Menanti Ketegasan Pemprov Aceh Tangani Tambang Emas Ilegal
Tambang ilegal telah berdampak pada kerusakan daerah aliran sungai, kerusakan hutan, konflik satwa, dan bencana alam,
Pertambangan emas tanpa izin alias ilegal di Aceh telah berlangsung bertahun-tahun. Penertiban dilakukan setengah hati. Kekayaan alam terkuras dan lingkungan rusak. Tambang ilegal sama halnya menambang bencana.
Pada Sabtu (21/1/2023), aparat Kepolisian Daerah Aceh kembali menangkap tiga tersangka petambang emas tanpa izin di Desa Alue Empuk, Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, Aceh. Satu alat berat merek Hitachi ikut disita sebagai barang bukti.
Tersangka yang ditangkap adalah SF (50) dan MK (34), keduanya berperan sebagai operator alat berat, serta AH (53), pemilik alat berat alias pemodal.
Satu pekan sebelumnya, Selasa (17/1/2023), aparat Polda Aceh juga menangkap tujuh warga negara asing (WNA) yang melakukan aktivitas pertambangan di luar area izin di Kabupaten Aceh Barat. Warga asing itu merupakan karyawan perusahaan PT Indotama Minergi Solutions (IMS). Mereka ditahan, tetapi statusnya masih sebagai saksi.
Baca juga : Jika Tambang Emas Ilegal Kian Subur, Hutan Aceh Rentan Hancur
Sementara pada Rabu (9/11/2022), Polda Aceh juga menangkap 12 orang di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Sebanyak 2 alat berat ekskavator, 2 alat pendulang emas, dan 3 lembar ambal penyaring emas disita polisi sebagai barang bukti.
Tiga kasus tersebut hanya gambaran bahwa penegakan hukum belum mampu menghentikan aktivitas tambang emas ilegal. Mereka tidak peduli dengan risiko mati tertimbun di lubang tambang atau harus mendekam di penjara. Kilau emas di perut bumi Aceh membuat pelaku terus menyerbu lokasi tambang.
Tambang emas ilegal menyalahi Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ancaman pidana pelanggarnya maksimal 10 tahun penjara. Meski demikian, selama ini rata-rata vonis pelanggar hanya 2 tahun penjara.
Di Aceh, tambang emas ilegal tersebar di enam kabupaten, yakni Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah. Tidak diketahui pasti berapa luas tambang emas ilegal itu. Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh memprediksi tambang ilegal itu telah memakan hutan hingga ribuan hektar.
Lokasi tambang emas ilegal jamak berada dalam hutan lindung. Medan ke lokasi sulit, hanya dapat ditempuh dengan sepeda motor khusus atau berjalan kaki. Jarak dari permukiman penduduk bisa setengah hari perjalanan.
Baca juga : Tutup Tambang Ilegal
Penambangan emas di tambang-tambang ilegal itu dilakukan serampangan tanpa mempertimbangkan dampak pada alam. Dengan menggunakan alat berat jenis eskavator, tanah dikeruk di mana saja yang diduga terdapat emas.
Lubang bekas galian tersebar mengacak-acak wajah hutan lindung. Pohon-pohon ditumbangkan. Anak sungai yang seharusnya mengalirkan air yang jernih kehilangan alurnya.
Tanah yang dikeruk itu kemudian disiram di atas asbuk atau karpet beludru. Emas memiliki massa lebih berat daripada tanah atau pasir sehingga butiran-butiran yang mengandung emas akan tertahan di asbuk itu. Butiran emas itu kemudian disatukan menggunakan air keras, merkuri.
Padahal, merkuri berbahaya bagi manusia. Tubuh yang terpapar merkuri di atas ambang batas dapat mengakibatkan kanker atau kecacatan fisik permanen. Peneliti dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Sofia, pada tahun 2019 menemukan Sungai Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, telah terpapar merkuri melebihi standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dari pemeriksaan sampel pada rambut warga sekitar ditemukan paparan merkuri berkisar 11,23 miligram hingga 48,32 miligram. Sementara WHO menoleransi kadar merkuri pada tubuh manusia maksimal 10 miligram per gram.
Persoalan klasik
Direktur Walhi Aceh Ahmad Shalihin mengatakan, tambang emas ilegal adalah persoalan klasik yang tak pernah selesai. Ahmad menyebut pemerintah membiarkan warganya terus melakukan dosa ekologis. Pernyataan itu cukup beralasan sebab tambang merusak hutan dan lingkungan sehingga dapat memicu bencana alam.
Baca juga : Pemprov Aceh Diminta Tidak Izinkan Tambang dalam Hutan Lindung
”Tambang ilegal telah berdampak pada kerusakan daerah aliran sungai, kerusakan hutan, konflik satwa, dan bencana alam,” kata Ahmad saat hadir dalam rapat Panitia Khusus Perizinan Usaha Pertambangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Kamis (26/1/2023).
Menurut Ahmad, perputaran uang dalam bisnis tambang emas ilegal itu sungguh besar. Penggunaan alat berat menunjukkan adanya keterlibatan pemodal yang punya uang besar.
