“Ratusan” Jurus Perpustakaan 400 Kota Cirebon Mengundang Pemustaka
Lewat perpustakaan, sejumlah kalangan di Cirebon "melawan" di tengah cepat perkembangan jaman dan lemahnya minat baca. Mereka berinovasi hingga menyesuaikan diri dengan kecanggihan teknologi dan keinginan masyarakatnya,
Perpustakaan 400 di Kota Cirebon, Jawa Barat, lebih dari sekadar tempat membaca buku. Di sana, pengunjung bisa ikut kelas bercerita, belajar kerajinan dan hidroponik, merajut, serta memasak. Inilah “ratusan” cara mendekatkan warga ke perpustakaan di tengah rendahnya minat baca.
Belasan anak-anak duduk melantai di atas karpet Perpustakaan 400 di Jalan Brigadir Jenderal Dharsono, Selasa (17/1/2023). Mereka antusias menyaksikan Lismah Rahmawati (54), pegiat literasi, bercerita tentang seorang anak yang ingin bermain, tetapi orangtuanya acuh tak acuh.
Menggunakan buku bergambar, Lismah menunjukkan aktivitas anak perempuan itu yang membuat bunga hingga sandwich atau roti lapis untuk orangtuanya. Namun, ayah dan ibu anak itu tidak peduli karena masih banyak pekerjaan. Anak itu pun sedih lalu tertidur.
Sambil memiringkan kepalanya, Lismah menutup mata dan tertidur, seperti kisahnya. Merasa bersalah, orang tua itu lalu membangunkan anaknya dan memohon maaf. Mereka menjanjikan akan berlibur bersama sang anak.
“Yeayyy…,” sorak anak-anak yang mendengar akhir ceritanya.
Begitu suasana kelas storytelling atau bercerita yang rutin digelar setiap Selasa di Perpustakaan 400. Siang itu, beberapa anak juga membaca buku bergambar di atas meja dan kursi warna-warni. Ada juga yang berbaring di sofa atau membikin kerajinan kertas dan karton.
Baca juga : Nissa Rengganis, Menghidupi Sastra di Cirebon
Setelah mengikuti kelas bercerita atau storytelling, peserta didik dari TK ABC Montessori Cirebon itu berbaris sambil memegang pundak kawan di depannya. Mereka lalu tur keliling perpustakaan, menyusuri labirin rak buku dari kategori politik, ekonomi, agama, hingga filsafat.
Beberapa guru mereka sempat kelimpungan ketika ada anak yang keluar dari barisan karena penasaran dengan buku gambar. Begitupun saat mereka mengobrol di antara mahasiswa yang sibuk mengetik. Namun, tak sekalipun pustakawan marah, seperti layaknya adegan film.
Anak-anak sempat menghentikan langkahnya saat melihat kain batik megamendung, motif khas Cirebon, yang melingkar di salah satu pilar tembok. Peserta didik juga ikut mengamati papan tulis yang berisi kerajinan kertas. Ada yang berbentuk bunga matahari, kumbang, hingga kapal.
“Ini kegiatan pertama kami di luar sekolah setelah pandemi. Kami memilih ke sini untuk mengenalkan perpustakaan kepada anak-anak. Mereka bisa meningkatkan minat baca dengan storytelling. Apalagi, di sini gratis,” ujar Suci Leginasari, guru TK ABC Montessori.
Warga Cirebon ini bahkan pernah mengajak sejumlah anak-anak di kompleksnya ikut kelas bercerita di Perpustakaan 400. “Di sini lebih ekspresif. Pengunjung tidak hanya membaca, tetapi juga ada permainannya sampai tur perpustakaan,” ucapnya.
“Wajah” baru perpustakaan daerah yang ramai dengan kegiatan itu sudah dimulai sejak 2018. “Saat itu, saya lihat gedung perpustakaan sudah bagus. Tetapi, kok enggak ada aktivitas, selain baca dan pinjam buku, lalu pulang. Padahal, beroperasinya sampai pukul 21.00,” kata Lismah.
Padahal, perpustakaan harusnya menjadi tempat pertemuan bagi siapa saja, bukan hanya pelajar. “Saya pernah ke Amerika Serikat dan Inggris. Di sana, anak bayi sampai warga lansia (lanjut usia) datang ke perpustakaan. Orang tua ajak anaknya ke perpus sepulang sekolah,” katanya.
