Pembentukan Undang-undang Dinilai Belum Berpihak kepada Rakyat Kecil
Beberapa tahun ini, pemerintah dan DPR dinilai hanya berfokus pada undang-undang yang menyangkut kepentingan modal dan investasi. Pembentukan UU yang menyangkut nasib rakyat, seperti RUU Masyarakat Adat, jalan di tempat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pemerintah dan DPR diminta memprioritaskan pembentukan undang-undang yang menyangkut perlindungan dan pemenuhan hak rakyat kecil. Dalam beberapa tahun ini, pemerintah dan DPR dinilai hanya berfokus pada undang-undang yang menyangkut kepentingan modal dan investasi semata.
Puncaknya, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Hal ini menjadi benang merah diskusi bertajuk ”Peluang dan Tantangan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Tahun 2023” yang diselenggarakan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) di Medan, Jumat (20/1/2023).
”Pada 2020, UU Cipta Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak menerapkan prinsip partisipasi bermakna. Presiden malah mengeluarkan Perppu Ciptaker juga tanpa partisipasi dari publik,” kata Koordinator Divisi Studi dan Advokasi Bakumsu Juniaty Aritonang.
Juniaty juga menyoroti sejumlah undang-undang yang dikeluarkan pemerintah dalam beberapa tahun ini, seperti UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, serta UU No 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ada semangat yang sama yang ditemukan dalam pembentukan UU itu, yakni sentralisasi kembali kekuasaan kepada pemerintah pusat, pengurangan wewenang pemerintah daerah, serta keberpihakan kepada investasi dan modal. Sementara keberpihakan kepada rakyat kecil dinilai sangat minim. Dalam Perppu Ciptaker, misalnya, hak-hak pekerja dikurangi, sementara pengusaha diberi keringanan.
Pemerintah dan DPR terkesan mengebut pengesahan sejumlah UU itu. Di sisi lain, pembentukan UU yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat kecil sangat lambat. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, misalnya, tidak kunjung disahkan. Kekosongan hukum tentang pengakuan masyarakat hukum adat ini telah menimbulkan banyak konflik agraria di Indonesia, termasuk di Sumut.
Pembentukan UU Masyarakat Adat juga merupakan amanat konstitusi yang disebutkan langsung dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945. Sudah 23 tahun amanat itu dimuat dalam amendemen ke-2 UUD 1945, tetapi hingga sekarang negara tidak melaksanakannya.
Menurut Koordinator Divisi Bantuan Hukum Bakumsu Roy Marsen Simarmata, sejumlah konflik agraria di Sumut tak pernah bisa diselesaikan. Hal ini, antara lain, karena lambatnya pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Masyarakat di sekitar Danau Toba, seperti masyarakat adat Sihaporas di Simalungun dan masyarakat adat Natumingka di Toba, masih menghadapi konflik agraria dengan perusahaan hutan tanaman industri yang mengambil hutan adat mereka melalui konsesi. Di Kabupaten Dairi, masyarakat berhadapan dengan perusahaan tambang seng dan timbal yang dinilai mengancam pertanian dan keselamatan mereka.
Banyak laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti dengan penegakan hukum.
Selain itu, di Deli Serdang, kelompok tani Desa Rambung Baru terlibat konflik agraria dengan perusahaan pemakaman mewah. Konflik agraria di lahan bekas hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara II juga tidak menemukan titik terang selama 23 tahun.
”Banyak laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti dengan penegakan hukum. Di sisi lain, laporan dari perusahaan sangat cepat diproses,” kata Roy.
Direktur Yayasan Pijar Podi Reantina Novaria Gurusinga mengatakan, kasus-kasus yang merebak di sejumlah daerah seharusnya menjadi refleksi untuk pembentukan UU yang berpihak kepada perlindungan rakyat. Banyak kasus yang menunjukkan rentannya posisi pekerja rumah tangga, merebaknya pelecehan seksual terhadap anak, ketidakadilan jender, hingga meluasnya pernikahan anak.
”Namun, isu-isu ini tidak menjadi perhatian pemerintah ataupun DPR dalam pembentukan UU sehingga tidak diprioritaskan,” ujarnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Huria Kristen Batak Protestan Nommensen Janpatar Simamora mengatakan, masyarakat membaca adanya gejala kemunduran demokrasi dalam penerbitan UU beberapa tahun ini. Partisipasi masyarakat sangat minim dan hampir tidak ada aspirasi masyarakat sipil yang didengarkan dalam pembentukan UU.
Jika substansi UU dikritik, pemerintah hanya meminta masyarakat menguji UU ke Mahkamah Konstitusi, tidak ada upaya menyerap aspirasi. Dalam kasus UU Cipta Kerja, pemerintah justru mengeluarkan perppu saat MK menyatakan UU itu inkonstitusional bersyarat. ”Seyogianya, hal yang paling utama dalam pembentukan hukum adalah partisipasi masyarakat. Hukum tidak mungkin dibentuk tanpa masyarakat itu sendiri,” ujarnya.