Wisata Perahu Hias Sudiro, Memori Lalu Lintas Air Solo Tempo Dulu
Tak hanya karnaval budaya, Grebeg Sudiro juga mempunyai daya tarik lain, yakni wisata perahu hias. Di balik keindahan warna-warni perahu dan lampionnya tersimpan kisah kejayaan transportasi air dalam kota tempo lawas.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Tak hanya karnaval budaya, Grebeg Sudiro juga menghadirkan wisata perahu hias. Di balik keindahan warna-warni perahu dan lampionnya tersimpan kisah kejayaan transportasi air dalam Kota Surakarta, yang disebut juga Kota Solo, tempo lawas.
Lampion beragam warna bergelantungan di sepanjang Sungai Pepe, atau Kali Pepe, di Kelurahan Sudiroprajan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (16/1/2023) malam. Kilauan cahayanya yang memantul dari permukaan air sungai tampak apik nan memukau. Warna-warni cahaya melebur setiap kali air Sungai Pepe dilewati perahu motor yang lalu lalang bergantian.
Senyum kagum tersungging dari wajah para penumpang perahu. Mereka tak ingin melewatkan momen menyusuri sungai sembari disinari pendar cahaya. Ponsel dikeluarkan dari saku. Sejurus kemudian, mereka sibuk merekam keindahan tersebut.
Sama seperti kebanyakan pengunjung lainnya, Joko Slamet Riyanto (22), warga asal Yogyakarta, menyempatkan diri di sela-sela kelonggaran kuliahnya untuk berkunjung ke pergelaran tersebut. Ia rela jauh-jauh datang karena jarang terdapat atraksi wisata serupa di kotanya.
”Bagus sekali ternyata. Lampu-lampunya itu seperti membuat syahdu. Pastisih ajak teman-teman lebih banyak lagi nanti kalau ada waktu luang,” ungkap Joko, yang kali ini datang bersama saudaranya.
Joko mengaku puas dengan perjalanan singkat bolak-balik menyusuri sungai dengan perahu motor tersebut. Sebab, pengelola tidak hanya memastikan aspek keindahan. Faktor keselamatan juga tidak dilupakan dengan diwajibkannya penumpang mengenakan jaket pelampung. Kondisi tersebut membuatnya bisa lebih tenang menyaksikan sajian indah warna-warni lampion di sepanjang rute.
Dalam rangkaian Grebeg Sudiro, atraksi perahu hias diadakan untuk membuat pergelaran tahunan tersebut bertambah meriah. Harga tiketnya Rp 10.000 per orang. Satu perahu bisa dinaiki hingga enam orang.
Adapun panjang rute yang dilalui sekitar 500 meter terhitung dari titik keberangkatan hingga kembali. Atraksi tersebut bisa dinikmati sejak 10 Januari 2023 dan akan berakhir pada 30 Januari 2023 nanti.
Kepala Kelompok Dasar Wisata Sudiroprajan Basuki Cahyono menyampaikan, atraksi tersebut mulai ditawarkan kepada pengunjung sejak 2015. Ide berawal dari eksplorasinya tentang potensi kelurahan yang bisa dimunculkan sebagai hiburan tambahan dalam Grebeg Sudiro. Hal itu bertujuan agar pengunjung tak bosan dengan sajian yang itu-itu saja.
”Lalu, kami lihat ada sungai yang kebetulan masih berada di kawasan Pasar Gede Hardjonegoro. Sepertinya akan menarik jika dibuat wisata perahu. Lalu, kami berinisiatif buat menyewa satu perahu dulu. Ternyata respons masyarakat sangat baik,” kata Basuki.
Saat ini, Kelompok Dasar Wisata Sudiroprajan telah memiliki perahu operasional sendiri. Jumlahnya tiga unit. Dalam sehari, rata-rata 500 orang yang dilayani oleh perahu hias tersebut. Pada saat sepi, penumpang turun menjadi 300-400 orang per hari.
Adapun tema hiasan perahu disesuaikan dengan Imlek karena Grebeg Sudiro diselenggarakan untuk menyambut perayaan tahun baru China. Sebagai contoh, ada satu perahu atapnya dihiasi lampu yang menyerupai wujud naga.
”Masa-masa awal merintis tidaklah mudah. Kondisi sungai tidak terawat dan penuh sampah. Semula sempat pesimistis juga apakah bisa atau tidak. Sekarang justru berhasil. Setiap mau ada pergelaran, kami sekalian bersih-bersih sungai,” kata Basuki.
Transportasi penting
Dihubungi terpisah, sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, menyampaikan, operasional wisata perahu hias memiliki potensi sejarah yang besar. Aktivitas tersebut turut membangkitkan memori masa lampau karena sungai pernah menjadi moda transporasi yang sangat penting bagi Kota Surakarta.
Dalam sehari, rata-rata 500 orang yang dilayani oleh perahu hias tersebut.
Dahulu, menurut Heri, Sungai Pepe merupakan titik bongkar muat dagangan bagi pedagang Pasar Gede Hardjonagoro. Barang dagangan biasanya diambil dari kapal-kapal besar yang bersandar di muara sungai tersebut, yaitu Bengawan Solo. Perahu kecil akan membawa barang dagangan itu melalui sungai-sungai kecil yang melintas di tengah kota. Adapun barang yang dibawa adalah garam, piring, ikan, pakaian, dan lain sebagainya.
”Masa jaya-jayanya itu sekitaran abad ke-18. Itu juga ditandai dengan perpindahan Keraton Surakarta dari Kartasura ke Desa Sala. Lokasi keraton dipilih dekat sungai yang dekat pula dengan kawasan perekonomian,” kata Heri.
Di sisi lain, lanjut Heri, penggunaan jalur transportasi air ini juga lekat dengan komunitas Tionghoa. Itu bisa ditunjukkan dari rumah toko milik mereka yang biasanya terletak di dekat sungai untuk memudahkan distribusi barang dagangan mengingat rumah mereka sekaligus dijadikan toko.
Kawasan Pasar Gede Hardjonagoro, yang dilintasi oleh Sungai Pepe, juga sejak lama dikenal sebagai kawasan pusat komunitas Tionghoa. Aktivitas perdagangan diduga berlangsung jauh sebelum bangunan pasar berdiri pada 1930-an. Hal itu didukung oleh berdirinya Kelenteng Tien Kok Sie pada 1745. Keberadaan bangunan peribadahan tersebut turut menandai eksistensi komunitas Tionghoa pada kawasan itu.
”Kebetulan, kan, memang grebeg ini untuk memeriahkan Imlek. Ini mengingatkan kembali besarnya peranan komunitas Tionghoa terhadap perekonomian Kota Surakarta. Bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga sosial. Ingatan itu seakan terputar lagi lewat wisata ini,” kata Heri.
Namun, moda transportasi air dalam kota mulai ditinggalkan sekitar tahun 1870-an. Pesatnya perkembangan kereta api perlahan membuat pelaku perdagangan meninggalkan jalur sungai. Jalur darat dijadikan tumpuan utama karena mampu mempersingkat waktu. Dari segi biaya juga dianggap efisien.
”Jika mengandalkan sungai, sangat bergantung cuaca. Sesekali jika cuaca buruk pelayaran harus ditunda. Belum lagi pendangkalan sungai menghambat perahu-perahu melintas,” kata Heri.
Kemasan sejarah bisa mampu membuat wisata perahu hias bermakna lebih mendalam. Tak sekadar menikmati indahnya cahaya lampion yang berkelip, tetapi sekaligus juga menyelami masa lalu agar mengenali pentingnya peranan sungai yang kini tidak diperhatikan warga kota.