Bahkan, ada yang sudah menjual hasil rajutannya. Ada juga yang tahu resep baru untuk usaha kuenya
Pengelola Pendidikan Anak Usia Dini Alam Nur Cendekia ini pun meminta izin kepada pejabat Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kota Cirebon untuk membuat kegiatan. Dengan sukarela, ia menginisiasi kelas bercerita, merajut, kerajinan, hidroponik, hingga memasak.
Pengunjung pun beragam. Ketika anak-anak Paud dan TK mengikuti kelas bercerita, ibu mereka belajar merajut aneka produk, seperti sepatu dan tas. Belasan ibu-ibu juga belajar memasak roti, kue sus, hingga camilan tradisional, seperti kue talam. Semuanya berlangsung di perpustakaan.
Dengan kegiatan seperti itu, orang yang sebelumnya enggak tahu perpustakaan kini mulai paham. Orang yang datang untuk memasak, perlahan membaca buku resep. “Bahkan, ada yang sudah menjual hasil rajutannya. Ada juga yang tahu resep baru untuk usaha kuenya,” ujarnya.
Jumlah pengunjung Perpustakaan 400 pun membludak. Tahun 2018, tercatat 65.100 orang berkunjung. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 102.975 orang. Namun, akibat pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, kedatangan pengunjung hanya ribuan orang.
Baca juga : Kartino Ali, Kapten Literasi dari Cirebon
Tahun 2022, seiring melandainya penularan Covid-19, sebanyak 19.854 pemustaka mampir ke Perpustakaan 400. Sebagian besar pengunjung atau 13.521 orang berstatus mahasiswa. Adapun jumlah anggota Perpustakaan 400 saat ini berkisar 12.000 orang.
Meski pandemi, pengelola perpustakaan telah menerapkan layanan digital agar pemustaka bisa membaca buku via daring. Dengan mengunduh aplikasi iCirebon di Playstore dan mendaftarkan diri, warga dapat menikmati berbagai koleksi buku digital gratis. Peminjaman buku pun cukup di aplikasi.
“Kami juga punya Singkono (sistem informasi koleksi naskah kuno) yang dapat diakses secara online,” ucap Kepala Dispusip Kota Cirebon Gunawan.
Caranya, pemustaka cukup membuka laman Singkono. Di sana juga terdapat naskah kuno dari keraton. Namun, Gunawan mengakui, masih terdapat sejumlah hal yang perlu dibenahi di Perpustakaan 400.
“Salah satunya pencahayaan. Ini salah satu perhatian dari asesor Perpustakaan Nasional saat berkunjung ke sini. Kami akan memperbaiki masalah penerangan ini,” ujarnya.
Persoalan lainnya, koleksi buku di perpustakaan minim pembaharuan. “Pengadaan buku yang baru terakhir tahun 2019. Itu pun bukunya ada yang terbit tahun 2017. Anggaran masih menjadi kendala,” ujar Warsita, Sub Koordinator Pengelolaan Perpustakaan Dispusip Kota Cirebon.
Saat ini, koleksi buku di Perpustakaan 400 tercatat 20.209 judul buku dengan jumlah eksemplar mencapai 46.343 buku. Setiap satu judul buku memiliki minimal dua eksemplar buku. “Semua buku dalam kondisi laik baca. Kami selalu menjaganya agar tidak rusak,” ucap Warsita.
Meskipun masih terdapat kekurangan, Perpustakaan 400 telah berinovasi menggaet pemustaka lewat kelas bercerita hingga digitalisasi naskah kuno. Harapannya, upaya itu dapat berkontribusi dalam peningkatan minat baca masyarakat.
Apalagi, survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan, kemampuan membaca siswa Indonesia di urutan ke-71 dari 76 negara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 juga mencatat indeks literasi membaca siswa skala 37,32 dari skala 100.
Di tengah rendahnya minat baca publik dan kehadiran mesin pencari instan di internet, perjuangan Perpustakaan 400 tidak selalu mulus. Sebelum 1984, perpustakaan itu awalnya merupakan markas Ikatan Keluarga Batalion 400 Tentara Pelajar Brigade XVII Siliwangi.
“Kalau dulu tempat ini digunakan melawan penjajah, sekarang kehadiran perpustakaan ini untuk melawan kebodohan. Caranya, mengajak siapa pun membaca dengan literasi kreatif,” ucap Dedi Kurniadi, pustakawan Perpustakaan 400.
Jaman serba digital seharusnya tidak membuat perpustakaan lantas mati tidak berdaya. Ada banyak pilihan untuk tetap menjadikannya ruang kreativitas bagi siapa saja yang datang ke sana.
Baca juga : Deni Rachman, Jejak Literasi Bandung