Rp 422,55 Miliar Uang Ganti Rugi Pengadaan Tol Yogya-Bawen Telah Dibayarkan
Sebanyak Rp 422,55 miliar telah dibayarkan sebagai uang ganti rugi untuk pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Yogya-Bawen di tiga desa di Kabupaten Magelang. Pembayaran untuk 10 desa lainnya menyusul.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pembayaran uang ganti rugi pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen saat ini sudah mulai berjalan dan diterima warga di tiga desa di Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Adapun, total uang ganti rugi yang telah dibayarkan di tiga desa tersebut mencapai Rp 422,55 miliar.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Jalan Tol Yogyakarta-Bawen Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, M Mustanir, mengatakan, pembayaran Rp 422,55 miliar tersebut dibayarkan sebagai uang ganti rugi untuk pembebasan dari 311 bidang tanah di Desa Bligo, 183 bidang tanah di Desa Jamus Kauman, dan 224 bidang tanah di Desa Karangtalun.
”Dari total pembayaran tersebut, uang ganti rugi terbesar diterima seorang warga di Desa Bligo, dengan nilai pembayaran untuk satu bidang tanahnya mencapai Rp 86 miliar,” ujar Munatsir.
Munatsir ditemui di sela-sela acara musyawarah penetapan bentuk kerugian pengadaan tanah untuk Jalan Tol Yogyakarta-Bawen di Balai Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (16/1/2023). Pembayaran uang ganti rugi tersebut dilakukan pada Desember 2022, dan Januari 2023.
Pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen, menurut dia, dimulai pada tahun 2024. Namun, khusus untuk pembangunan konstruksi jalan tol juga direncanakan akan mulai dijalankan di wilayah Kabupaten Sleman, DIY, dan sebagian wilayah Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang.
Khusus di wilayah Kabupaten Magelang, pembangunan jalan tol akan berdampak pada 13 desa di Kecamatan Ngluwar, Muntilan, dan Mungkid. Total jumlah bidang tanah yang nantinya harus dibebaskan karena terdampak pembangunan jalan tol di 13 desa tersebut terdata mencapai 3.051 bidang tanah, dengan total luasan mencapai 161,4 hektar.
Setelah proses ganti rugi di tiga desa selesai, akan menyusul penyelesaian ganti rugi di 10 desa lainnya. Diperkirakan proses itu akan berlangsung dua bulan lagi seusai verifikasi data.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Magelang A Yani mengatakan, sejauh ini, tidak ada satu pun warga yang menolak rencana pembangunan jalan tol ataupun besaran ganti rugi yang ditetapkan.
”Musyawarah tentang penetapan ganti rugi pengadaan tanah semuanya berjalan lancar dan tanpa gejolak karena warga bisa menerima besaran uang ganti rugi dari pemerintah,” ujarnya.
Supriyanto (53), salah seorang warga Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, mengatakan, untuk sekitar 500 meter persegi tanah miliknya, dia akan menerima Rp 3 miliar.
Sekalipun senang dan sepakat dengan besaran nilai nominal ganti rugi yang ditetapkan, dia pun bingung karena areal tersebut adalah sebagian dari tanah yang kini dipakainya untuk menjalankan usaha memproduksi mebel.
”Saya sebenarnya senang nantinya bisa mendapatkan uang ganti rugi yang cukup besar, tetapi di satu sisi, saya pun sedih karena harus mencari lokasi baru bagi usaha mebel yang sudah saya jalankan selama 15 tahun ini,” ujarnya.
Total luas lahan yang menjadi tempat Supriyanto menjalankan usaha mencapai 1.200 meter persegi. Sekalipun hanya sekitar separuh lahan yang terdampak pembangunan jalan tol, dia pun tidak mungkin bertahan di lokasi lama karena pada waktu-waktu tertentu, total luas lahan usaha tersebut padat terisi kendaraan.
Musyawarah tentang penetapan ganti rugi pengadaan tanah semuanya berjalan lancar dan tanpa gejolak karena warga bisa menerima besaran uang ganti rugi dari pemerintah.
Sementara itu, warga Desa Tamanagung lainnya, Suyoto (60), mengatakan, dirinya justru merasa senang tanah warisan seluas 288 meter persegi milik keluarganya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan jalan tol. Pasalnya, sejak ayahnya meninggal beberapa tahun silam, tanah tersebut dibiarkan menganggur karena tidak ada satu pun anggota keluarganya yang mau memanfaatkannya sebagai areal pertanian.
”Semua anggota keluarga, termasuk saya, enggan untuk memanfaatkannya untuk bertani karena lahan tersebut berada di tepi sungai, dan kondisi jalannya yang naik turun, cukup sulit diakses oleh kami,” ujarnya.