Jelang 25 tahun reformasi, mahasiswa dituntut untuk aktif mengawal demokrasi agar tidak dikhianati. Langkah ini sebagai bentuk penghargaan terhadap pendahulu yang telah memperjuangkan kebebasan bersuara dan berpendapat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
RHAMA PURNA JATI
Ribuan mahasiswa di Palembang, Sumatera Selatan, berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di kantor DPRD Sumsel, Kamis (8/10/2020).
PALEMBANG, KOMPAS — Jelang 25 tahun reformasi, mahasiswa dituntut untuk aktif mengawal demokrasi agar tidak dikhianati. Langkah ini sebagai bentuk penghargaan terhadap pendahulu yang telah memperjuangkan Indonesia lepas dari cengkeraman Orde Baru yang otoriter. Kebebasan berpendapat dan bersuara harus digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak.
”Demokrasi adalah cara jitu untuk mengawal pemerintahan agar tidak bertindak sewenang-wenang,” ujar Pius Lustrilanang, penggagas buku Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999, seusai memberikan kuliah umum di Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (26/1/2023).
Menurut Pius, mahasiswa saat ini sudah lebih bebas dalam berekspresi dan menyatakan pendapat termasuk melalui media sosial. Pemerintahan juga sudah memberikan ruang bagi warganya untuk berpendapat. Di sinilah mahasiswa harus tetap menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial agar penyelenggara pemerintahan tidak ”kebablasan”.
Kompas
Ratusan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palembang melakukan aksi unjuk rasa di depan Markas Polda Sumsel, Senin (30/9/2019).
Pius menceritakan kisahnya ketika menjadi aktivis mahasiswa pada rentang tahun 1993-1999 di mana saat itu kebebasan berpendapat sangat dikekang. Ia teringat kala dirinya mengkritik pemerintah melalui organisasi Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera). Organisasi mahasiswa yang terbentuk pada 1994 itu dikenal cukup vokal dalam mengkritik kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, termasuk menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.
Atas keberaniannya tersebut, Pius pun diculik dan disiksa selama 58 hari dari 4 Februari 1998 sampai 3 April 1998. ”Selama saya diculik, saya disetrum, ditendang, dipukuli, dan disuruh tidur di atas balok es,” kisahnya.
Dia pun diinterogasi untuk menyebutkan nama kawan-kawan yang terlibat. Namun, Pius memilih bungkam untuk melindungi rekannya agar tidak bernasib sama dengannya. ”Dalam situasi itu, hanya ada dua kemungkinan, hidup atau mati,” ujarnya.
Beruntung Pius dibiarkan hidup walau diancam untuk tidak menceritakan kejadian itu kepada siapa pun. Namun, ancaman tersebut diacuhkan. Pada 27 April 1998, Pius berbicara di Komnas HAM mengenai peristiwa yang dialaminya, termasuk berangkat ke Belanda untuk menggalang dukungan dunia internasional mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Berkat pernyataannya itu, dukungan dari dunia internasional pun terus berdatangan. Sejumlah aktivis mahasiswa yang diculik akhirnya dilepaskan.
Pius Lustrilanang, penggagas buku Aldera Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999, saat memberikan kuliah umum di Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (26/1/2023).
Dari sini, Pius meyakini bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk mengubah zaman dan menjaga demokrasi agar lebih tidak melenceng dari jalurnya. ”Jangan ada kebijakan-kebijakan yang membuat bangsa ini melangkah mundur seperti masa sebelum reformasi,” katanya.
Semisal, wacana perpanjangan jabatan, jabatan tiga periode, atau kembali ke sistem pemilihan proporsional tertutup. Di sinilah mahasiswa bertanggung jawab untuk mempertahankan demokrasi. ”Gerakan mahasiswa akan selalu muncul terutama ketika kegelisahan masyarakat tidak tersalurkan,” ujar Pius yang saat ini menjabat sebagai anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan RI.
