Jalan Panjang Festival Film Purbalingga
Karya-karya film dalam Festival Film Purbalingga terus eksis menyuarakan kegelisahan dan semangat perjuangan dari akar rumput.

Film pendek Peronika diputar di Bioskop Misbar Purbalingga di Taman Usman Janatin City Park, Purbalingga, Jawa Tengah, Jumat (6/3/2020) malam.
Ratusan film pendek dokumenter dan fiksi lokal lahir dari Festival Film Purbalingga. Lewat program unggulannya, Layar Tanjleb, pemutaran film berkeliling ke desa-desa, kearifan lokal dilestarikan, ikatan sosial dipererat, ekonomi warga pun turut bergeliat.
Festival Film Purbalingga (FFP) awalnya bernama Parade Film Purbalingga. Gelaran ini dirintis pada 2007 dan mulai berganti nama menjadi FFP pada 2008. Hingga 2022, ajang kreativitas bagi sineas lokal Banyumas Raya ini telah menyelenggarakan 16 kali festival film.
Menilik Film Dokumenter Pelajar Terbaik dalam Festival Film Purbalingga ke-14 pada 2020 berjudul Gerobak Gorengan misalnya. Film karya sutradara Erika Hartini dari SMK Darunnajah, Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara ini mengabadikan satu kisah perih akibat pandemi Covid-19.

Warga Desa Karangtalun, Bobotsari, Purbalingga, berbondong-bondong menonton film layar tanjleb atau layar tancap pada pembukaan Festival Film Purbalingga, Sabtu (6/7/2019) malam, di lapangan desa.
Erika sang sutradara mengisahkan sendiri betapa sedihnya kehilangan ayah dan ibunya yang dulu bisa berjualan gorengan di kantin sekolah, harus cari pinjaman uang untuk membuat gerobak gorengan guna menjajakan dagangannya karena kantin sekolah tutup.
Film berdurasi 5 menit 44 detik produksi DN Film’s yang diunggah akun artfilm picture di Youtube ini diawali dengan berita radio yang mengabarkan korban Covid-19 terus berjatuhan.
Corak kesederhanaan rumah Erika tergambar jelas dari setiap sudut pengambilan gambarnya, mulai dari tempat wawancara Erika di sebuah kursi kayu penuh dengan tumpukan cucian baju hingga tabung gas melon yang jelas bertuliskan ”Khusus Masyarakat Miskin” disorot secara close up.
Baca juga: Kurikulum Perfilman Banyumas Raya Disiapkan

Suasana pasar malam di sekitar pemutaran film di Purbalingga.
Kepergian sang ayah jadi puncak kisah Erika sehingga air matanya pun tak terbendung saat dia mengisahkan momen yang banyak divisualisasikan lewat dokumentasi foto prosesi pemakaman ayahnya. Namun, daya juang keluarga ini terus berkobar lewat upaya sang ibu dan Erika berjualan gorengan dengan gerobak di tengah pandemi.
Film pun diakhiri dengan berita radio tentang informasi bahwa belum satu pun orang atau ahli yang bisa memprediksi kapan Covid-19 akan berakhir.
Baca juga: Pendidikan Formal Penting untuk Masuk Industri Film
Dalam Lokakarya Kurikulum Perfilman Banyumas Raya dan Hasil Pemetaan Festival Film Purbalingga, Kamis (12/1/2023), Teguh Trianton serta Arif Hidayat memaparkan hasil penelitian terkait FFP.
Dalam penelitian berjudul ”Urgensi FFP bagi Dunia Pendidikan dan Pola Regenerasi Sineas Pelajar di Banyumas Raya” disebutkan, festival ini telah diikuti oleh 151 nomine yang berasal dari berbagai sekolah di wilayah Banyumas Raya yang meliputi Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen.
Kedua peneliti itu menemukan bahwa ada tujuh urgensi FFP bagi pelajar dan sekolah, yaitu sebagai wadah kreativitas, ajang meraih prestasi, publikasi atau unjuk karya, tempat pembentukan mental atau karakter, perluasan jejaring, mendapatkan insentif, dan promosi sekolah.
Hampir semua film yang ditayangkan di FFP adalah film yang berbicara tentang keadilan sosial, kemanusiaan, keberpihakan kepada yang lemah dan tersingkir. Ini yang menjadi kekuatan.
Dalam poin pembentukan karakter disebutkan pula para siswa yang terlibat dalam pembuatan film di festival ini belajar untuk percaya diri, kritis, solutif, dan berani mencoba hal-hal baru. Kerja sama dan disiplin pun jadi modal para pelajar untuk dapat bekerja dalam tim produksi.

