Mengembalikan Teluk Kendari sebagai Halaman Depan
Pernah berjaya di masa lampau, pamor Teluk Kendari meredup seiring waktu. Puluhan tahun, wilayah perairan di jantung kota itu ”dipunggungi”. Kini, upaya mengembalikan fungsi teluk dijalankan.
Pernah berjaya di masa lampau, pamor Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, meredup seiring waktu. Kawasan perairan di jantung ibu kota provinsi itu ”dipunggungi” selama puluhan tahun. Perlahan, upaya mengembalikan fungsi teluk dijalankan. Teluk memang selayaknya menjadi halaman depan yang bermanfaat untuk semua, tetapi juga tak melupakan identitas kawasan.
Lahir dan besar di kawasan Tipulu, pesisir Teluk Kendari, Nita (35) selalu merasa lingkungannya adalah daerah yang biasa saja. Tepian teluk di Kota Kendari itu menjadi tempat anak bermain, orang datang memancing, atau pemulung mencari sampah yang terbawa arus. Cenderung kumuh dan tak tertata.
Namun, beberapa tahun terakhir, saat penataan kawasan teluk diintensifkan, ia merasa mulai banyak perubahan. Kawasan baru bermunculan, yang membawa berkah bagi masyarakat. Tidak hanya ruang terbuka untuk anak-anak bermain, tetapi juga memberikan kesempatan warga untuk berwirausaha. ”Orang banyak yang datang dan kita bisa berjualan. Anak-anak juga banyak tempat bermain baru,” tuturnya, di Anjungan Teluk Kendari, Rabu (25/1/2023).
Anjungan ini diresmikan sejak awal tahun lalu. Sejumlah fasilitas baru bermunculan, dari permainan anak, kolam tempat wahana air, hingga bianglala dan kora-kora. Sebuah jembatan kaca juga terbangun, tapi belum difungsikan karena faktor keamanan.
Kawasan ini terlihat lebih tertata. Saat malam tiba, lampu-lampu yang menyala membuat pemandangan semakin semarak. Di bagian perairan, kerlip lampu kapal yang berlabuh menyiratkan suasana yang bertambah syahdu.
Di seberang, sebuah kawasan baru juga telah selesai dibangun. Ruang Terbuka Hijau Puday-Lapulu seluas 15 hektar, menjadi magnet baru masyarakat untuk menghabiskan waktu. Mereka bersepeda, bermain air, sekadar berfoto, atau berolahraga di ruang baru ini.
Kawasan-kawasan baru ini, menurut Kepala Dinas Pariwisata Kendari Fauziah, dibangun untuk mengembalikan fungsi destinasi Teluk Kendari. Pengembangan dilakukan dengan penataan kawasan kumuh sekaligus membuat ruang baru untuk masyarakat.
”Ada ruang-ruang baru yang dibangun di daerah yang dulunya kumuh dan tidak tertata, baik itu di Lapulu, Talia, hingga Anjungan Kendari di Tipulu. Dengan begitu, masyarakat memiliki pilihan untuk beraktivitas sembari berwisata di dalam kota,” ucapnya.
Ke depan, ia melanjutkan, penataan dan pengembangan wisata di teluk akan terus dilakukan. Selain pembangunan fisik, juga akan diikuti pemberdayaan masyarakat agar bisa mengelola wisata air di kawasan teluk.
Menurut rencana, wisata air dengan sampan yang dimodifikasi akan dikembangkan tahun ini. Tidak hanya itu, kampung wisata juga segera dimaksimalkan agar wisata dalam kota semakin berkembang dengan Teluk Kendari sebagai pusat kegiatannya.
Kota Kendari, dengan teluknya, telah lama terkenal ke seantero wilayah. Namanya melintasi samudra, menjadi jalur pelaut Nusantara, China, hingga Eropa. Kawasan ini lalu dipopulerkan oleh seorang pelaut Belanda bernama Jacques Nicholas Vosmaer.
Sejak awal, pembangunan Kendari memang menjadikan teluk sebagai pusatnya.
Pada 1828, ia ditugaskan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk mengobservasi jalur perdagangan di pesisir timur Sulawesi. ”Saat sampai di Teluk Kendari, ia terpukau melihat wilayah ini karena perairannya yang teduh, terlindungi, dan kawasan yang cantik,” kata Syahrun, pengajar sejarah dan arkeologi di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari.
Menurut Syahrun, pada peta awal Kendari, kawasan teluk juga disebut Vosmaer’s Baai atau Teluk Vosmaer melalui Surat Keputusan Jenderal Van Den Bosch di Batavia. Di teluk inilah Vosmaer kemudian mendirikan kantor dagang dan pusat pemerintahan, yang terus berkembang menjadi sebuah kota baru.
Nama Kendari sendiri diambil dari kata kandai, yaitu alat dari bambu yang dipakai warga saat menyeberangi teluk. Saat itu, warga dari wilayah Lapulu di sisi selatan teluk memakai rakit untuk sampai di wilayah Kota Lama, di seberang sisi utara teluk. Kata kandai inilah yang dalam berbagai literatur berubah menjadi Kendari.
