Kasasi Ditolak, Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe Harus Dicabut
Mahkamah Agung menetapkan kontrak karya operasi produksi PT Tambang Mas Sangihe harus dicabut. Warga yang tergabung dalam Save Sangihe Island menyambut baik putusan ini, sedangkan PT TMS akan ajukan peninjauan kembali.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Warga Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, berunjuk rasa di depan Gedung Ditjen Pemasyarakatan, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2022).
MANADO, KOMPAS — Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi terkait kontrak karya operasi produksi PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Dengan putusan itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral harus mencabut kontrak karya tersebut. Koalisi masyarakat Sangihe menyebut penolakan kasasi itu sebagai kemenangan, sedangkan PT TMS menyatakan akan mengajukan peninjauan kembali.
”Sebagai masyarakat Sangihe, tentu kami sangat senang dan bahagia. Tanpa pembelaan dari DPRD dan pemerintah daerah, ternyata hukum betul-betul bisa ditegakkan melalui perjuangan rakyat yang cukup panjang,” kata Jan Takasihaeng, koordinator koalisi masyarakat penolak PT TMS, Save Sangihe Island (SSI), Senin (16/1/2023).
MA memutus perkara tersebut pada Kamis (12/1/2023) atau 42 hari setelah kasasi diajukan Menteri ESDM dan PT TMS. Dengan putusan itu, putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta Nomor 140/B/2022/PT.TUN.JKT, yang mengharuskan Menteri ESDM mencabut Surat Keputusan Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS, tetap berlaku.
Ketua tim hukum SSI Revoldi Koleangan mengatakan, putusan MA ini telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap sekalipun proses minutasi atau pembuatan berkas putusan masih berjalan. Pertimbangan majelis hakim pun belum diketahui. “Kami harap bulan depan sudah dapat putusan kompletnya,” katanya.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Puluhan mahasiswa menggelar aksi di Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Manado, Senin (21/6/2021), untuk menolak izin usaha pertambangan khusus bagi PT Tambang Mas Sangihe. Perusahaan itu mendapatkan wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektar di Pulau Sangihe.
Dengan penolakan kasasi terkait peningkatan status kontrak karya operasi produksi PT TMS, semua izin pendukung yang telah diperoleh perusahaan asal Kanada itu tidak lagi berlaku. Ini mencakup izin lingkungan dari Pemerintah Provinsi Sulut yang sempat digugat oleh SSI hingga proses kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Pada 22 Desember 2022, MA menolak gugatan SSI sehingga izin tersebut tetap berlaku. ”Tetapi, kalau izin induknya sudah mati, ya, izin-izin yang lain mati juga. Karena, putusan MA ini menganut asas erga omnes, mengikat semua pihak,” papar Revoldi.
Tanpa pembelaan dari DPRD dan pemerintah daerah, ternyata hukum betul-betul bisa ditegakkan melalui perjuangan rakyat yang cukup panjang. (Jan Takasihaeng)
Revoldi juga menyebut, PT TMS tidak pernah memiliki izin pertambangan yang sah menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang telah diubah oleh UU No 3/2020. Seharusnya, kontrak karya yang dibuat sebelum kedua UU tersebut diubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), termasuk kontrak karya PT TMS yang dibuat pada 1997.
Selain itu, menurut Pasal 6 UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat pemerintahan hanya bisa menerbitkan izin, bukan membuat kontrak. ”Jadi, SK peningkatan status kontrak karya operasi produksi itu kamuflase saja. Menurut hukum, itu harusnya berbentuk izin, bukan kontrak,” ujar Revoldi.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Gedung Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, Revoldi meminta PT TMS untuk tidak lagi melakukan kegiatan apa pun. Pemerintah dan aparat hukum juga harus mematuhi putusan inkrah tersebut. Jika Menteri ESDM dan PT TMS ingin mengajukan peninjauan kembali (PK), Revoldi menyatakan SSI siap menghadapi.
