Erupsi 8 Kali, Aktivitas Anak Krakatau Tak Ganggu Warga Pesisir
Setelah sempat tenang beberapa hari, aktivitas Gunung Anak Krakatau kembali meningkat. Pada Senin, Anak Krakatau tercatat mengalami delapan kali erupsi.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda terus meningkat pada Senin (23/1/2023) dengan delapan kali erupsi. Meski terus bergejolak, aktivitas vulkanik tersebut belum mengancam masyarakat di pesisir pantai dekat gunung api itu.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat, erupsi pertama Gunung Anak Krakatau (GAK) pada Senin terjadi pukul 00.41 dengan amplitudo maksimum 31 milimeter dan durasi 38 detik. Sinar api teramati setinggi 50 meter, tetapi kolom abu tidak teramati karena erupsi terjadi dini hari. Setelah itu, GAK kembali erupsi pada pukul 04.42 dengan tinggi sinar api 100 meter dan tidak terdengar suara dentuman.
Pada pukul 06.00-09.30, GAK kembali mengalami erupsi sebanyak enam kali dengan amplitudo berkisar 50-60 mm dan durasi setiap erupsi 38-143 detik. Ketinggian kolom abu berkisar 200-500 meter. Erupsi pada pukul 07.59 memiliki kolom abu tertinggi, yakni mencapai 500 meter dari atas puncak.
Kepala Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Andi Suardi mengatakan, aktivitas vulkanik GAK kembali meningkat setelah sempat tenang beberapa hari sebelumnya. Meski masih fluktuatif, belum ada peningkatan status GAK karena erupsi yang terjadi dinilai belum membahayakan warga.
Walaupun luncuran abu dan asap tebal terus terlihat dari gunung api, kondisi angin tidak membuat abu sampai ke daratan Lampung ataupun Banten. Saat ini, status GAK masih di Level III (Siaga). Masyarakat tidak boleh mendekat dalam radius 5 kilometer dari kawah.
Hingga Senin pukul 12.00, gunung api dengan ketinggian 157 meter itu mengalami tremor dengan amplitudo 1-55 milimeter. GAK juga masih mengalami gempa vulkanik dangkal 2 kali dan gempa vulkanik dalam 1 kali. Bentuk aktivitas ini menandakan erupsi susulan GAK masih berpotensi terjadi.
Meski begitu, Andi menjelaskan, aktivitas GAK masih belum mengancam masyarakat pesisir pantai yang berdekatan dengan gunung itu. Ia pun terus mengimbau warga untuk tidak mendekati gunung. Warga juga diminta untuk tetap tenang, tetapi tetap mengamati aktivitas gunung dari jarak aman.
Didi (35), warga pesisir Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa, menuturkan, bau belerang yang cukup menyengat kerap tercium saat aktivitas Anak Krakatau meningkat. Kendati begitu, masyarakat tidak mendengar suara dentuman ataupun terdampak abu vulkanik.
Menurut Kepala Resor Cagar Alam Krakatau Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Rindo Thamrin, pihaknya secara berkala melakukan patroli dan pemantauan dari Pulau Sebesi. Hingga kini, aktivitas gunung api itu belum berdampak pada aktivitas sekitar 3.000 warga setempat.
Pihaknya juga berpatroli di perairan dan pulau-pulau kecil sekitar GAK dengan tetap mematuhi rekomendasi jarak aman dari PVMBG. Selain untuk memonitor dan mengamankan kawasan cagar alam laut Kepulauan Karakatau, petugas juga membantu mengawasi agar nelayan setempat tidak mendekat ke gunung api.
Sejak tsunami pada 2018, BKSDA memantau, ekosistem di kawasan Anak Krakatau mulai terbentuk. Berbagai jenis pohon, seperti kelapa, pakis-pakisan, mangrove serta berbagai tanaman perdu dan rumput-rumputan sudah tumbuh.
Selain itu, mulai terlihat pula hewan, seperti biawak, burung, kupu-kupu, dan ular. Petugas juga mendapati adanya rawa. Kendati begitu, hingga kini, belum ada penelitian yang secara khusus mengungkap bagaimana proses suksesi alam di GAK berlangsung.