Dilarang Protes di Depan Presiden, Warga Minahasa Utara Demo di Halaman Rumah
Kakak beradik Sendie dan Debbie Sumarauw ingin menggelar aksi protes kecil di jalan menuju Bendungan Kuwil Kawangkoan yang akan dilewati Presiden Jokowi. Gara-garanya, sekelompok laki-laki menyatroni rumah mereka.
Kacau sudah semua rencana yang disusun kakak beradik Sendie (52) dan Debbie (51) Sumarauw. Sejak pagi, Kamis (19/1/2023), rumah mereka di Desa Kolongan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, disatroni beberapa laki-laki. Rata-rata berambut cepak, tetapi ada juga satu atau dua yang gondrong.
Satu orang di antaranya duduk nyaman di kursi teras, sedangkan yang lainnya mondar-mandir di depan rumah sambil sibuk dengan ponsel masing-masing. Dampaknya, Sendie bahkan tak leluasa untuk mengeluarkan mobil dari parkiran.
Memang, itulah maksud para laki-laki yang pekerjaannya populer dengan sebutan intel itu. Soalnya, di dalam mobil Sendie ada lembar-lembar kertas putih ukuran A1 bermuatan tulisan dari spidol hitam serta selembar kain hitam dengan guratan cat putih. Semua hurufnya kapital.
Mereka khawatir Sendie, Debbie, dan keluarganya akan membawa barang-barang itu keluar, lalu memampangnya di sepanjang jalan dari Desa Kolongan menuju Bendungan Kuwil Kawangkoan. Hari itu Presiden Joko Widodo akan berkunjung ke bendungan baru tersebut untuk meresmikannya.
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil abu-abu berhenti di muka rumah Sendie. Turun seorang laki-laki, yang tak lain Wakil Direktur Intelijen Keamanan Kepolisian Daerah (Wadir Intelkam Polda) Sulut Ajun Komisaris Besar Irham Halid. Mengenakan kaus biru muda, ia langsung melangkah masuk ke halaman dan duduk di kursi teras.
Selama beberapa menit ia dan Sendie berbicara empat mata. Pada saat yang sama, beberapa kerabat Sendie menunggu, di dalam mobil, siap pergi mencari tempat untuk membentangkan kertas-kertas dan kain itu di jalan.
Tiba-tiba Sendie berjalan ke mobil, lalu membuka pintu kanan belakang. Sambil berlutut di jok, ia sibuk mengambil sesuatu keluar. Mendadak, ia berlari ke tengah halaman rumahnya sendiri, kemudian membentangkan selembar kertas lebar. Tulisannya, ”Pak Jokowi, Tangkap Mafia Tanah Waduk”.
”Tangkap mafia tanah! Jangan resmikan Waduk Kuwil Kawangkoan! Tanah saya belum dibayar sejak 2015!” serunya seorang diri.
Debbie dan seorang lagi kerabat kemudian ikut memampang spanduk. Salah satunya bertuliskan ”Stop! Jangan Diresmikan, Banyak Tanah yang Belum Terbayar!” Sendie kemudian membuka juga spanduk bertuliskan ”Pak Presiden, Tanah Kami Yang Dibangun Waduk Tidak Dibayar Oleh Negara. Ahli Waris Marie Sumeisey.”
Baca juga: Bendungan Kuwil Kawangkoan Dapat Kendalikan Banjir di Kota Manado
Sejumlah wartawan langsung meliput aksi itu. Sementara itu, Irham yang semula duduk di teras langsung beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut.
Duduk masalah
”Tanah saya dari 2015 tidak pernah dibayar, tetapi sudah dibongkar, sudah dipakai untuk dijadikan waduk (Kuwil Kawangkoan). Sekarang akan diresmikan. Selesaikan (masalah) tanah kami, bayar tanah kami. Kalau tidak mau dibayar, kembalikan hak orangtua kami!” seru Sendie.
