Pemerintah Diminta Lakukan Moratorium Pertambangan untuk Selamatkan Kendeng
Pemerintah diminta melakukan moratorium pertambangan di kawasan pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah. Moratorium pertambangan dinilai perlu untuk menyelamatkan kondisi lingkungan Kendeng Utara.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
PATI, KOMPAS — Pemerintah diminta melakukan moratorium pertambangan di kawasan pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah, untuk menyelamatkan kondisi lingkungan wilayah tersebut. Pemerintah juga diminta segera melaksanakan rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pegunungan Kendeng agar bencana ekologis di Kendeng Utara tidak terus terulang.
Desakan itu disampaikan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) bersama sejumlah pihak terkait. Pada Rabu (25/1/2023), JM-PPK menggelar pertemuan dengan Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta untuk mengadukan masalah banjir di wilayah Kendeng Utara yang terjadi beberapa waktu terakhir.
Banjir tersebut berdampak pada masyarakat di sejumlah kabupaten di Jateng, misalnya Pati, Kudus, dan Demak. Salah satu masalah yang diduga menyebabkan banjir tersebut adalah aktivitas pertambangan batu gamping di pegunungan Kendeng Utara.
”Prioritas adalah melakukan moratorium tambang dan pabrik. Setelah moratorium, (restorasi lingkungan) bisa dilakukan oleh multipihak. Berapa lamanya, tergantung sumber daya yang dimobilisasi,” kata pakar bencana geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, saat dihubungi, Jumat (27/1/2023).
Eko menyatakan, kerusakan lingkungan di Kendeng Utara menjadi penyebab semakin besarnya bencana yang terjadi. Akibatnya, kelompok yang rentan terkena dampak bencana juga semakin banyak. Salah satu kelompok yang rentan terkena dampak bencana banjir adalah para petani.
Menurut Eko, di kawasan Kendeng Utara terdapat kelompok petani ekologis yang sangat bergantung pada kondisi alam untuk menjalankan pertanian. Kelompok petani ekologis itu, antara lain, terdiri dari komunitas masyarakat adat Sedulur Sikep. Selama ini, petani ekologis menjadi salah satu pihak yang paling terdampak bencana banjir di Kendeng Utara.
”Petani ekologis itu menjadi kelompok rentan bukan karena gagal dalam metode bertani, melainkan karena lingkungan yang rusak akibat kegagalan pemerintah mendiagnosa symptom (gejala) utama kejadian banjir yang selalu berulang setiap tahun,” ujar Eko yang turut hadir dalam pertemuan JM-PPK dengan KSP di Jakarta.
Perwakilan JM-PPK, Gunretno, menyatakan, solusi untuk mengatasi masalah banjir di Kendeng Utara sebenarnya sudah termaktub dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng jilid I dan II. Kajian itu dilaksanakan atas perintah Presiden Joko Widodo dan telah selesai pada tahun 2017-2018.
Oleh karena itu, Gunretno meminta pemerintah segera melaksanakan KLHS tersebut. ”Kami berharap pemerintah segera menjalankan KLHS yang diperintahkan Pak Jokowi. Karena dengan banjir yang berkepanjangan sampai detik ini, petani tidak bisa menanam,” ujarnya.
Gunretno menambahkan, apabila KLHS Pegunungan Kendeng dilaksanakan dengan benar, tidak boleh lagi ada izin pertambangan di pegunungan Kendeng. Selain itu, rehabilitasi kawasan yang rusak akibat tambang juga mesti dilakukan.
”Dengan menjalankan KLHS, tidak boleh ada izin keluar lagi di wilayah pegunungan Kendeng. Izin yang sedang berlangsung jangan diperpanjang, harus dikawal rehabilitasi dan reklamasi. Yang sudah rusak, ya, memang harus direhabilitasi. Itu isi KLHS,” tuturnya.
Karena dengan banjir yang berkepanjangan sampai detik ini, petani tidak bisa menanam.
Selain KLHS, JM-PPK juga mendesak pemerintah segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst (RPP Karst). Pengesahan aturan itu penting untuk melindungi kawasan karst, termasuk karst di Kendeng Utara.
Gunretno menyatakan, RPP Karst telah disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak tahun 2012. Namun, hingga sekarang, aturan tersebut belum disahkan.
Sebelumnya diberitakan, banjir telah melanda wilayah Pati selama beberapa waktu terakhir. Hujan deras yang terus turun pada akhir tahun 2022 hingga awal 2023 membuat debit air sejumlah sungai, termasuk Sungai Silugonggo atau Sungai Juwana, meningkat.
Pada saat yang sama, air laut sedang pasang, lalu masuk melalui Sungai Juwana. Melubernya air sungai ke permukiman dan lahan pertanian warga pun tak bisa dihindari.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pati Martinus Budi Prasetya menyampaikan, ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir di wilayah Pati, misalnya cuaca ekstrem, rob, kondisi sungai yang kurang memadai, dan kerusakan lingkungan di wilayah hulu.
”Di bagian hulu, yakni di Gunung Kendeng, ada kerusakan alam yang cukup serius akibat pergantian tanaman dari tanaman keras menjadi tanaman semusim dan juga aktivitas penambangan. Kegiatan-kegiatan itu harus segera dihentikan agar tidak memicu bencana,” kata Martinus (Kompas.id, 16 Januari 2023).
Sebelumnya, pada Kamis (12/1/2023), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengunjungi sejumlah daerah terdampak banjir, seperti Pati, Kudus, dan Jepara. Menurut Basuki, akan disiapkan sistem penanganan banjir terintegrasi di wilayah-wilayah tersebut.
”Untuk penanganan di Sungai Juwana, kami melakukan normalisasi dan penanggulan sungai. Progresnya sudah 10 kilometer (km), tinggal 6 km lagi. Bendung karet dengan volume 4,6 juta meter kubik juga sedang kami kerjakan,” kata Basuki.