Taman Nasional Rawa Aopa Kembali Terbakar, 37 Hektar Lahan Hangus
Padang rumput seluas 37 hektar di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara, terbakar. Pemerintah diharap melakukan antisipasi dini agar kebakaran tidak terulang dan membesar.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Padang rumput seluas 37 hektar di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara, terbakar. Kebakaran menimbulkan asap tebal yang mengganggu masyarakat dan hewan endemik di kawasan itu. Pemerintah diharap melakukan antisipasi dini agar kebakaran tidak terulang dan membesar.
Kebakaran lahan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) terjadi sejak Sabtu (14/1/2023) siang hingga lewat tengah malam. Kebakaran terjadi di Resor Langkowala, wilayah II TNRAW, tepatnya di Kecamatan Lantari Jaya, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra). Kawasan itu berupa padang rumput yang dibelah jalan lintas provinsi yang menghubungkan Bombana dan Kabupaten Konawe Selatan, Sultra.
Samiun (38), warga yang melintas di jalur tersebut, mengungkapkan, pada Sabtu sekitar pukul 12.30 Wita, asap telah tampak membubung. Ia pun terpaksa menepi karena asap yang tebal dan membuatnya sulit untuk berkendara.
”Saat lewat itu, api sudah besar. Asap tebal dan mengarah ke jalan. Banyak pengendara berhenti karena takut kecelakaan,” ucap warga Kendari, Sultra, itu, Minggu (15/1/2023) pagi.
Kebakaran lahan membesar dengan cepat dan melalap padang rumput yang luas di kawasan tersebut. Angin kencang membuat api membesar dan asap semakin menebal.
Kepala Balai TNRAW Ali Bahri mengungkapkan, kebakaran terjadi pada Sabtu sekitar pukul 12.00 Wita di padang gambut yang mengering. Angin yang bertiup kencang membuat api cepat membesar sehingga kebakaran pun cepat meluas.
”Angin membuat kebakaran meluas dengan asap yang membesar. Asap menutupi jalan yang membelah kawasan sehingga membuat pengendara kesulitan,” kata Ali, Minggu pagi.
Berselang satu jam setelah kebakaran, petugas baru mengetahui peristiwa tersebut. Tim segera menuju lokasi dan melakukan pemadaman. Namun, karena tiupan angin yang kencang, lokasi terbuka, dan kondisi medan yang sulit, api menjadi sulit dipadamkan. Api baru betul-betul padam pada Minggu dini hari atau lebih dari 12 jam setelah upaya pemadaman dilakukan.
Ali mengakui, proses penanganan kebakaran lahan itu memang terlambat. Seharusnya, sebelum api membesar, tim telah turun dan melakukan pemadaman sehingga api tidak sampai membesar. Namun, karena kebakaran itu terjadi saat waktu istirahat, tim baru turun beberapa waktu setelah kebakaran terjadi. Akibatnya, total 37 hektar lahan terbakar.
”Kami masih identifikasi apakah ada hewan yang terjebak, baik itu burung, reptil, atau hewan lainnya. Apalagi, sekarang waktu migrasi burung dari Australia dan banyak di kawasan,” tutur Ali.
Menurut Ali, pada Minggu sudah tidak ada lahan yang terbakar. Meski begitu, petugas tetap melakukan pemantauan dan antisipasi untuk mencegah adanya kebakaran lagi.
Dia menambahkan, kebakaran lahan di kawasan tersebut memang bukan yang pertama. Kondisi lahan yang luas dan terbuka karena adanya jalan yang membelah kawasan membuat sumber api bisa berasal dari mana saja.
Ali menduga, kebakaran kali ini terjadi akibat ulah manusia, baik disengaja maupun tidak. Beberapa tahun lalu, petugas pernah menangkap seorang pembakar lahan yang mengaku hanya iseng melakukan pembakaran. Kasusnya telah berakhir di pengadilan untuk memberikan efek jera.
Berdasarkan peta kelas rawan kebakaran hutan TNRAW, di wilayah II taman nasional itu terdapat 19.806 hektar lahan yang masuk dalam kategori rawan kebakaran sangat tinggi. Sementara itu, sebanyak 6.559 hektar masuk kategori sedang dan 39.637 hektar lahan kategori rendah.
Tidak heran, kasus kebakaran lahan di kawasan tersebut berulang terjadi. Berdasarkan data Daops Manggala Agni, pada tahun 2018 terjadi 71 kasus kebakaran lahan dan hutan di wilayah Sultra. Total luas lahan yang terbakar adalah 1.600 hektar. Luas lahan terbakar itu tidak jauh beda dengan tahun 2017.
Angin membuat kebakaran meluas dengan asap yang membesar. Asap menutupi jalan yang membelah kawasan sehingga membuat pengendara kesulitan. (Ali Bahri)
TNRAW merupakan salah satu taman nasional di Sultra, selain Wakatobi. Jika Wakatobi terkenal dengan lautnya, TNRAW memiliki kawasan lahan basah, rawa, savana, juga hutan bakau.
Wilayah TNRAW memliki luas 105.194 hektar dan ditetapkan sebagai taman nasional pada 1990 bersamaan dengan Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Bunaken. Ketiganya merupakan taman nasional tertua di Indonesia.
TNRAW memiliki ekosistem rawa yang bernama Rawa Aopa dengan luas 11.488 hektar. Kawasan rawa itu mempunyai keanekaragaman fauna dan flora yang tinggi.