Sendie dan Debbie adalah dua ahli waris tanah seluas 4,05 hektar milik ibu mereka, Marie Sumeisey (74). Letaknya di sisi utara bendungan, beberapa kilometer dari kediaman mereka.
Debbie mengatakan, lahan itu dijadikan kebun, tetapi tak tahu tanaman apa saja yang tumbuh di sana. Lahan itu masuk dalam wilayah pembangunan bendungan yang ditetapkan oleh Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) I sebagai penanggung jawab proyek Bendungan Kuwil Kawangkoan. Namun, Sendie mengklaim tidak pernah ada proses ganti rugi.
Justru, lanjutnya, terdapat kejanggalan pada ganti rugi lahan 2,8 hektar milik seorang pria bernama Joppy Karundeng di utara lahan ibunya. ”Pas pembebasan tertulis lahan Joppy Karundeng 7,2 hektar. Areanya mencakup tanah ibu kami. Anehnya, dia cuma dapat ganti rugi untuk 2,8 hektar. Lalu, ke mana selisihnya?” kata Sendie.
Wajar jika Sendie dan Debbie tidak terima. Berdasarkan hasil musyawarah penetapan bentuk ganti rugi pengadaan lahan untuk pembangunan bendungan pada 21 Desember 2018, mereka seharusnya mendapatkan nilai ganti rugi kerugian fisik sebesar Rp 6,43 miliar.
Saat mereka berupaya meminta klarifikasi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Sulut, surat-surat keterangan kepemilikan, warisan, hingga pengukuran tanah justru dikatakan hilang. Sendie dan Debbie pun yakin, mereka jadi korban mafia tanah.
”Ini supaya Bapak Presiden lihat, memang bagus, sudah selesai waduknya. Tetapi, di sini ada mafia tanah. Mafia tanahnya BPN dan Balai Sungai (BWSS I). Kasih masuk penjara saja!” seru Sendie.
Peran polisi
Di tengah aksi protes di halaman rumah itu, Kepala Satuan (Kasat) Intelkam Kepolisian Resor Minahasa Utara Ajun Komisaris Deky Pangandaheng yang berjaga di halaman secara halus berupaya menarik poster dan spanduk yang dipegang Sendie dan Debbie. Ia juga meminta wartawan berhenti meliput.
Kendati dihalang-halangi, di sisi lain Sendie juga salut kepada para intel Polda Sulut. Pada Rabu (18/1/2023), ia difasilitasi untuk bertemu dengan Kepala Kanwil BPN Sulut. Saat itulah surat-surat bukti kepemilikan dan keterangan waris tanah ibu mereka secara ”ajaib” ditemukan.
Terkait hal ini, Deky mengatakan, kepolisian baru mengetahui masalah lahan ini 24 jam terakhir. Namun, ini tergolong hukum perdata yang bukan ranah kepolisian. Karena itu, pihaknya hanya bisa membantu mempertemukan pihak-pihak terkait.
Baca juga: Wisman Leluasa ke Tanah Air, Publik Diminta Tak Khawatir Covid-19
”Menurut ibu (Sendie), tanahnya masuk di penlok (penetapan lokasi), tetapi di dokumen penlok (milik BWSS I), itu bukan namanya. Jadi, kami harus turun lapangan bersama hukum tua (kepala desa) untuk memastikan,” katanya.
Berkat upaya kepolisian, Kanwil BPN Sulut mengundang Sendie untuk klarifikasi pada Jumat (20/1/2023) pukul 08.00 Wita. ”Undangan sudah masuk, coba dicek dulu,” kata Deky kepada Sendie.
Tren
Terlepas dari duduk perkara pembebasan lahan itu, kepolisian akhirnya dapat mencegah Sendie dan Debbie menyuarakan aspirasi mereka secara publik, hak yang sebenarnya dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Awalnya, mereka berharap poster-poster buatan mereka akan dilihat Presiden Jokowi ketika rombongannya melintas di jalan.
