Menapaki Jejak Peradaban Islam Nusantara di ”Bumi Jenggala”
Sidoarjo atau ”Bumi Jenggala” terpilih menjadi lokasi resepsi puncak satu abad NU. Tanah ini merupakan pusat peradaban Islam Nusantara 200 tahun lalu.

Para santri bermain di Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (25/1/2023). Di pesantren inilah pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari, pernah menimba ilmu. Pesantren ini didirikan tahun 1787 atau telah berusia 236 tahun
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menyimpan beragam rekaman jejak peradaban Islam Nusantara yang berkembang lebih dari dua abad silam. Nilai histori ini pula yang melatari dipilihnya ”Bumi Jenggala” sebagai lokasi resepsi puncak peringatan satu abad organisasi Nahdlatul Ulama.
Dua santri asyik bermain pletokan di halaman Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah, Rabu (25/1/2023) sore. Sementara itu, beberapa santri lain memilih bermain bulu tangkis dan sepa kbola. Tidak tampak seorang santri pun yang bermain gawai atau menonton televisi.
Pletokan merupakan salah satu jenis mainan tradisional di Tanah Air. Mainan yang identik dengan senapan ini terbuat dari bambu yang dilubangi tengahnya. Lubang tersebut digunakan sebagai tempat memasukkan biji-bijian sebagai peluru. Bisa juga diisi kertas yang dibasahi air untuk menghasilkan bunyi ”pletok” saat disodok.
Bermain merupakan salah satu kegiatan yang dijumpai di Pesantren Al-Hamdaniyah, selain belajar tentang agama dan pengetahuan umum. Saat bermain, para santri terlihat senang dan terhibur. Mereka juga tampak akrab berkomunikasi dan bersosialisasi sehingga terbangun ikatan emosial yang kuat.
Baca juga : Presiden Tak Ragukan Kontribusi PBNU bagi Bangsa
Secara administratif, Pesantren Al-Hamdaniyah berada di Desa Siwalan Panji, Kecamatan Buduran, Sidoarjo. Pesantren didirikan pada tahun 1787 oleh KH Khamdani dari Pasuruan. Saat ini, usia pesantren mencapai 236 tahun atau lebih dari dua abad sehingga termasuk salah satu pesantren tertua di Indonesia.

Pengasuh Ponpes Al-Hamdaniyah, Sidoarjo, berada di kamar yang pernah ditempati pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari, Rabu (25/1/2023). Pesantren ini didirikan tahun 1787.
”Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-Hamdaniyah masih lestari. Jumlah santri tambah terus setiap tahun,” ujar pengasuh Pesantren Al-Hamdaniyah, Moch Hasyim Fahrurrozi
Hasyim mengatakan, total santri saat ini sekitar 600 orang. Jumlah santri yang bermukim atau mondok di pesantren sebanyak 400 orang, sedangkan 200 santri lainnya pulang ke rumah setelah pembelajaran selesai.
Agar masyarakat juga mendapatkan pengetahuan baru, bahwa pada 200 tahun lalu, Sidoarjo menjadi puncak peradaban Islam nasional karena banyak ulama besar lahir dari dari tempat ini.
Selain pendidikan pesantren yang diwarisi dari para pendiri, pengelola juga mengembangkan pendidikan formal dari jenjang madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), hingga madrasah aliyah (MA). Dalam perjalanannya, Al-Hamdaniyah telah banyak melahirkan santri berkualitas tinggi.
Salah satu santrinya adalah KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Hasyim bahkan menikahi salah seorang putri dari pengasuh pondok saat itu, yakni KH Ya’qub. Namun, istrinya meninggal lebih dulu.
Baca juga : NU dan Misi Membumikan Kemanusiaan yang Universal
Jejak keberadaan KH Hasyim selama nyantri diabadikan dengan mempertahankan kamar yang ditempatinya. Kamar itu berada di dekat masjid dengan kondisi sebagian bangunan telah dipugar karena kayu aslinya sudah rusak.

Seorang warga menaburkan bunga saat berziarah di makam.para ulama pendiri Pondok Pesantren Sono di Desa Sidokerto, Buduran, Sidoarjo, Jumat (6/1/2023). Pesantren ini berusia lebih dari 200 tahun dan menjadi salah satu tempat menimba ilmu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari.
”Kamar ini sengaja dipertahankan untuk mengenang dan menghormati KH Hasyim Asy’ari. Selain itu, agar menjadi pelajaran bagi para santri, untuk menjadi tokoh besar tidak harus dengan fasilitas mewah,” kata Gus Hasyim.
Gambaran tentang situasi pesantren pada masa lalu sebenarnya tidak sulit diperoleh karena sebagian bangunan pondok masih dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Bangunannya mirip rumah panggung dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Bagian bawah disangga dengan kaki-kaki beton karena daerah tersebut dulunya rawa-rawa.
Gus Hasyim menambahkan, selain berkontribusi di bidang pendidikan dan keagamaan, Al-Hamdani dalam perjalanannya juga turut berjuang merebut serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pesantren ini kerap digunakan sebagai tempat berkumpulnya para pejuang, terutama dari kalangan santri dan ulama.
Makam Sono
Selain Pesantren Al-Hamdaniyah, jejak peradaban Islam Nusantara di ”Kota Delta”, julukan Sidoarjo, karena berada di delta Sungai Brantas, bisa ditemukan di Desa Sidokerto, Kecamatan Buduran. Lokasi tepatnya berada di dalam markas Gudang Pusat Senjata dan Optik Elektronik (Guspusjat) II Puspalad TNI Angkatan Darat.
Makam aulia Ponpes Sono di Sidoarjo ini menurut rencana akan dibuka untuk masyarakat umum. Saat ini bangunan cagar budaya seluas 21 hektar tersebut masih dalam proses revitalisasi. Situs ini merupakan tempat dimakamkannya leluhur cikal bakal pendiri NU.