Peneliti Teguh Trianton, Arif Hidayat, dan akademisi Binus University, Tri Adi Sumbogo (kanan), berdiskusi tentang Festival Film Purbalingga dalam Lokakarya Kurikulum Perfilman Banyumas Raya dan Hasil Pemetaan Festival Film Purbalingga di Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (12/1/2023),
Direktur Cinema Lovers Community Purbalingga Bowo Leksono yang juga membidani Festival Film Purbalingga menyebutkan, beragam program dibuat untuk menghasilkan film yang berkualitas. Jika sebelumnya tim dari CLC turun langsung ke sekolah-sekolah untuk mengisi ekstrakurikuler sinematografi, pada tahun ini disiapkan kurikulum pelatihan perfilman di mana para guru pembimbing bisa memanfaatkannya sebagai panduan.
”Kami ingin anak-anak itu benar-benar serius ketika menggarap karya film. Benar-benar direncanakan dan sesuai aturan,” tutur Bowo.
Tidak sekadar menggodog sisi hulu perfilman lokal, tim CLC serta Festival Film Purbalingga juga menyediakan program Layar Tanjleb (layar tancap) sebagai hilir atau ujung distribusi karya para sineas muda di Banyumas Raya.

Pemutaran film menggunakan layar tanjleb di Purbalingga, Jawa Tengah.
Dalam penelitian Trianton dan Hidayat berjudul ”Dampak Penyelenggaraan Layar Tanjleb FFP terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Banyumas Raya” disebutkan, selama 16 kali penyelenggaraan FFP, sudah ada 252 titik penyelenggaraan layar tanjleb. Dalam sebulan, setidaknya layar tanjleb digelar di 18 desa.
Kedua peneliti menemukan bahwa pergelaran layar tanjleb yang sering dilaksanakan di lapangan desa memberikan sejumlah dampak positif. Lewat acara ini, terdapat peningkatan kreativitas pemuda karang taruna, festival film sebagai literasi sosial, meningkatkan gotong royong, membentuk kerukunan dan kebersamaan, bahkan menjadi nostalgia bagi generasi tua.
Layar tanjleb juga memunculkan ekonomi kreatif/UMKM, dan promosi produk lokal, peningkatan omset pedagang dan pemulihan UMKM setelah pandemi, promosi desa wisata. Acara ini membangkitkan pula seni tradisi lokal, membuat pergeseran budaya menonton individual ke komunal, merevitalisasi bahasa Banyumas atau Penginyongan, dan menjadi transformasi nilai pendidikan dan kearifan lokal.

Kurator Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kusen Alipah Hadi, dalam Lokakarya Kurikulum Perfilman Banyumas Raya dan Hasil Pemetaan Festival Film Purbalingga di Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (12/1/2023),
Kurator Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kusen Alipah Hadi, menyebutkan, negara malu karena banyak pemajuan-pemajuan kebudayaan di Indonesia ini hadir tanpa keterlibatan negara. Oleh karena itu, Dana Indonesiana hadir atau melamar Festival Film Indonesia selama tiga tahun untuk mendukung program-program perfilman.
Akademisi Ilmu Komunikasi Binus University, Tri Adi Sumbogo, dalam diskusi di lokakarya tersebut menyebutkan, film-film yang dihasilkan dalam FFP menunjukkan daya juang masyarakat lokal. Hal ini merupakan nilai positif lantaran jamak ditemui di televisi program tayangan yang justru menjual atau mengeksploitasi kemiskinan.
”Kadang-kadang ficer di televisi itu sifatnya eksploitatif, menjual kemiskinan, menjual kelemahan orang, dijual agar orang kasihan. Di Purbalingga, di Banyumas Raya, film justru menonjolkan keberdayaan masyarakat meski dalam kondisi susah atau terjepit, mereka masih tetap untuk bertahan,” ujar Tri.

Kurikulum Perfilman Banyumas Raya disiapkan dalam Lokakarya di Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (12/1/2023).
Menurut Tri, FFP juga membawa semangat Pancasila secara kritis dalam banyak aspek baik ekonomi, sosial, maupun kultural. ”Hampir semua film yang ditayangkan di FFP adalah film yang berbicara tentang keadilan sosial, kemanusiaan, keberpihakan kepada yang lemah dan tersingkir. Ini yang menjadi kekuatan,” katanya.
Ke depan, Direktur Festival Film Purbalingga Nanki Nirmanto menyebutkan, setelah kurikulum disiapkan, akan disiapkan sejumlah agenda, seperti pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran dan modul pembelajaran perfilman.
Di tengah gempuran industri film dari mancanegara, Festival Film Purbalingga bisa menjadi oase bagi tumbuh kembangnya lokalitas yang berkualitas. Dengan bernafaskan Pancasila, karya-karya anak bangsa disemai dan kiranya negara terus berpihak menjaga semangat para sineas muda di seluruh Nusantara.