Ahmad mendesak bupati dan gubernur untuk menata tambang ilegal dan memulihkan hutan yang rusak.
Dalam wawancara sebelumnya, Ahmad menyatakan, jika tidak dapat dihentikan, lebih baik wilayah itu diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR). Setelah adanya WPR, warga baru dapat mengajukan izin pertambangan rakyat (IPR). Dengan demikian, daerah memperoleh pendapatan dan kerusakan alam dapat ditekan.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh Khairil Basyar mengatakan, persoalan tambang emas ilegal seperti buah simalakama. Jika ditutup total akan timbul konflik sosial, jika dibiarkan alam kian hancur.
Saat ini diperkirakan sebanyak 6.000 orang menjadi pekerja tambang emas ilegal di Aceh. Tahun 2014, saat mengumumkan penutupan, Pemprov Aceh justru dilawan oleh para penambang. Ribuan petambang emas di Pidie membubuhkan cap darah pada kain putih. Mereka berikrar siap mati melawan kebijakan pemerintah.
Pascaperistiwa itu, aktivitas tambang kian masif. Nyaris tidak ada kebijakan ada pun baik dari pemerintah kabupaten maupun provinsi. Dengan kata lain, pemerintah membiarkan aktivitas tambang ilegal itu.
Khairil menuturkan, dulu pemerintah sering melakukan operasi penertiban, tetapi hasilnya nihil. Operasi berakhir zonk karena informasi kerap bocor ke penambang. Belakangan pemerintah tidak punya alokasi anggaran untuk pengawasan.
Kini satu-satunya harapan pengawasan berada pada pihak kepolisian. ”Tambang ilegal itu ranahnya pidana, ranahnya kepolisian,” kata Khairil.
Selain penegakan hukum, solusi yang dapat diambil ialah mengusulkan wilayah tambang ilegal sebagai WPR. Saat ini Aceh belum punya WPR. Karena lokasi tambang berada di kawasan hutan, selain izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diperlukan juga izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca juga : 15 Orang Tertimbun di Area Tambang Emas
”Untuk mengusulkan WPR perlu adanya dokumen hasil eksplorasi. Pertanyaannya, apakah rakyat mampu memenuhi syarat ini,” kata Khairil. Di beberapa lokasi, rakyat menambang secara ilegal di dalam wilayah konsesi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Sangat mungkin rakyat bermitra dengan perusahaan untuk mengelola tambang. Namun, persoalannya, perusahaan-perusahaan tersebut baru mengantongi izin eksplorasi, sementara rakyat telah melakukan eksploitasi.
Khairil prihatin menyaksikan kerusakan alam karena pertambangan ilegal. Namun, pemerintah kini nyaris tak punya nyali untuk menghentikannya.
Penegakan hukum
Direktur Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Winardy mengatakan, pihaknya tak henti mengampanyekan penghentian pertambangan emas ilegal, tetapi imbauan itu tidak digubris oleh petambang.
Penegakan hukum juga dilakukan dengan harapan memberikan efek jera, ternyata tidak juga menghentikan nyali para petambang. ”Tambang ilegal tidak cukup hanya penindakan hukum, butuh kerja sama seluruh instansi terkait,” kata Winardy.
Menurut dia, kesulitan ekonomi dan sempitnya peluang kerja juga memicu warga melakukan tambang emas ilegal.
Sebelumnya, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Nagan Raya Zubir menuturkan, ada keterlibatan oknum polisi di balik tambang ilegal di Nagan Raya. ”Pernyataan ini sangat berisiko. Namun, ini fakta yang kami temukan. Saya berharap Polda Aceh menindaklanjuti persoalan ini,” kata Zubir dalam diskusi publik ”Tambang Emas Ilegal, Siapa Dalang?” yang digelar YARA dan Forum Jurnalis Lingkungan, Rabu (15/12/2021).
Zubir menambahkan, temuan lain berupa bahan bakar untuk alat berat menggunakan solar subsidi. Akibatnya, kata Zubir, nelayan Nagan Raya kerap kesulitan mendapatkan solar subsidi.
Menurut dia, kewajiban merawat alam adalah tugas semua pihak. Namun, pemerintah dan penegak hukum sudah seharusnya berada di garda terdepan. ”Jika dibiarkan, kita akan mewariskan alam yang hancur kepada anak cucu,” ujarnya.
Sementara Ketua Panitia Khusus Perizinan Usaha Pertambangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Tarmizi mengatakan, pemerintah akan kesulitan menutup tambang emas ilegal karena ribuan warga bergantung hidup di sana. Pansus akan merekomendasikan pengusulan WPR.
Persoalan tambang emas ilegal telah membuat pemerintah tidak punya banyak pilihan. Pemprov Aceh harus berani menentukan sikap. Jika tambang emas ilegal kian subur, hutan Aceh semakin hancur.
Baca juga : Pemodal Tambang Ilegal Gunung Botak Ditangkap