Mangrove, Penggerak Ekonomi Bahari Masyarakat Jawa Timur
Tanaman pengurang emisi karbon lebih besar dibandingkan hutan daratan itu kini menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi bahari, terutama sektor pariwisata dan usaha mikro kecil.
Jajaran mangrove yang membentang di sepanjang pesisir Jawa Timur tak hanya menahan laju erosi dan menguatkan ekosistem lingkungan. Tanaman pengurang emisi karbon lebih besar dibandingkan hutan daratan itu kini menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi bahari terutama sektor pariwisata dan usaha mikro kecil.
Dengan menaiki perahu wisata, puluhan orang bertolak dari Dermaga Tlocor, Jabon, Minggu (29/1/2023). Mereka berperahu mengikuti derasnya laju aliran Sungai Porong, anak Sungai Brantas menuju muara di Selat Madura.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 20 menit, perahu menepi di sebuah dermaga yang berada di pulau kecil. Masyarakat lokal menamainya Pulau Lusi, akronim dari Lumpur Sidoarjo. Penamaan itu tak lepas dari sejarah terbentuknya pulau tersebut yang dibangun menggunakan material lumpur panas Lapindo yang menyembur di Sidoarjo.
Baca juga: RPP Mangrove Masih Disusun Masukan Berbagai Pihak Dibutuhkan
Di pulau seluas 94 hektar tersebut, masyarakat Jabon, terutama warga Desa Kedungpandan, rutin menanam dan merawat tanaman mangrove selama bertahun-tahun. Warga juga menanam cemara udang dan jenis tanaman pesisir lainnya sehingga pulau tersebut kini menjelma menjadi sebuah hutan yang rindang dengan kanal-kanal di dalamnya.
”Keberadaan hutan mangrove beserta ekosistem yang berkembang di dalamnya sangat penting bagi masyarakat Jabon, terutama warga Desa Kedungpandan,” ujar Nur Mahmud Kholil, warga setempat.
Ketua Kelompok Sadar Wisata Bahari Tlocor Desa Kedungpandan itu mengatakan, hutan mangrove menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Lusi. Mereka tertarik menepi di pulau tak berpenghuni tersebut untuk memulihkan kembali energi yang terkuras oleh rutinitas harian.
Kholil menambahkan magnet lain adalah wisata memancing. Para pemancing menyukai lebatnya hutan bakau karena menjadi habitat bagi aneka biota laut seperti udang, kepiting, dan ikan. Banyak pemancing yang rela menghabiskan waktunya seharian demi menjelajahi spot-spot menarik di kawasan tersebut.
Kehadiran para wisatawan inilah yang menggerakkan perekonomian masyarakat di Jabon sehingga mereka mampu mengembangkan kawasan Wisata Bahari Tlocor. Selain menikmati pesona Pulau Lusi, wisata bahari ini juga menawarkan beragam kuliner masyarakat pesisir seperti udang, cumi, kakap, dan kepiting.
”Sebelum pandemi Covid-19, pengunjung wisata bahari bisa menembus 1.000 orang di akhir pekan atau saat hari libur. Seiring berkembangnya wisata bahari, ekonomi warga semakin hidup. Mereka tidak hanya bergantung budidaya tambak dan nelayan, tetapi bisa kerja di tempat wisata atau di warung makan,” kata Kholil.
Baca juga: Lka Liku Pulau Lusi Lumpur Sidoarjo Bersolek Diri
Dia optimistis kunjungan wisatawan tahun ini bakal menggeliat seperti sebelum pandemi Covid-19. Salah satunya karena kebijakan pelonggaran kegiatan masyarakat. Pengelola telah menyiapkan tambahan fasilitas antaralain asuransi jiwa bagi penumpang perahu untuk melindungi wisatawan.
Selain warga, komitmen menjaga kelestarian hutan mangrove yang berada di Pulau Lusi juga disampaikan oleh Pemkab Sidoarjo. Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali menilai, hutan mangrove mampu menjadi katalis dari dampak negatif kawasan industri yang berkembang pesat di wilayahnya.
”Sidoarjo memiliki garis pantai sepanjang 33 kilometer, sebanyak 29 persennya merupakan tambak. Area tambak ini sangat bergantung pada ekosistem lingkungan, apalagi Sidoarjo merupakan daerah industri,” ujar Bupati Sidoarjo.
Muhdlor mengatakan, upaya memperbaiki kualitas lingkungan tidak bisa dilakukan oleh pemda, tetapi butuh kontribusi nyata dari masyarakat. Upaya pelestarian tidak akan berhasil tanpa kesadaran warga.
