Observatorium Bosscha Diwacanakan Jadi Pusat Studi Ilmu Kebumian dan Antariksa
Observatorium Bosscha telah berumur 100 tahun dan diharapkan terus berkiprah dalam dunia astronomi. Berbagai tantangan, mulai dari perkembangan teknologi hingga terkait polusi cahaya, perlu diantisipasi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Peringatan 100 tahun beroperasinya Observatorium Bosscha, yang menjadi permulaan astronomi modern dalam ilmu pengetahuan di Indonesia, diwarnai acara peluncuran prangko Seabad Astronomi Modern Indonesia 1923-2023. Observatorium Bosscha diharapkan terus berkontribusi dalam perkembangan sains di Tanah Air.
Rektor Institut Teknologi Bandung Reini D Wirahadikusumah menyatakan, observatorium modern menjadi manifestasi dalam integrasi antara sains, desain, dan teknologi untuk pengembangan astronomi. Dalam Peringatan Seabad Observatorium Bosscha, Senin (30/1/2023), dia berharap fasilitas ini mampu memenuhi hal tersebut, bahkan berperan besar dalam ilmu pengetahuan di Tanah Air.
”Astronomi memang cabang sains yang paling universal kontennya. Banyak orang yang sudah terinspirasi, khususnya insan-insan muda, para penerus bangsa, ketika dikenalkan dengan ilmu dan juga mengunjungi tempat-tempat seperti ini,” tutur Reini dalam sambutannya.
Observatorium Bosscha diresmikan pada 1 Januari 1923 dan menjadi observatorium pertama di Asia Tenggara. Reini berujar, Bosscha bahkan menjadi salah satu observatorium modern utama di belahan bumi bagian selatan pada masa itu, di samping Afrika Selatan dan Australia.
KAR Bosscha adalah juragan teh asal Pangalengan, Bandung Selatan, yang memprakarsai fasilitas astronomi modern di awal abad ke-20 ini. Lokasinya hanya berjarak sekitar 14 kilometer dari ITB yang dulu bernama Technische Hoogeschool Bandung.
Menurut Reini, jarak yang tidak terlalu jauh ini menjadi salah satu pemikiran dari Bosscha agar observatorium yang dibangun tidak hanya sebagai instrumen penelitian. Observatorium Bosscha ini juga menjadi wadah pendidikan bagi para astronom generasi berikutnya.
”Pemikiran KAR Bosscha untuk menyiapkan SDM (sumber daya manusia) ini sungguh visioner. Sebagai sains yang lingkup studinya universal, astronomi maju dan berkembang dengan kolaborasi yang intensif dan ekstensif,” ujarnya.
Setelah 100 tahun berdiri, Reini menyatakan, pihaknya tengah mewacanakan Observatorium Bosscha menjadi pusat studi ilmu kebumian dan antariksa. Pendekatan secara multidisiplin ini menunjukkan integrasi lintas keilmuan dengan mendudukkan riset ITB di garis depan ilmu pengetahuan.
”Ini mungkin masih terlalu dini, tetapi kami memiliki wacana untuk membuat pusat studi ilmu kebumian dan antariksa. Kami sudah memiliki gambaran dan tengah mengomunikasikan kepada beberapa sponsor. Semuanya akan bergotong royong,” ujar Reini.
Peringatan ini juga diisi dengan peluncuran prangko Seabad Astronomi Modern Indonesia 1923-2023. Terdapat tiga prangko yang telah hadir dan siap diedarkan, yakni prangko dengan gambar sosok KAR Bosscha, prangko bergambar teleskop, dan prangko dua sosok manusia yang menatap langit.
Ini mungkin masih terlalu dini, tetapi kami memiliki wacana untuk membuat pusat studi ilmu kebumian dan antariksa. Kami sudah memiliki gambaran dan tengah mengomunikasikan kepada beberapa sponsor. Semuanya akan bergotong royong.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro yang turut memberikan sambutan mengingatkan soal tantangan ke depan. Dengan teknologi yang berkembang cepat, perlu ada komitmen kuat untuk mengembangkan peran Bosscha dan Indonesia di bidang astronomi.
”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menggunakan sains dan pengetahuan sebagai basis pembuatan keputusan. Dengan kuatnya sains yang dimiliki, semua akan memberikan manfaat, baik dari kita sendiri maupun global,” ujar Satryo dalam sambutannya.
Komitmen ini, lanjut Satryo, adalah dengan mengamankan Bosscha agar tetap berkiprah dalam dunia astronomi. Salah satu masalah yang menjadi perhatian adalah polusi cahaya yang dianggap mengurangi akurasi pengamatan benda langit karena ruang yang berkurang.
”Mengamankan Bosscha tidak hanya dari lokasi, tetapi juga lingkungan yang terbentuk dari perkembangan saat ini. Dari laporan teman-teman, terkadang sulit mengamati perbintangan karena polusi akibat dari pengembangan tata ruang yang berubah dari kondisi ideal Bosscha saat didirikan,” paparnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyatakan, pihaknya berkomitmen untuk memperhatikan dan melestarikan Observatorium Bosscha sebagai cagar budaya. Apalagi, Bosscha menjadi istimewa karena mampu mengamati langit, baik di utara maupun di selatan, karena berada dekat dengan Ekuator.
”Kami sedang mempersiapkan mekanisme aturan dan hukum Bosscha sebagai cagar budaya. Observatorium ini terlindungi dan tidak diganggu oleh kepentingan jangka pendek hingga kepentingan komersial yang sering kali mengalahkan logika-logika jangka panjang. Ilmu pengetahuan tidak bisa diukur untung dan rugi,” ujarnya.