Lewat bangku kuliah, anak-anak muda rimba ingin memperjuangkan kesetaraan dan keadilan hak bagi Orang Rimba. Perjuangan itu untuk menata kehidupan lebih baik di komunitas adat pedalaman Bukit Duabelas.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Mijak Tampung (35) dalam Seminar Proposal Skripsi di kampusnya di Kota Jambi, Jumat (27/1/2023). Lewat bangku kuliah, Mijak ingin memperjuangkan kesetaraan serta pengakuan hak bagi komunitas adat Orang Rimba di Bukit Duabelas.
Berbalut jas kampus warna ungu, Mijak Tampung (35) menghadapi sidang pertamanya, Jumat (27/1/2023) pagi. Namun, tak seperti sidang di pengadilan, Mijak memaparkan rencana penelitian skripsinya di hadapan para dosen. Sidang selama hampir dua jam itu berakhir dengan kelegaan.
Tim dosen penguji yang diketuai Yuli Tauvani menyetujui proposal skripsi Mijak. Mereka juga membekalinya dengan sejumlah arahan penajaman pada riset. ”Kami berharap Mijak akan terus mengangkat persoalan Orang Rimba untuk memperoleh keadilan akan haknya,” kata Yuli, penguji sekaligus dekan di Institut Agama Islam Muhammad Azim (IAIMA) Jambi.
Mijak merupakan satu-satunya pemuda rimba di Bukit Duabelas yang hampir selesai menempuh pendidikan hingga di bangku kuliah. Selangkah lagi skripsinya akan menuntaskan perjuangannya melewati jalan panjang studi sarjana hukum di lembaga pendidikan formal itu.
IRMA TAMBUNAN
Mijak Tampung seusai Seminar Proposal Skripsi di kampusnya di Kota Jambi, Jumat (27/1/2023). Lewat bangku kuliah, Mijak ingin memperjuangkan kesetaraan serta pengakuan hak bagi komunitas adat Orang Rimba di Bukit Duabelas.
Empat tahun silam, ia meraih beasiswa dari kampus itu mewakili komunitas pedalaman. Mijak gemar mengenyam hal-hal baru. Tak terasa semua mata kuliah berhasil dijalani. Kini, ia didukung oleh dosen pembimbing Sayuthi dan Karlina untuk menyelesaikan skripsi.
Mijak mengusung riset berjudul Ambiguitas Pemerintah terhadap Hak-hak Orang Rimba. Studinya mengambil lokasi di ekosistem hutan Bukit Duabelas yang menjadi ruang hidup komunitas pedalaman itu. Mijak menekankan bahwa topik riset itu perlu diangkat mengingat begitu banyak masalah dihadapi komunitas itu belakangan ini.
Negara memang telah mengakui status kewarganegaraan Orang Rimba yang diformalkan dalam nomor induk kependudukan. Namun, pemanfaatannya tak selalu tepat sasaran. Tak banyak Orang Rimba memahami manfaat dari NIK. Apalagi NIK lebih banyak digunakan politisi untuk meraup suara Orang Rimba pada ajang pemilu atau pemilihan lainnya.
IRMA TAMBUNAN
Mijak Tampung seusai Seminar Proposal Skripsi di kampusnya di Kota Jambi, Jumat (27/1/2023). Lewat bangku kuliah, Mijak ingin memperjuangkan kesetaraan serta pengakuan hak bagi komunitas adat Orang Rimba di Bukit Duabelas.
Adat orang rimba kian terkikis seiring menyusutnya ruang hidup dalam hutan. Wilayah jelajah yang dulunya luas berkisar 130.000 hektar, kini tersisa hanya 30 persennya berupa taman nasional. Pada sebagian wilayah lainnya telah berubah fungsi menjadi monokultur yang dikelola swasta. Orang Rimba kehilangan akses kelola. ”Bahkan, meramu dan berburu di hutan untuk bertahan hidup semakin sulit dilakukan. Ritual-ritual tidak bisa dilakukan karena hutannya berubah,” katanya.
Banyak Orang Rimba akhirnya keluar dari hutan untuk mencari sumber penghidupan baru. Interaksi dengan masyarakat di luar rimba kerap menimbulkan masalah baru. Ketika masalah berujung pada penyelesaian hukum formal, mereka tak memiliki pendamping.
Salah seorang dosen penguji, Wahyu Agus, lalu menanyakan apakah nantinya Mijak ingin menjadi pendamping hukum bagi Orang Rimba. Mijak mengangguk pasti. Ia ingin mengisi kekosongan tersebut.