Upaya penguatan eksosistem mangrove di Sidoarjo sejatinya menjadi bagian dari pengembangan dan pengelolaan kawasan mangrove di pesisir Provinsi Jatim. Salah satunya melalui Festival Mangrove Jawa Timur yang digelar secara rutin setiap tahun. Festival pertama digelar di Kabupaten Pasuruan dan yang kedua di Probolinggo. Festival ketiga berlangsung di Wisata Bahari Tlocor dan Pulau Lusi, Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Minggu (29/1/2023).
”Festival ini merupakan salah satu upaya untuk membangun sinergi hulu hilir yang lebih luas dalam menjaga ekosistem mangrove. Hal ini karena ekosistem mangrove telah memberikan kemanfaatan baik dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial, terutama bagi masyarakat pesisir,” ujar Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Kegiatannya antara lain penanaman 1.000 bibit mangrove dan bibit pohon produktif lainnya. Selain itu, pelepasliaran burung dan biota air berupa ikan dan udang sejumlah 23.000 ekor di perairan Pulau Lusi Sidoarjo. Ada pula pameran produk makanan olahan berbahan mangrove dan batik tulis berpewarna alam dari mangrove.
Menurut Khofifah, pemprov rutin menanam mangrove bahkan hampir dua minggu sekali mengunjungi kawasan pesisir pantai di sejumlah daerah di Jatim. Namun, melalui festival mangrove, dia ingin menggarap ekosistem secara keseluruhan dari hulu hingga hilir.
Ekosistem itu termasuk biota di dalamnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Selain itu, menyentuh upaya hilirisasi mangrove sebagai penguatan aspek sosial ekonomi masyarakat. Contohnya mengembangkan produk-produk berbahan mangrove melalui UMKM. Salah satu kerajinan dari mangrove telah menjadi salah satu cenderamata saat gelaran KTT G20 di Bali beberapa waktu lalu.
”Jadi ini sebetulnya punya dampak ekonomi yang bagus sekali selain juga dampak ekologi untuk lingkungan. Karena kita berharap bahwa mangrove ini akan menjadi penahan abrasi pantai, habitat bagi biota laut, menahan angin, menahan infiltrasi air laut, ecotourism serta menyerap dan menyimpan karbon dengan kemampuan empat sampai lima kali lebih besar dibandingkan dengan hutan tropis di daratan,” ujarnya.
Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama ini menambahkan upaya menjaga ekosistem mangrove juga menjadi bagian dari menjaga daya dukung alam dan perbaikan lingkungan. Hal ini penting mengingat saat ini banyak negara di dunia mengalami perubahan iklim global. Cuaca ekstrem memicu sejumlah bencana hidrometeorologi di sejumlah daerah di Nusantara.
”Oleh karena itu, mari kita membangun daya dukung dan keseimbangan alam dengan nandur, nandur dan nandur. Kalau menanam dan tanaman itu bisa tumbuh subur, kita juga nandur kehidupan melalui sedekah oksigen. Bayangkan kalau makin banyak yang kita tanam dan mereka memanfaatkan dari apa yang sudah kita tanam,” jelas Khofifah.
Jawa Timur memiliki kawasan mangrove sebesar 27.221 hektar atau 48 persen dari total mangrove di Pulau Jawa. Adapun penanaman mangrove sejak tahun 2020-2022 di pesisir Jatim mencapai luas 1.516,57 hektar atau sebanyak 5.662.418 batang bibit mangrove.
Kalau menanam dan tanaman itu bisa tumbuh subur, kita juga nandur kehidupan melalui sedekah oksigen.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marvest Nani Hendiarti mengapresiasi upaya pemprov, pemda, dan masyarakat dalam melestarikan mangrove. Indonesia memiliki kontribusi besar dalam pengembangan hutan mangrove ditingkat global dan regional.
Indonesia menguasai 23 persen hutan mangrove dunia dan 65 persen di tingkat ASEAN. Adapun di Pulau Jawa, hampir 50 persen hutan mangrove ada di Jatim. Oleh karena itulah, kontribusi Jatim sangat besar dalam upaya mengendalikan dampak perubahan iklim terutama mencegah kenaikan suhu agar tidak melebihi 1,5 derajat celsius.
”Semua negara diminta aksi konkret membantu menyelematkan bumi. Apalagi dampak perubahan iklim kian nyata. Musim tidak menentu seperti dulu, sangat bergantung pada teknologi,” kata Nani.
Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen kuat terhadap upaya mengendalikan dampak perubahan iklim global. Dalam konteks mangrove, Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 mengamanatkan rehabilitasi seluas 600.000 hektar. Program itu tidak hanya diisi dengan kegiatan menanam, tetapi juga mengonservasi atau melestarikan mangrove.
Pada akhirnya, upaya pelestarian mangrove takkan memiliki daya tanpa karsa yang kuat dari seluruh pihak yang terlibat. Pembangunan ekosistem mangrove harus dilakukan dalam satu kesatuan yang utuh dari hulu hingga hilir.
Baca juga: Kemunculan Buaya Kabar Baik bagi Ekosistem Mangrove