Di antara debur ombak dan teduhnya berwisata di Pantai Lamaru, Kota Balikpapan, terselip kisah orang-orang yang berjuang untuk sekadar bisa melanjutkan hidupnya esok hari.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Ia memperkenalkan diri sebagai Sake. Huruf ’e’di belakang namanya diucapkan seperti saat kita menyebut kata ’kejar’. Usianya sudah 70 tahun, tetapi caranya berjalan masih tegap dengan langkah yang pasti. Kulit di wajahnya sudah mengendur dan terlihat gigi-giginya yang sudah tanggal saat ia tersenyum.
Saat gelap datang di kawasan Pantai Lamaru, itulah tanda bagi pria asal Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, ini bekerja. Sebagai tim keamanan, ia kebagian menjaga wilayah dalam pantai, terutama gedung pusat informasi. Di gedung itulah banyak peralatan yang harus dijaga, beberapa di antaranya komputer, tiket, dan data wisata.
”Saya sudah bekerja di sini sekitar 20 tahun,” kata Sake malam itu, Sabtu (14/1/2023).
Di pantai yang luas itu, yang ditanami ratusan pohon cemara laut, Sake bekerja sebagai penjaga malam. Pantai Lamaru namanya, berjarak sekitar 35 kilometer dari pusat kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Tempat wisata ini dikelola oleh sebuah perusahaan. Tarif masuk per orang di akhir pekan Rp 30.000. Pengunjung yang ingin menginap dengan mendirikan tenda milik sendiri harus membayar Rp 100.000 per malam.
Malam itu, sekitar 30 orang menginap di pantai. Sebagian besar yang menginap adalah rombongan perusahaan yang mendirikan tenda di sisi selatan pantai. Dari tempat Sake duduk, tenda-tenda itu terlihat berupa siluet dan titik-titik cahaya lampu tenda. Sesekali ia berkeliling untuk memastikan keamanan.
Ia pun harus memastikan tempat wisata itu menghemat energi. Saat mushala sudah tak digunakan pengunjung, Sake mematikan lampu utama bagian depan. Ia hanya membiarkan lampu kecil di dalam mushala menyala. Bosnya mewanti-wanti agar pemakaian listrik di malam hari betul-betul irit.
”Bisa sampai Rp 200 juta perusahaan bayar listrik per bulan,” katanya serius.
Lamat-lamat terdengar suara musik dari tenda-tenda yang diawasi Sake. Suara itu bertabrakan dengan debur ombak pantai yang lebih dominan terdengar. Waktu baru menunjukkan pukul 20.00 Wita. Artinya, Sake harus menikmati suasana itu sekitar 10 jam lagi. Sake bekerja 12 jam, sejak pukul 18.00 sampai pukul 06.00.
”Dua puluh tahun kerja, gaji saya Rp 3 juta per bulan. Kadang ada bonus dari perusahaan dari hasil jual tiket. Kalau lagi banyak, saya bisa dapat total Rp 5 juta, termasuk gaji,” ujar Sake.
Selama dua puluh tahun bekerja di usianya yang tak lagi muda, Sake mengaku penghasilan itu luar biasa. Namun, di sisi lain, ia juga jengkel dengan harga kebutuhan pokok yang naik, terutama setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
Misalnya, Sake pernah mendapat keluhan dari istrinya bahwa harga bayam Rp 14.000 per ikat. Biasanya, istrinya hanya perlu mengeluarkan uang sekitar Rp 8.000 per ikat bayam. Sake sudah terbiasa hidup bertahan di tengah gejolak harga barang ataupun inflasi, tetapi dengan penghasilan yang tetap. Jalan satu-satunya, kata Sake, berhemat dengan membeli sayur yang paling mungkin untuk dibeli, misalnya daun singkong seharga Rp 4.000 per ikat.
Dua puluh tahun kerja, gaji saya Rp 3 juta per bulan.