”Sejak awal, pembangunan Kendari memang menjadikan teluk sebagai pusatnya. Di situlah urat nadi transportasi, perdagangan, dan ekonomi masyarakat. Tidak heran sampai sekarang juga menjadi pusat transportasi antardaerah di Sultra karena letaknya yang strategis dan teduh,” kata Syahrun.
Oleh karena itu, pembangunan saat ini memang harus kembali mengarusutamakan teluk yang merupakan identitas awal Kendari. Teluk inilah yang memegang peranan penting perkembangan kota dari masa ke masa.
Baca juga: Ancaman Teluk Kendari
Syahrun mengungkapkan, meski mulai kembali banyak pembangunan di tepian teluk, identitas awal Kendari belum kembali. Pembangunan kota justru meninggalkan peran penting teluk dan kawasan Kota Lama. Bangunan bersejarah justru dirobohkan dan meninggalkan identitas kota.
”Sebagai orang yang berkecimpung di dunia arkeologi, ini adalah harta karun tak ternilai yang sayangnya dihilangkan oleh pembangunan,” katanya.
Kepala Laboratorium Perumahan dan Pemukiman Wilayah Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo (UHO) Annas Maruf menjelaskan, penataan ruang dan kawasan memang harus ditegaskan sejak awal. Wilayah teluk harus dibebaskan dari bangunan pribadi dan mengutamakan ruang publik yang bermanfaat bagi banyak orang.
Selama bertahun-tahun, kawasan teluk seperti berdiri sendiri, berbeda dengan daratan yang dipenuhi permukiman. Akhirnya, perumahan warga ”memunggungi” teluk dan menjadikannya bak halaman belakang. Tepian teluk pun menjadi kumuh, dipenuhi sampah, dan tidak tertata.
Baca juga: Teluk-teluk di Ujung Tanduk
Penataan tepian teluk dengan membuka ruang terbuka baru saat ini berarti menghilangkan penghalang antara perairan dan daratan. Orang kembali berhadapan dengan Teluk Kendari yang memang sarat potensi, baik wisata, edukasi, penelitian, dan ekonomi.
Meski demikian, menurut Annas, masih banyak pekerjaan rumah untuk pemerintah. Ini mulai dari persoalan sampah, sedimentasi, dan penataan tata ruang teluk. Daerah hijau yang harusnya milik negara malah menjadi kepemilikan pribadi yang akhirnya membatasi penataan wilayah.
Riset dari Catrin Sudardjat, M Syahril BK, dan Hadi Kardhana pada 2011, seperti dilansir dari laman LPPM Institut Teknologi Bandung (ITB), Sungai Wanggu yang menguasai daerah aliran sungai (DAS) seluas 339,73 kilometer persegi merupakan penyumbang sedimentasi terbesar di Teluk Kendari. Sedimentasi dari sungai itu mencapai 143.147 meter kubik per tahun atau sekitar 143 juta ton.
Sementara itu, hasil penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara menunjukkan, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir, terjadi pendangkalan di Teluk Kendari seluas 101,8 hektar dan kedalaman laut berkisar 9-10 meter. Luasan wilayah teluk ini menyusut dari semula 1.186,2 hektar menjadi 1.084,4 hektar pada tahun 2000.
Sudah saatnya mengembalikan marwah teluk yang bermanfaat untuk semua.
”Sudah saatnya kembali mengedepankan Teluk Kendari sebagai halaman bersama dan bersatu-padu membangunnya. Tidak bisa hanya pemkot, pemprov, atau instansi lainnya. Harus ada upaya bersama yang berkesinambungan,” tambahnya.
Penjabat Wali Kota Kendari Asmawa Tosepu menuturkan, konsep pengembangan Kendari adalah mengembalikan teluk sebagai halaman depan. Tidak lagi memunggungi sehingga menjadikannya halaman belakang yang tidak tertata dan kumuh.
Oleh karena itu, dilakukanlah berbagai penataan. Ini mencakup pembangunan Anjungan Teluk Kendari, ruang terbuka Talia, hingga terakhir di Lapulu. Ke depan, akan ditingkatkan untuk benar-benar menjadikan teluk sebagai kawasan terbuka dengan wisata air, edukasi, hingga wisata sejarah.
”Dulu teluk itu dipunggungi, jadi saat menjadi ’halaman belakang’, bebas buang sampah. Kita masifkan upaya penataan untuk menjadi halaman depan serta menjaga kebersihan. Bulan depan kita akan mulai rangkaian peringatan HUT Kendari ke-192 dengan bersih-bersih laut,” tutur Asmawa.
Baca juga: Memoles Wajah Kritis Mangrove di Teluk Kendari
Tidak hanya itu, ia melanjutkan, penataan juga mencakup upaya mengembalikan fungsi mangrove yang tergerus pembangunan. Hal ini termasuk dengan kawasan hijau yang pada intinya tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Annas menambahkan, ”Jangan sampai teluk hanya menjadi ’baskom tempat sampah’, kumuh, penuh sedimentasi. Sudah saatnya mengembalikan marwah teluk yang bermanfaat untuk semua.”