Upaya pencegahan penyampaian aspirasi warga oleh aparat keamanan ketika Presiden berkunjung ke suatu daerah bukan kali pertama terjadi. Pada 7 September 2021, seorang pria di Blitar, Jawa Timur, diringkus polisi karena membentangkan poster bertuliskan, ”Pak Jokowi, Bantu Peternak Beli Jagung Dengan Harga Wajar.”
Aksi itu dilakukan tiba-tiba saat mobil Presiden melintas dari Pusat Informasi Perdagangan dan Pariwisata (PIPP) Kota Blitar menuju makam Bung Karno. Dilansir dari Kompas.com, pihak kepolisian menyatakan, pria itu ditangkap untuk mencegah terjadinya kerumunan yang menyebabkan penularan Covid-19.
Sepekan kemudian, tujuh mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret di Surakarta, Jawa Tengah, ditangkap karena hendak membentangkan poster. Sebelum sempat beraksi, kepolisian telah melakukan antisipasi dengan menggeledah tas sejumlah mahasiswa.
Pada 8 September 2021, belasan warga di Balikpapan yang ingin menggelar aksi protes karena belum menerima ganti rugi lahan yang dibebaskan untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda batal beraksi di depan Presiden. Kepolisian sudah mengantisipasinya.
Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Al Araf, peneliti Imparsial, sebuah lembaga pengawas hak asasi manusia (HAM), mengatakan hal ini sejalan dengan menurunnya indeks demokrasi di Indonesia akibat pemberangusan kebebasan sipil.
Ini sesuatu yang menurut saya sudah bermasalah dalam kondisi politik kita. Penilaian ilmuwan dari luar negeri bahwa demokrasi di Indonesia mengalami proses regresi atau kemunduran demokrasi itu jadi terlihat. (Al Araf)
Freedom House, lembaga pemonitor demokrasi internasional, misalnya, mengategorikan Indonesia sebagai negara yang bebas sebagian (partly free) saja. Pada 2022, nilai kebebasan di Indonesia hanya 59 dari 100. Terjadi penurunan secara konstan di bawah pemerintahan Jokowi sejak 2016. Saat itu, skor kebebasan Indonesia adalah 65 dari 100.
”Ini sesuatu yang menurut saya sudah bermasalah dalam kondisi politik kita. Penilaian ilmuwan dari luar negeri bahwa demokrasi di Indonesia mengalami proses regresi atau kemunduran demokrasi itu jadi terlihat,” kata Al Araf.
Tren ini, lanjutnya, berakar dari perubahan watak politik kekuasaan yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi, salah satunya dalam bentuk infrastruktur. Masalahnya, pendekatan ini justru menafikan hak-hak sipil masyarakat, terutama dalam menyampaikan aspirasi dalam bentuk protes terkait pembangunan tersebut.
”Ini hal buruk dalam dinamika demokrasi di Indonesia dan amat mengecewakan karena terjadi di rezim pemerintahan Jokowi yang adalah pemimpin berlatar belakang sipil,” kata Al Araf.
Ia yakin ada pengaruh orang-orang di lingkaran Presiden yang memberikan perspektif dalam mengambil kebijakan. Namun, Presiden Jokowi sebagai kepala negara memiliki peran mengambil kebijakan akhir.
Apa yang dilakukan Sendie dan Debbie ataupun pria di Blitar yang ditangkap adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diakui konstitusi. Al Araf berharap, Presiden memberikan ruang-ruang aspirasi rakyat, terutama dalam kunjungan ke daerah.
”Peresmian-peresmian (proyek) itu penting, tetapi jauh lebih penting untuk mendengarkan keluhan masyarakat,” katanya.
Kembali ke Minahasa Utara, akhirnya, Kamis siang itu, Presiden Jokowi meresmikan Bendungan Kuwil Kawangkoan. Presiden juga sempat menggelar kuis untuk bagi-bagi sepeda. Sementara itu, Sendie dan Debbie pasrah saja. Mereka sudah melawan demi hak untuk bebas berpendapat, sekalipun hanya terkungkung di halaman rumah sendiri.