Lembaga antirasuah saat ini tengah menangani perkara tindak pidana korupsi ”dana ketok palu” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015-2018 serta bantuan keuangan di Kabupaten Tulungagung.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menangani perkara tindak pidana korupsi APBD 2015-2018 serta bantuan keuangan di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Kasus itu melibatkan tiga mantan pimpinan DPRD Tulungagung dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jatim.
Ketiga terdakwa adalah Agus Budiarto dari Fraksi Gerindra, Adib Makarim dari Fraksi PKB, dan Imam Kambali dari Fraksi Hanura. Tiga pimpinan dewan ini didakwa menerima suap untuk memuluskan pembahasan APBD Tulungagung 2015-2018 sebesar Rp 420 juta dari Bupati Tulungagung saat itu, Syahri Mulyo.
Jaksa penuntut umum KPK, Arin Kurniasari dan kawan-kawan, menghadirkan Syahri Mulyo sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi ”dana ketok palu” APBD Tulungagung 2015-2018 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Selasa (17/1/2023).
Sidang yang berlangsung di ruang Cakra itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Darwanto dibantu dua hakim ad hoc Viktor Panjaitan dan Alex Cahyono. Dalam sidang terbuka itu, ketiga terdakwa mengikuti secara dalam jaringan dari tempat mereka ditahan.
Selain Syahri, KPK juga menghadirkan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tulungagung Sutrisno dan mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Tulungangung Hendry Setiawan. Mereka dihadirkan untuk memberikan kesaksian terhadap terdakwa tiga Wakil Ketua DPRD Tulungagung periode 2014-2019 itu.
Syahri Mulyo mengatakan, seluruh anggota DPRD Tulungagung meminta jatah dana pokok pikiran dari APBD tahun berjalan untuk dikelola masing-masing anggota. Adapun besaran jatah tersebut bervariasi sesuai jabatan anggota dewan.
”Anggota biasa mendapat jatah pokok pikiran Rp 1 miliar. Sementara ketua komisi, ketua DPRD, dan wakil ketua DPRD lebih besar lagi, sampai Rp 2 miliar,” ujar Syahri Mulyo.
Menurut Syahri, seluruh anggota dewan tersebut meminta jatah dana pokok pikiran naik setiap tahun. Selain itu, mereka juga meminta ”dana ketok palu” untuk memuluskan pembahasan APBD murni dan APBD perubahan. Uang tersebut diserahkan dua kali dalam setahun saat pembahasan APBD murni dan APBD perubahan.
Sementara itu, Sutrisno mengatakan, uang untuk membayar anggota dewan diambil dari dana alokasi umum (DAU) yang diterima Pemkab Tulungagung. Nilainya 10 persen dari DAU. Adapun total ”dana ketok palu” dari 2014 hingga 2018 mencapai Rp 25,5 miliar.
Hendry Setiawan menambahkan, pembahasan APBD tidak akan berjalan mulus apabila pemda tidak memberikan uang saku kepada anggota dewan. Besaran nilai uang saku yang diterima setiap anggota berbeda-beda sesuai jabatannya.
”Uang untuk anggota dewan biasanya diserahkan melalui Imam Kambali. Dia yang bertugas membagi-bagikan jatah kepada ketua, wakil ketua, dan anggota biasa,” ucap Hendry.
Dalam sidang sebelumnya, jaksa KPK menghadirkan Bupati Tulungagung Maryoto Birowo sebagai saksi. Maryoto dihadirkan karena saat kejadian berlangsung dia menjabat sebagai wakil bupati Tulungagung mendampingi Syahri Mulyo.
Dia diduga mengetahui pertemuan di sebuah hotel di Malang yang membahas besaran uang saku untuk anggota DPRD Tulungagung yang masuk dalam badan anggaran (banggar).
Kasus korupsi ”dana ketok palu” APBD Tulungagung 2015-2018 sebelumnya menyeret Supriyono selaku Ketua DPRD Tulungagung periode 2014-2019. Politisi dari PDI-P itu dinyatakan terbukti bersalah dan dipidana delapan tahun penjara. Selain itu, Syahri Mulyo dan Sutrisno juga telah dijatuhi hukuman.
Sementara itu, terkait dengan kasus dugaan korupsi Bantuan Keuangan (BK) Pemprov Jatim, KPK telah menetapkan mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jatim Budi Setiawan sebagai tersangka dan melimpahkan berkas perkaranya ke Pengadilan Tipikor Surabaya, Rabu (4/1/2023). Perkara tersebut dijadwalkan sidang pada pekan ini.
Budi Setiawan menjabat sebagai Kepala Bappeda Jatim periode 2017-2018. Sebelum itu, dia menjabat Kepala BPKAD Jatim periode 2014-2016. Budi ditetapkan tersangka setelah KPK melakukan serangkaian penyelidikan dan berdasarkan fakta hukum persidangan perkara Syahri Mulyo dan Sutrisno.
Kabupaten Tulungagung menerima bantuan keuangan Provinsi Jatim sebesar Rp 79 miliar. Atas alokasi tersebut, Sutrisno memberikan uang imbal jasa kepada Budi sebesar Rp 3,5 miliar atau sekitar 7-8 persen.
Selain itu, pada 2017, Sutrisno kembali mengajukan permohonan bantuan keuangan kepada Pemprov Jatim dan berhasil mendapatkan Rp 30,4 miliar. Selanjutnya, pada 2018, Tulungagung kembali menerima bantuan keuangan sebesar Rp 29,2 miliar. Atas penyaluran dana tersebut, Budi mendapatkan Rp 6,75 miliar dari Syahri Mulyo melalui Sutrisno.
Budi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.