Enam Pemerkosa di Brebes Jadi Tersangka, Lima Masih Anak-anak
Para pemerkosa anak berusia 15 tahun di Brebes, Jawa Tengah, ditetapkan sebagai tersangka. Para tersangka yang lima di antaranya di bawah umur tersebut terancam hukuman penjara hingga 15 tahun.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
(DOK HUMAS POLRES BREBES)
Konferensi pers kasus pencabulan anak berusia 15 tahun di Kantor Polres Brebes, Jawa Tengah, Rabu (18/1/2023). Dalam kasus itu ada enam tersangka yang lima di antaranya anak di bawah umur.
BREBES, KOMPAS — Enam orang pemerkosa perempuan 15 tahun di Desa Sengon, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Dari enam orang itu, lima di antaranya merupakan anak di bawah umur.
Para pelaku pemerkosaan adalah AF (17), MFH (15), DAP (15), AMD (16), AM (16), dan Adi Irawan (18). Keenam orang itu merupakan warga Desa Sengon atau tetangga korban. Mereka diringkus anggota Kepolisian Resor Brebes di rumah masing-masing pada Selasa (17/1/2023) malam.
Polisi bertindak setelah mendapatkan laporan dari seorang warga pada Senin siang. Pelapor mengaku prihatin dengan kasus pemerkosaan yang menimpa korban. Sejak pemberitaan terkait kasus itu viral pada Selasa, sejumlah pihak juga turut mendesak polisi untuk mengusut kasus itu.
Sebanyak 10 saksi yang terdiri dari para pelaku, korban, orangtua pelaku, orangtua korban, dan orang-orang yang mengetahui peristiwa itu telah diperiksa polisi. Sejumlah barang bukti, termasuk hasil visum et repertum korban, juga turut diperiksa.
”Peristiwa itu terjadi pada 27 Desember 2022 sekitar pukul 21.30. Tempat kejadiannya di rumah salah satu pelaku,” kata Wakil Kepala Polres Brebes Komisaris Arwansa, Rabu (18/1/2023).
KOMPAS/TOTO SIHONO
Ilustrasi kekerasan pada anak.
Setelah menjalani rangkaian gelar perkara, enam pelaku itu resmi ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 82 Ayat (1) juncto Pasal 76E atau Pasal 81 Ayat (1) juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun menanti mereka.
Proses hukum yang akan dijalani oleh lima tersangka yang masih di bawah umur berbeda dengan yang akan dijalani tersangka bernama Adi (18). Lima tersangka di bawah umur akan menjalani proses hukum dengan sistem peradilan pidana anak. Semua tersangka hingga Rabu malam masih berada di Rumah Tahanan Polres Brebes.
Arwansa mengatakan, kasus itu akan terus didalami dan dikembangkan. Untuk sementara, polisi masih akan fokus pada penanganan perkara pemerkosaan.
Orang-orang yang mengetahui adanya tindak pidana tetapi tidak melapor itu juga bisa dipidana.
Menurut Arwansa, korban dalam kondisi trauma dan mengeluhkan sakit pada alat kelaminnya. Pada Selasa, korban telah dijemput oleh polisi bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3KB) Brebes. Selanjutnya, korban akan didampingi dalam menjalani pemulihan.
Korban sempat dievakuasi oleh keluarganya ke luar kota. Hal itu dilakukan demi keselamatan korban karena korban dan keluargasempat dipaksa oleh orang-orang yang berpihak kepada pelaku untuk berdamai.
Keluarga korban diintimidasi supaya mau menandatangani surat pernyataan bermeterai. Dalam surat itu tertulis, jika korban atau keluarga melapor ke kepolisian, mereka akan dituntut balik oleh para pelaku.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pesan untuk menghentikan kekerasan terhadap anak terwujud dalam mural di Jalan Raya Meruyung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (19/3/2016).
Proses ”perdamaian” itu difasilitasi oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat dan dilakukan di rumah Kepala Desa Sengon pada 29 Desember 2022. ”Perdamaian” itu diketahui oleh ketua rukun tetangga, kepala dusun, dan tokoh masyarakat setempat. Bahkan, mereka turut menandatangani surat pernyataan itu sebagai bukti bahwa mereka mengetahui adanya perdamaian itu.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar jalur hukum dinilai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Apik Semarang Raden Ayu Hemawati membahayakan kelangsungan hidup korban kekerasan seksual dan perempuan-perempuan lainnya. Tindakan seperti itu tidak akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan membuat masyarakat berpikir bahwa kasus kekerasan seksual merupakan perkara biasa.
”Kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa karena merendahkan martabat seseorang dan meninggalkan trauma mendalam bagi korban. Kalau perkara seperti itu masih dilakukan dengan cara damai, namanya kemunduran bagi negara,” tutur Ayu.
Sebelumnya, penyelesaian perkara melalui perdamaian juga dikecam oleh pakar hukum pidana Universitas Pancasakti Tegal, Hamidah Abdurrachman. Selain para pelaku pemerkosaan, Hamidah juga menilai, orang-orang yang turut menyaksikan, mengetahui, atau bahkan memfasilitasi perdamaian itu juga bisa dipidana. Mereka disebut Hamidah sudah menghalang-halangi proses penyelidikan dan melanggar Pasal 421 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Orang-orang yang mengetahui adanya tindak pidana, tetapi tidak melapor itu juga bisa dipidana. Dalam kasus itu, sejumlah orang yang seharusnya punya pengetahuan dan daya untuk melapor malah diam saja. Artinya, mereka tidak memihak kepada korban, tetapi malah memihak pelaku,” tutur Hamidah.