Senada dengan Revoldi, Jan juga menyatakan, masyarakat berharap PT TMS tidak lagi memaksakan diri untuk menambang emas di Pulau Sangihe, pulau kecil yang luasnya hanya 73.698 hektar. Beberapa kali PT TMS memobilisasi alat berat ke situs tambang selagi proses hukum berlangsung, yaitu pada Desember 2021 serta Februari, Juni, dan Agustus 2022.
Mobilisasi ini selalu berakhir dengan bentrokan antara warga dan aparat yang mengawal alat berat tersebut. ”Ke depan kami berharap pemerintah kabupaten, provinsi, dan kepolisian, dalam hal ini Polres Sangihe, tunduk terhadap putusan yang baru saja dikeluarkan. Tidak lagi mengiyakan ketika PT TMS meminta pengawalan alat berat,” ujar Jan.
Bentrokan ini, menurut sudut pandang SSI, berujung pada kriminalisasi terhadap salah satu aktivis mereka, Robison Saul. Ia ditangkap pada 30 Juni 2022 dan dijadikan tersangka atas kepemilikan senjata tajam berupa pisau dari besi putih. Robison dituduh melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Persidangan kasus Robison masih berlanjut, tetapi Jan berharap sejawatnya itu bisa dibebaskan atau dijatuhi hukuman kurungan selama waktu yang sudah ia habiskan di tahanan. ”Beliau sudah ditahan cukup lama, hampir tujuh bulan,” katanya.
FAKHRI FADLURROHMAN
Salah satu peserta aksi membentangkan poster berisikan penolakan tambang emas di Pulau Sangihe di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2022). Massa aksi yang tergabung dalam koalisi Save Sangihe Island (SSI) meminta Mahkamah Agung bisa berpihak kepada warga Sangihe dalam gugatan perkara izin operasi produksi dan izin lingkungan kepada PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Ajukan PK
Di lain pihak, PT TMS menyatakan akan mengajukan peninjauan kembali (PK) segera setelah lembar putusan kasasi diterbitkan. Direktur Hukum Baru Gold, perusahaan induk PT TMS, Rico Pandeirot, menyebut, MA membuat dua putusan kasasi yang bertentangan, yaitu memerintahkan pencabutan peningkatan status kontrak karya sekaligus menyatakan sah izin lingkungan PT TMS.
Rico juga menyebutkan, PT TMS masih sepenuhnya berhak untuk melakukan kegiatan pertambangan di Sangihe, tepatnya di Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah. ”Kontrak karya tetap diakui semenjak UU Minerba yang baru keluar, jadi kontrak karya kami masih sah dan valid, diakui pemerintah Indonesia,” ujarnya.
Ia juga mengklaim Baru Gold senantiasa membayar pajak dan royalti kepada pemerintah sejak 1995. Cara satu-satunya untuk membatalkan kontrak karya PT TMS, menurut dia, adalah arbitrase internasional.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Tenda-tenda tambang emas rakyat tak berizin berdiri di wilayah yang disebut Tanah Mahamu atau Tanah Merah di Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Minggu (8/8/2021). Warga mulai membuka tambang di wilayah yang sebelumnya perkebunan rakyat itu dua tahun terakhir.
”Yang menjadi masalah, kenapa kami sampai sekarang tidak bisa menambang? Yang menambang di sana justru penambang liar, PETI (pertambangan emas tanpa izin). SSI juga kalau bicara soal lingkungan sangat luar biasa, tetapi di depan PETI melempem. Jadi, hipokrit juga,” kata Rico.
Di samping itu, Rico juga mengeluhkan ketidakberpihakan aparat hukum terhadap PT TMS yang ia sebut jelas memiliki izin resmi. Beberapa kali permohonan pengawalan mobilisasi alat berat ia sebut ditolak oleh kepolisian. Rico juga mengklaim, dengan menyertakan video warga, bahwa polisi justru mengawal ekskavator pemilik PETI.
Sementara itu, Kementerian ESDM belum merespons amar putusan kasasi MA. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan akan menanyakan lebih dulu kepada bidang hukum. Adapun Pemprov Sulut sebelumnya telah menyatakan tidak akan bertentangan dengan warga.