Pendeta Tersangka Pencabulan asal Bolaang Mongondow Akhirnya Ditahan
Pendeta asal Bolaang Mongondow yang dituduh melakukan pelecehan seksual dan perbudakan pada anak-anak di panti asuhan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Ia juga ditahan setelah ada desakan dari kuasa hukum korban.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pendeta asal Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang dituduh melakukan pelecehan seksual dan perbudakan terhadap anak-anak di panti asuhan yang dikelolanya, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Sempat disebut kooperatif sehingga hanya wajib lapor, ia akhirnya ditahan setelah kuasa hukum korban mendesak kepolisian.
Pendeta berinisial FP (46) itu ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Desember 2022 oleh Kepolisian Daerah Sulut. Ia dilaporkan oleh salah satu korban empat bulan sebelumnya. Hingga Selasa (17/1/2023), kepolisian belum merilis informasi lengkap terkait penetapan FP sebagai tersangka.
Pendeta Gereja Protestan di Indonesia (GPdI) itu dituduh mencabuli tujuh anak perempuan yang menghuni Panti Asuhan Kristen Amazia di Desa Sauk, Lolak, Bolaang Mongondow, sejak 2014. Ia juga disebut memaksa anak-anak panti asuhan tersebut untuk bekerja berat, dari kerja bangunan hingga mengurus tambak.
Perbuatan FP itu dilaporkan salah satu korban yang pertama kali mengalami pencabulan pada 2019. Korban yang kini berusia 17 tahun itu didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado dalam menjalani proses hukum tersebut.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, proses penetapan tersangka memakan waktu cukup lama karena hasil visum et repertum (VER) psikiatri pelapor di Rumah Sakit Jiwa Ratumbuysang, Manado, tak kunjung terbit. ”Tetapi, VER sudah diserahkan ke penyidik, dan sekarang (FP) sudah ditetapkan sebagai tersangka,” kata dia.
Menurut Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku perbuatan cabul terhadap anak dikenai pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta. Seharusnya FP ditahan karena ancaman hukumannya lebih dari lima tahun.
Meski demikian, setidaknya hingga Minggu (15/1/2023), kata Jules, FP hanya dikenai wajib lapor setiap hari dengan alasan sikapnya yang kooperatif. ”Tetapi, saya belum mendapat informasi dari Direktorat Pidana Umum mengapa tersangka tidak ditahan, kemudian bagaimana perkembangan terakhir penyidikan,” katanya.
Jules menambahkan, Polda Sulut akan menggelar konferensi pers pada Selasa ini. Namun, hingga Selasa siang belum ada kepastian jadwal konferensi pers itu. ”Jadi, waktunya masih harus disesuaikan dengan kegiatan, padat sampai siang. Nanti akan dikabari lagi,” ujarnya.
Citra Tangkudung, pengacara LBH Manado, menyebut, penahanan FP merupakan hasil desakan dari tim kuasa hukum korban. Citra juga tak setuju jika FP disebut kooperatif. Sebab, dia menuturkan, sebelum ditetapkan menjadi tersangka, pelaku justru berupaya menekan tiga dari empat korban untuk mengubah keterangan kepada kepolisian.
Peristiwa itu disebut terjadi pada 28 November 2022. Menurut Citra, tiga dari empat korban yang ditempatkan di penampungan (selter) Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sulut kabur karena jengah. Mereka dijemput kakak perempuan salah satu korban dengan mobil milik anak FP.
Sebelum ditetapkan menjadi tersangka, pelaku justru berupaya menekan tiga dari empat korban untuk mengubah keterangan kepada kepolisian.
”Kakak korban ini menikah dengan salah satu kerabat dekat pelaku. Tiga korban kemudian dibawa ke suatu rumah, lalu disekap di situ. Saya bilang disekap karena saat mereka berusaha keluar, pintu dan jendela sudah dikunci semua. Kemudian salah satu orang yang berjaga di rumah itu bilang, ‘Father (FP) so mo (sudah akan) datang,’” papar Citra.
Citra menyebut aksi itu sebagai bentuk persekongkolan antara FP dan orang-orang terdekatnya agar para korban mau mengganti keterangan mereka. ”Kami, kuasa hukum dan UPTD PPA provinsi, ketemu sama Unit Renakta (Remaja, Anak, dan Wanita) untuk mendesak agar tersangka ditahan, dan akhirnya ditahan,” katanya.
Citra juga menuduh FP dan keluarganya berupaya mendesak para korban untuk mengganti keterangan mereka dengan iming-iming uang. Dia menyebut, ada rekaman percakapan telepon antara salah satu korban dan anak FP yang bisa membuktikan hal itu.
Hingga kini kepolisian telah memeriksa 10 orang, termasuk FP yang menjadi satu-satunya tersangka. Menurut Citra, LBH Manado berharap para penyidik di Polda Sulut mengembangkan kasus ini hingga menjerat pihak-pihak lain yang diduga bersekongkol dengan FP.
Untuk saat ini, keempat korban ditempatkan di sebuah rumah aman. Tiga orang mendapat bantuan untuk sekolah, sedangkan satu korban yang sudah lulus mendapatkan bantuan usaha dari Kementerian Sosial. ”Lokasi tinggal dan aktivitas mereka tidak bisa kami publikasikan,” kata Citra.
Laporan terkait kekerasan seksual memang mendominasi di Sulut. Data pada 2021, Polda Sulut menerima laporan 296 kasus yang terbagi atas 271 kasus pencabulan dan 25 kasus pemerkosaan. Sementara itu, data pada 2022 tidak dirinci dalam konferensi pers akhir tahun, 30 Desember lalu.