Namun, dengan sistem pendidikan di mana mahasiswa harus menyelesaikan masa pendidikan paling lama empat tahun, tentu akan sulit bagi mereka memahami kondisi perpolitikan yang terjadi. Pius bercerita, ketika menjadi aktivis mahasiswa, pendidikannya pun harus mundur menjadi 8,5 tahun.
”Meski begitu, saya merasa beruntung bisa berkontribusi dalam terciptanya reformasi,” ujar alumni Jurusan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.
Walau dengan masa pendidikan yang singkat, Pius meyakini mahasiswa masa kini akan tetap kritis karena dibekali pemikiran yang dinamis. ”Mahasiswa yang kritis akan menemukan jalannya sendiri,” ujarnya.
RHAMA PURNA JATI
Seorang polisi berusaha menenangkan seorang mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di kantor DPRD Sumsel, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (8/10/2020).
Grahadi Ganang (20), mahasiswa Fakultas MIPA Jurusan Fisika, Universitas Sriwijaya, sangat termotivasi dengan perjuangan para pendahulunya yang memperjuangkan kebebasan yang saat ini sudah bisa dinikmati. Dia tidak menyaksikan perjuangan pergerakan mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi, tetapi sejumlah literatur sudah menjadi gambaran mengenai situasi tersebut.
”Tugas kita saat ini adalah mengisi kebebasan tersebut dengan hal yang positif,” ujarnya.
Menurut dia, setiap mahasiswa tentu memiliki kapasitas masing-masing untuk mengisi reformasi yang sudah didapat. Tinggal bagaimana terus berjuang agar setiap warga bisa memperoleh haknya tanpa rasa takut. ”Jika semua mahasiswa melakukan tugasnya dengan baik, tentu negara ini akan tetap sejahtera,” ujarnya.
Wakil Dekan I Fakultas Hukum Unsri Mada Apriandi menyebut ada perbedaan antara mahasiswa dulu dan saat ini. Kalau dulu, mahasiswa sudah memiliki sasaran yang jelas, yakni menghentikan rezim Orde Baru dan menurunkan Presiden Soeharto. Namun, kini kondisinya sudah berubah. Asupan arus informasi sudah sangat besar sehingga sasaran pun tidak lagi terfokus.
Di sini, mahasiswa dituntut cermat untuk memilah informasi yang kredibel dan valid agar tidak terpengaruh oleh kabar bohong atau hoaks. ”Mahasiswa adalah kaum intelektual yang independen. Kekuatan inilah yang harus dipertahankan,” ujar Mada.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Bernadett Robiani menyebut, di masa Orde Baru di mana semua hal dikekang mengakibatkan sejumlah sektor usaha komoditas tertentu yang dimonopoli oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Akibatnya, terjadi persaingan usaha yang tidak sehat yang muaranya terjadi pada inefisiensi.
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang independen. Kekuatan inilah yang harus dipertahankan,
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kawasan kumuh di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022).
Belum lagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang muncul berdampak pada banyaknya warga yang jatuh pada jurang kemiskinan. Krisis moneter yang menerpa saat itu membuat pemerintah tidak mampu lagi menangani permasalahan ekonomi yang terjadi. Hal ini tergambar dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang anjlok dari Rp 3.000 per dollar AS menjadi Rp 17.000 per dollar AS dan tingkat pengangguran pun bertambah.
Ancaman kemiskinan dan pengangguran, serta risiko KKN juga masih mendera saat ini. Tugas mahasiswa adalah mengawal penyelenggaraan agar mengeluarkan kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya berharap agar mahasiswa masa kini termotivasi dengan pergerakan yang sudah dilakukan oleh pendahulunya dan tetap menjaga ideologis untuk mempertahankan demokrasi. ”Rusak atau baiknya bangsa ini tergantung dari generasi muda karena mereka merupakan calon pemimpin bangsa,” ujar Mawardi.