Pembagian Uang Jasa Medis Covid-19 di RSAM Bukittinggi Dikeluhkan
Dokter RSAM Bukittinggi mengeluhkan tentang pembagian uang jasa medis pelayanan Covid-19 yang dinilai tidak sesuai peruntukan dan diduga tidak sesuai ketentuan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr Achmad Mochtar atau RSAM, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, mengeluhkan tentang pembagian uang jasa medis pelayanan Covid-19 yang dinilai tidak sesuai peruntukannya dan diduga tidak sesuai ketentuan. Adapun direktur rumah sakit tersebut mengklaim pembagian uang jasa medis sudah sesuai aturan.
Dedi Herman, dokter spesialis paru RSAM Bukittinggi, Senin (30/1/2023), mengatakan, pembagian uang jasa medis Covid-19 di rumah sakit milik provinsi itu tidak sesuai karena ada tenaga kesehatan atau petugas yang tidak bersentuhan langsung dengan Covid-19 juga mendapatkan bagian.
Pembagian uang dari pemerintah pusat itu, kata Dedi, juga diduga tidak sejalan dengan peraturan menteri kesehatan (permenkes). Dalam pembagian uang jasa medis, manajemen lama RSAM mengaturnya dengan membuat pembagian berdasarkan surat keputusan direktur, tetapi tidak sesuai dengan permenkes yang sudah menetapkan komponen-komponen yang boleh mendapatkan uang jasa medis Covid-19.
”Semestinya pembagian disesuaikan permenkes. Orang yang bekerja (di bidang Covid-19) yang mendapatkan. Ini ada yang namanya uang pool. Uang pool ini uang apa. Ternyata uang itu dibagikan juga kepada orang yang tidak bekerja di bagian Covid-19,” kata Dedi.
Menurut Dedi, ada sekitar Rp 14 miliar uang pool yang dibagikan kepada orang yang tidak bertugas menangani pasien Covid-19. Selain itu, ada uang Rp 8 miliar diserahkan kepada tenaga honorer yang membantu di bidang Covid-19. Padahal, tenaga honorer itu tidak termasuk ke dalam komponen tersebut.
”Semestinya jika rumah sakit mengontrak honorer, uangnya bukan dari sana, tetapi dari tempat (anggaran) lain. Uang (jasa medis Covid-19) itu bukan untuk honorer, melainkan bagi pelaksana (pelayanan) Covid-19 di rumah sakit. Honorer, kan, di luar rumah sakit itu. Mestinya diambil dana lain,” ujarnya.
Selanjutnya, kata Dedi, ada pula sekitar Rp 3 miliar lebih dibagikan untuk direktur di rumah sakit yang jumlahnya empat orang.
”Saya sempat tanya tadi. (Uang pool) ini uang apa ya? Kenapa dikeluarkan? Kenapa orang yang tidak bekerja di bidang Covid-19 dibagi uang juga. Ada kasi-kasi (kepala seksi) dan kepala-kepala unit dibagi uangnya. Ini, kan, tidak ada haknya, mereka tidak mengurus Covid-19,” ujar Dedi.
Hal ini, kata Dedi, membuat uang jasa medis yang diterima dokter dan petugas yang menangani Covid-19 tidak sesuai peruntukannya, padahal pasien Covid di RSAM banyak, mencapai 1.575 orang. Untuk tahun 2020 dan 2021, secara total Dedi hanya menerima sekitar Rp 300 juta meskipun rumah sakit mengklaim mengirim Rp 500 juta lebih.
Jika dibandingkan di rumah sakit lain, kata Dedi, jumlah itu tergolong kecil. Di rumah sakit di Agam, misalnya, rumah sakitnya cuma punya 5-10 tempat tidur untuk Covid-19. Total uang jasa medis Covid-nya sekitar Rp 20 miliar. ”Dokter spesialis parunya dan beberapa orang lainnya bisa dapat di atas Rp 2 miliar serta perawat dan petugas kesehatan yang membantu mendapatkan uang yang layak sesuai pengorbanannya,” ujarnya.
Dedi menyebutkan, persoalan ini tidak hanya dirinya yang mengeluhkan, tetapi juga rekan-rekan dokter dan petugas lainnya di RSAM. Walakin, hanya bagian paru dan dirinya yang berani bersuara.
”Ini bukan masalah uang, tapi masalah hak, masalah menentukan yang benar. Anak dan istri saya tinggalkan berhari-hari (bekerja), itu hak mereka, hak orangtua saya. Hak anak yatim saya, hak pesantren saya, hak masjid, hak segala macam di dalam itu. Kenapa dibagi-bagikan kepada orang lain?” katanya.
Jasa layanan
Secara terpisah, Direktur RSAM Bukittinggi Busril mengatakan, hal yang dipersoalkan ini terkait pelayanan Covid-19 tahun 2020 dan 2021. Busril memang baru ditugaskan sebagai Direktur RSAM Bukittinggi sejak Januari 2022, tetapi sebagai Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Sumbar, jabatannya sebelumnya, dia sangat memahaminya.
”Pertama, data yang disampaikan Dokter Dedi tidak valid. Dia sampaikan dapat Rp 200 juta-Rp 300 juta untuk dokter PJP (penanggung jawab pelayanan), untuk dokter parunya, sementara yang ia dapat Rp 576 juta untuk 20 bulan tahun 2020-2021,” kata Busril.
Terkait tudingan tidak sesuai ketentuan, Busril menjelaskan, yang diatur dalam permenkes adalah pembagian insentif. Insentif berbeda dengan jasa layanan medis. Insentif berupa ketetapan, dokter PJP diberikan Rp 15 juta per bulan.
Sementara itu, pembagian jasa pelayanan medis diatur rumah sakit melalui surat keputusan direktur. Di RSAM, kata Busril, pembagian uang jasa layanan, baik pendapatan reguler Covid-19 maupun non-Covid-19, diambil 40 persen dari total pendapatan. Pembagian disepakati bersama oleh manajemen dan dokter PJP.
”Jumlah 40 persen itu diatur melalui SK direktur pembagiannya. Mulai dari dokter PJP-nya, manajemen, direksi, dokter-dokter lainnya, termasuk tenaga pendukung lainnya, diberikan uang jasa layanan dari pendapatan RS,” ujarnya.
Busril menambahkan, rumah sakit merupakan suatu kesatuan. Walaupun ada tenaga kesehatan ataupun petugas yang tidak ikut langsung melayani pasien Covid-19 di ruangan, mereka tetap terlibat pekerjaan lainnya. Dokter tidak bisa bekerja sendiri.
”Siapa yang mendorong (pasien), mencuci kain, memberikan makanan, mendistribusikan obat, menyapu lantai, membersihkan halaman, mendorong makanan, dan menjaga keamanan? Tidak bisa dokter bekerja sendiri. Ini rumah sakit, banyak komponen di sana yang melayani orang,” ujarnya.