Dalam sebulan terakhir, Mijak mendampingi warga komunitasnya pada tiga masalah hukum. Di antaranya kasus seorang remaja rimba bernama Belongkop yang ditahan lebih dari dua pekan di Kepolisian Resor Muaro Jambi karena tuduhan mencuri buah sawit. Kasus itu akhirnya diselesaikan secara keadilan restoratif atas dukungan Kepala Kepolisian Jambi Inspektur Jenderal Rusdi Hartono.
IRMA TAMBUNAN
Salah seorang warga komunitas Orang RImba di wilayah Terab berjalan menuju lokasi distribusi bantuan sosial tunai dari Kementerian Sosial. Setiap keluarga menerima Rp 600.000 untuk periode Maret dan April alias Rp 300.000 per bulan. Warga berharap bantuan tetap mengalir selama masih berlangsung pandemi Covid-19.
Tanpa dukungan dan pendampingan, lanjut Mijak, bisa jadi Belongkop terus menjadi pesakitan atas perbuatan yang tidak disadari. Kala itu, Belongkop mencari kerja di sebuah kebun sawit swasta. Setibanya di kebun, ia disuruh memanen sawit. Selesai bekerja, ia disuruh lagi melansir sawit ke seberang kebun. Saat itulah petugas keamanan kebun yang tengah melintas tiba-tiba menangkapnya. Ia dituduh mencuri. ”Kalau tidak didampingi, mungkin aku terus ditahan,” kata Belongkop.
Kasus lain yang tengah ditangani adalah upaya menyelamatkan wilayah tersisa dari pembukaan lahan menjadi perkebunan sawit swasta seluas 7.000 hektar persis di tepi taman nasional itu. Saat ini, pembukaan sudah berlangsung. Ia khawatir jika seluruh hutan itu berubah menjadi perkebunan sawit, keberadaan Orang Rimba akan semakin terpinggirkan. Padahal, selama ini mereka kesulitan mendapatkan lahan kelola.
Dosen hukum dan hak asasi manusia IAIMA Jambi, Lisda Ariany, membenarkan situasi yang dialami komunitas pedalaman kerap rentan mengalami ketidakadilan dalam meraih hak-haknya. Karena itu, kampus coba merespons positif anak-anak muda setempat yang berinisiatif untuk maju dan berjuang.
Selain Mijak, ada pula Juliana yang juga meraih beasiswa kuliah Jurusan Kehutanan di Universitas Muhammadiyah Jambi sejak 2021. Juliana merupakan perempuan pertama dalam komunitas adat Orang Rimba di Jambi yang berhasil menempuh pendidikan formal hingga jenjang kuliah.
IRMA TAMBUNAN
Juliana (19), Guru Komunitas Orang Rimba di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi. Ia juga perempuan pertama dari komunitas Orang Rimba yang berhasil meraih pendidikan kuliah. Dari 3.600-an warga komunitas Orang Rimba, baru tiga orang yang kuliah. Juliana adalah satu di antaranya. (Dokumen: Pundi Suamtera).
Pendidikan tinggi boleh dikata masih langka di komunitas adat tersebut. Dari 3.600-an warga yang menempati ekosistem Bukit Duabelas dan sekitarnya, baru 300 anak yang mengenyam pendidikan formal dan informal dalam rentang 15 tahun terakhir. Sebagian tak tuntas alias putus sekolah pada tingkat dasar, menengah pertama, ataupun menengah atas
Selain Mijak dan Juliana, ada empat pemuda rimba lainnya yang kini telah mengabdi dalam institusi TNI dan Polri. Mereka adalah Budi yang bekerja sebagai anggota TNI di Jambi serta tiga pemuda lainnya bertugas sebagai Bintara di jajaran Kepolisian Daerah Jambi. Mereka adalah Perbal dari pedalaman Kabupaten Sarolangun, Seri Santoso dari Kabupaten Bungo, dan Jeni Andi Saputra dari Kabupaten Merangin.
Anak-anak rimba perlu terus didukung untuk menjaga serta mengangkat komunitasnya memperoleh kesetaraan dan meraih hak. Dari kampus, pendidik juga berkewajiban membimbing mereka. Menurut Lisda, perlu ada program penguatan dan pendampingan bagi warga. ”Sosialisasi kepada masyarakat dan calon pendamping perlu dipersiapkan sehingga nantinya mereka tumbuh mandiri untuk memperjuangkan hak-haknya bagi komunitasnya,” ucapnya.