Malam semakin larut, dan kami meninggalkan Sake kembali ke tenda. Saat pagi hari, sekitar pukul 07.00, sejumlah pedagang sudah datang. Mereka mendirikan tenda terpal dan merapikan tikar untuk disewakan. Beberapa karyawan pengelola pantai pun berdatangan mengenakan seragam kuning gading.
Beberapa di antara mereka menyiapkan mobil golf dan motor ATV untuk disewakan kepada pengunjung. Ada pula yang berkeliling menggunakan truk untuk mengumpulkan sampah-sampah dengan menyisir pantai dan setiap sudut pantai.
Mungkin karena akhir pekan, mulai pukul 08.00 pengunjung sudah ramai berdatangan. Beberapa di antara mereka menyewa Rp 20.000 per tikar untuk digunakan sepuasnya dalam sehari. Di antara mereka juga ada yang membentangkan hammock yang dikaitkan di batang-batang cemara laut. Duduk di tepi Pantai Lamaru, kita bisa menikmati pasir pantai yang relatif bersih dari sampah dan semilir angin.
Memandang ke arah laut, kita bisa melihat kapal tongkang pengangkut batubara melintas di kejauhan. Kehidupan nelayan tak kita jumpai di sepanjang pantai sekitar 1 kilometer itu. Kapal nelayan dan renggek-renggek baru kita lihat di sisi selatan yang sudah bukan bagian pantai Lamaru.
Ibu Nik, yang menyediakan sewa karpet, mengatakan, pengelola melarang nelayan memasang renggek atau menyandarkan perahu di tepi Pantai Lamaru. ”Mengganggu pemandangan, kata pengelola,” bisiknya.
Nik bukanlah karyawan seperti Sake. Ia adalah warga sekitar yang diizinkan berusaha di Pantai Lamaru. Selain menyewakan karpet bagi pengunjung, ia juga menjual hammock. Sudah dua tahun lebih ia menyewakan tikar dengan harga Rp 20.000 sepuasnya bagi pengunjung.
Saat pantai sedang ramai, ia bisa mendapat sekitar Rp 200.000 di akhir pekan. Di hari biasa, kadang ia hanya mendapat Rp 20.000, beberapa kali bahkan tak ada yang menyewa tikar. ”Jadi, sistemnya, kalau kami dapat Rp 100.000, Rp 10.000 untuk pengelola,” kata Nik.
Ia tak bisa menaikkan harga sewa tikar meski sejumlah kebutuhan hidupnya meningkat. Semacam ada kesepakatan bersama di antara penyedia jasa sewa tikar: tak boleh ada persaingan harga. Pengelola pantai pun meminta mereka tak menaikkan harga sewa semena-mena karena bisa membuat pengunjung tidak nyaman.
Nik dan kawan-kawan tentu saja menurut. Sambil Nik bercerita, motor ATV yang disewa pengunjung Rp 150.000 per jam melintas. Tikar Nik baru dua buah yang disewa pengunjung.
Di sudut lain, seseorang mengenakan kacamata hitam sedang duduk di seberang tempat sampah. Di sisinya, seorang perempuan duduk di sebuah hammock berkelir merah marun. Ternyata itu adalah Sake sang penjaga malam bersama istrinya. Istri Sake juga menyediakan tikar untuk disewakan.
Sake bercerita, ia sempat curi-curi waktu untuk tidur saat berjaga malam. Jadi, ia masih punya energi untuk membantu istrinya menjajakan karpet untuk disewakan di pagi hari. Kadang, lanjutnya, ia bergantian dengan istrinya untuk tidur dengan beralaskan terpal di bawah pohon cemara, sambil menunggu wisatawan menyewa tikar.
”Kalau main lagi ke sini, sewa tikar di istri saja. Patokannya di seberang tempat sampah ini,” kata Sake tersenyum.
Tak terlihat raut wajah jengkelnya seperti saat ia mengeluhkan mahalnya harga sayur di malam sebelumnya. Ya, Sake, dan mungkin banyak juga orang sepertinya di negeri ini, amat terlatih untuk menertawakan hidup.