Bernilai Puluhan Juta, Getah Gaharu Jadi Buruan Warga di Kalteng
Mencari getah gaharu menjadi salah satu mata pencarian masyarakat di Kalimantan Tengah yang bisa mendatangkan penghasilan puluhan juta rupiah. Pohon gaharu juga merupakan bagian penting ekosistem hutan di Kalimantan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pasar hutan nonkayu di Kalimantan Tengah masih bergeliat. Kini, getah pohon gaharu atau Aquilaria malaccensis kembali diburu karena bernilai puluhan juta. Di Kabupaten Lamandau, misalnya, masyarakat adat Dayak Tomun menjadikan hasil hutan bukan kayu itu sebagai mata pencarian sehari-hari.
Maret Bantap (24), warga Desa Kubung, Kecamatan Delang, Lamandau, belum lama ini menjual dua kilogram getah gaharu setelah berburu di hutan selama lebih kurang satu minggu. Dua kilogram getah gaharu itu terjual dengan harga Rp 86 juta melalui tengkulak.
Setiap kilogram getah gaharu dijual dengan harga Rp 40 juta-Rp 50 juta, tergantung kualitasnya. Bahkan, pada saat-saat tertentu, harga getah tersebut bisa mencapai Rp 60 juta per kilogramnya.
Bantap menambahkan, kegiatan mencari getah gaharu itu sudah dilakukan masyarakat setempat sejak lama. Apalagi, banyak pohon gaharu yang tumbuh secara alamiah di hutan sekeliling Desa Kubung.
”Mencari di hutan, kami hanya ambil getahnya. Pohonnya tidak ditebang. Kalau ditebang habis nanti,” kata Bantap saat dihubungi dari Palangkaraya, Minggu (22/1/2023).
Bantap menambahkan, mencari getah gaharu masih menjadi aktivitasnya sampai saat ini. Pemuda lulusan SMK itu mengumpulkan uang hasil menjual getah gaharu untuk menyekolahkan adik-adiknya.
”Kalau ke hutan bukan hanya nyari getah (gaharu), kadang panen jengkol atau durian hutan juga, sambil cari babi hutan,” kata Bantap.
Berdasarkan pantauan Kompas saat ke hutan di Desa Kubung akhir tahun lalu, masyarakat tak hanya mencari getah gaharu. Mereka juga membudidayakan pohon gaharu, membuat pembibitan, dan menanamnya kembali di hutan-hutan.
RK Maladi, tokoh masyarakat Desa Kubung, menjelaskan, mencari gaharu sudah menjadi bagian dari budaya warga setempat. Orang Dayak Tomun, menurut Maladi, percaya jika setiap tanaman memiliki roh sehingga tidak bisa memotong pohon sembarang.
”Begitu juga saat mencari getah ini. Karena bernilai tinggi, banyak pantangan yang harus dijalankan oleh pencari getah ini,” kata Maladi.
Maladi menyebut beberapa pantangan yang harus dijalankan para pemburu gaharu, antara lain dilarang berbicara jorok, tidak boleh bergosip, serta tidak boleh berpikir jorok.
”Saat bawa bekal dari rumah, tidak boleh dengan sayur umbut. Lalu, kalau makan, harus dihabiskan tidak boleh sisa,” tutur Maladi.
Setiap kilogram getah gaharu dijual dengan harga Rp 40 juta-Rp 50 juta, tergantung kualitasnya.
Pantangan itu, kata Maladi, tidak hanya dilakukan para pemburu, tetapi juga keluarga mereka yang menunggu di rumah. ”Di hutan kami, sebagian besar pohon itu tidak ditanam manusia, tetapi dibawa burung-burung dari entah di mana hingga ke sini,” katanya.
Meski begitu, Maladi menyebut, saat ini warga sudah menyiapkan bibit gaharu untuk ditanam kembali. ”Sudah ada seribu bibit yang bakal ditanam,” ujarnya.
Infeksi jamur
Dosen Kehutanan di Institut Pertanian Yogyakarta, Siti Maimunah, mengungkapkan, pohon gaharu memiliki nilai jual yang tinggi serta kerap digunakan dalam berbagai ritual adat. Mencari getah pohon gaharu sudah menjadi mata pencarian sejak awal tahun 1990-an di Kalimantan Tengah dan berbagai daerah lain di Kalimantan.
Getah gaharu, lanjut Siti, terbentuk karena infeksi jamur yang hidup di batang pohon itu secara alami. Jamur tersebut secara alami memberi luka pada batang pohon gaharu yang menjadi tempat keluarnya eksudat atau cairan. Cairan tersebut adalah getah gaharu yang diburu banyak orang.
”Dalam kondisi tertentu, gaharu bisa tidak mengeluarkan getah jika jamur yang bersimbiosis dengan gaharu itu tidak tersedia. Cairan yang dihasilkan tanpa jamur berbeda dengan yang diinfeksi jamur,” tutur Siti.
Harga getah gaharu, kata Siti, menjadi mahal karena digunakan di banyak negara untuk aromaterapi dan minyak wangi atau wewangian. Masyarakat lokal biasanya arif menggunakan gaharu dengan hanya mengambil getah karena memang populasi pohon itu cukup sedikit.
”Pohon gaharu merupakan bagian dari penyusun ekosistem di dalam hutan sehingga punya peran penting. Apalagi, bersimbiosis dengan jamur yang meskipun parasit pada pohon, tetapi menguntungkan manusia,” kata Siti.
Akan tetapi, pohon gaharu juga terancam punah karena tidak sedikit yang mengincar kayu gaharu. ”Harusnya yang didukung itu pengolahan hasil hutan bukan kayu sehingga masyarakat tetap sejahtera, alamnya juga tidak dirusak,” kata Siti.