Pada kompleks pemakaman tersebut terdapat makam para aulia, seperti Kiai Muhaiyin, Kiai Abu Mansur, dan Kiai Zarkasi. Ponpes Sono di Sidoarjo juga merupakan tempat bergurunya pendiri sekaligus Rais Akbar NU Kiai Hasyim Asy’ari.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, revitalisasi makam merupakan bentuk penghormatan terhadap para aulia dan ulama pejuang. Selain itu, menjadi upaya untuk menyosialisasikan kiprah mereka sebagai teladan generasi masa kini dan nanti.
”Agar masyarakat juga mendapatkan pengetahuan baru, bahwa pada 200 tahun lalu, Sidoarjo menjadi puncak peradaban Islam nasional karena banyak ulama besar lahir dari dari tempat ini,” kata Khofifah.
Dia meminta generasi muda mengenal lebih dalam kiprah para ulama tersebut dan meneladani semangat mereka dalam membangun peradaban bangsa. Menurut dia, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali mengatakan, banyak jejak peradaban Islam tersimpan di wilayahnya. Hal itu menandakan besarnya kontribusi daerah penyangga Surabaya ini dalam pembangunan bangsa sejak ratusan tahun silam. Para ulama bersama santri di Sidoarjo tidak hanya berperan mensyiarkan agama Islam. Mereka juga berkontribusi mencerdaskan masyarakat lewat pendidikan.

Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali berziarah di makam.para ulama pendiri Pondok Pesantren Sono di Desa Sidokerto, Buduran, Sidoarjo, Jumat (6/1/2023). Pesantren ini berusia lebih dari 200 tahun dan menjadi salah satu tempat menimba ilmu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari.
Pada masa penjajahan, lanjut Muhdlor, para ulama berjuang keras merebut kemerdekaan. Salah satu cagar budaya yang menjadi saksi perjuangan mereka adalah bangunan Markas Besar Oelama (MBO) yang berada di Jalan Brigjen Katamso, Kecamatan Waru.
Dikutip dari situs web Lembaga Wakaf dan Pertanahan (LWP) NU Jatim, bangunan tersebut dulu menjadi tempat berkumpul para ulama yang dipimpin Kiai Bisri Syansuri sebagai Kepala Staf MBO. Markas yang kini berupa bangunan kosong itu juga menjadi pusat kegiatan laskar mujahidin yang dipimpin Kiai Wahab Chasbullah.
”Pemkab Sidoarjo berkomitmen kuat melestarikan tempat-tempat bersejarah tersebut dengan merevitalisasinya agar bisa dikunjungi oleh masyarakat sehingga semakin dikenal luas,” ucap Muhdlor.
Sidoarjo juga menjadi tonggak pembangunan peradaban Islam di bidang ketenagakerjaan. Di daerah yang dulu menjadi sentra industri gula ini, organisasi pekerja bernama Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) didirikan. Organisasi buruh ini merupakan salah satu Badan Otonom NU.
Sarbumusi lahir pada 27 September 1955 di Pabrik Gula Toelangan, Sidoarjo. Pabrik yang didirikan pada tahun 1850 itu bernama NV Matsechappy Tot Exploitatie de Suiker Ondernamingen Kremboong en Toelangan. Pabrik gula yang saat ini sudah tidak beroperasi tersebut cukup terkenal karena menjadi latar dalam novel berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Sarbumusi merupakan respons dari para ulama NU terhadap persoalan perburuhan yang terjadi di Indonesia. Salah satu persoalan yang mengemuka saat itu adalah upaya memperjuangkan hak-hak pekerja Muslimin, terutama buruh dari kalangan nahdliyin.
Sarbumusi juga menjadi motor strategis NU dalam mengonsolidasikan kekuatan buruh. Jumlah anggotanya pernah mencapai 2,5 juta pekerja dan menjadi salah satu organisasi buruh terbesar di Tanah Air pada masa itu.
Saat menghadiri Peringatan dan Harlah Ke-67 Konfederasi Sarbumusi di Grha Pabrik Gula Toelangan, Sidoarjo, Jumat (30/9/2022), Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, saat ini Sarbumusi menjadi salah satu dari lima organisasi pekerja terbesar di Indonesia dengan jumlah keanggotaan mencapai ratusan ribu orang.
”Hal itu menjadi modalitas yang sangat penting bagi Konfederasi Sarbumusi untuk menjadi mesin penggerak transformasi pekerja yang kita harapkan bersama,” kata Wapres Amin (Kompas.id, 30/1/2022).
Sejatinya masih banyak jejak peradaban Islam Nusantara yang tersimpan di Bumi Jenggala. Warisan itu perlu terus dilestarikan dan dipublikasikan kepada masyarakat agar mereka bisa menggali nilai-nilai filosofinya sebagai modal membangun peradaban bangsa di masa depan.
Baca juga : Momentum Kebangkitan Baru Nahdlatul Ulama