahnya belum terselesaikan, yakni kemiskinan. (Darwini)
Padahal, daerah berpenduduk sekitar 1,8 juta jiwa ini juga menjadi produsen padi terbesar nasional, yakni 1,3 juta ton. Produksi perikanan di pesisir utara itu juga bisa lebih dari 2 juta ton per tahun. Indramayu pun menjadi salah satu lumbung pangan di Jabar, bahkan nasional.
Selain mengintervensi persoalan kemiskinan, menurut Darwini, pemerintah daerah perlu membuat regulasi lebih teknis terkait pencegahan perkawinan anak. Apalagi, sudah ada Peraturan Daerah Indramayu Nomor 6/2019 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak.

Potret sejumlah kapal yang tertambat di Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (9/6/2022). Sejumlah kapal berukuran 30 gros ton ke atas tidak melaut beberapa bulan terakhir karena lonjakan harga solar industri yang menyentuh Rp 16.500 per liter.
”Pemkab Indramayu seharusnya menindaklanjuti perda itu dengan peraturan bupati sehingga ada aturan lebih teknis dan jadi dasar pemerintah di desa membuat aturan serupa. Pencegahan perkawinan anak harus secara sistemik dan melibatkan banyak pihak,” ujarnya.
Ia mencontohkan, pemerintah bisa mengoptimalkan edukasi kesehatan reproduksi di sekolah untuk mencegah kehamilan anak. Apalagi, selama ini, anak mengakses internet secara keliru. Pemerintah juga harus membangun sistem pengaduan terkait pengaduan perkawinan anak.
”Orangtua pun jangan melihat anak sebagai aset. Kalau ada yang lamar anaknya, apalagi kaya, orangtuanya langsung mau. Padahal, perkawinan anak banyak dampaknya,” ucap Darwini.
Selayaknya semua pihak mencegah pernikahan dini demi masa depan anak bangsa.
Baca Juga: Ratusan Anak Menikah karena Hamil, Pemkab Indramayu Siapkan Pendampingan