Metamorfosis Jawa Deli, dari Kuli Kontrak hingga Jadi Bupati
Generasi awal Jawa Deli mengalami penderitaan sebagai kasta terbawah dalam peradaban perkebunan tembakau Deli di Sumatera Utara. Generasi kuli kontrak lalu bermetamorfosis menjadi rektor, bupati, hingga hakim agung.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Datang sebagai kuli kontrak kebun tembakau di awal 1900-an, warga suku Jawa di Sumatera Utara mewarnai pembangunan di tanah baru, berasimilasi, dan bermetamorfosis menjadi kepala desa, pengusaha, rektor, bupati, hingga hakim agung.
Festival Koeli Kontrak di Kebun Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumut, Sabtu hingga Minggu (14-15/1/2023), mengobati rindu pada kehidupan generasi Jawa Deli pada kehidupan lelulur mereka. Pertunjukan kesenian rakyat ketoprak dor berjudul. seni pertunjukan peradaban perkebunan tembakau, ”Sang Koeli Kontrak” pun menjadi puncak festival itu.
Ratusan penonton yang sebagian besar adalah generasi ketiga hingga kelima dari kuli kontrak awal tak hanya memadati kursi yang disediakan panitia. Mereka berdiri mengelilingi panggung, duduk di atas tanah, hingga meluber sampai ke atas panggung. Ketoprak dor menjadi penghubung mereka ke kehidupan awal leluhurnya di Deli.
Lakon ketoprak dor dibuka dengan melodi musik kibor yang diiringi gendang. Seorang menir dengan pakaian serba putih ala pejabat Belanda memasuki panggung. Demang dan mandor, jabatan di bawah menir, lesehan di lantai menghadap menir yang gagah duduk di atas kursi besarnya. ”Kalian harus pergi ke Jawa untuk membawa kuli kontrak membuka perkebunan tembakau di tanah Deli ini,” kata menir itu.
Cerita itu menjadi awal perjalanan kuli kontrak di tanah Deli, kawasan yang kini menjadi Kota Medan, Binjai, Kabupaten Langkat, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai. Puluhan ribu kuli kontrak didatangkan dengan kapal dari Jawa ke Pelabuhan Belawan, Medan, di awal 1900-an. Perjalanan bisa menghabiskan waktu sebulan lebih.
Dalam buku berjudul Kuli yang ditulis MH Szekely-Lulofs digambarkan, para kuli kontrak awalnya terkejut melihat hutan belantara di tanah Deli yang akan mereka buka menjadi perkebunan tembakau.
Kepala Desa Saentis Asmawito mengenang, kakeknya menjadi salah seorang dari puluhan ribu kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa. ”Kakek saya datang dari Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. Ia meninggalkan istrinya di Jawa dan menikah lagi dengan nenek saya di Deli ini,” kata Asmawito.
Menurut Asmawito, sejarah kuli kontrak tidak berkaitan dengan perbudakan dan penderitaan. Kuli kontrak juga membawa kemakmuran dan mengangkat keluarga dari kemiskinan dan utang yang melilit di kampung halaman.
”Di kampung leluhur saya di Saradan, satu rumput ilalang pun tidak tumbuh saat musim kemarau. Kakek saya terlilit kemiskinan sehingga memilih menjadi kuli kontrak di Deli,” kata Asmawito.
Kakek Asmawito menjadi mandor di perkebunan tembakau di Kebun Saentis. Demikian juga dengan ayahnya hingga berlanjut ke Asmawito menjadi karyawan perkebunan. Selama tiga generasi bekerja di perkebunan dari zaman pendudukan Belanda hingga perkebunan dinasionalisasi, Asmawito menyebut kalau mereka menghadapi diskriminasi.
Di perkebunan ada peraturan tidak tertulis bahwa mereka dibagi dalam empat kasta, yakni ADM (manajer ke atas), asisten, kerani, dan kuli kontrak yang kemudian berubah nama menjadi buruh kebun lalu menjadi karyawan. ”Jangan berharap anak kuli bisa bergaul dengan anak asisten dan ADM. Kesempatan yang diberikan kepada anak karyawan juga sedikit,” kata Asmawito.
Hanya anak-anak dari ADM dan asisten yang bisa mengecap pendidikan di sekolah berkualitas di pusat Kota Medan. Mereka diantar setiap hari dengan bus yang mentereng. Sementara, anak kerani dan karyawan hanya bisa mendapat pendidikan di sekolah kelas bawah. ”Kami juga diantar pakai truk gerobak terbuka yang kami sebut kereta buaya,” kata Asmawito.
Namun, anak-anak kuli kontrak tidak mau menyerah pada keadaan. Banyak dari mereka yang tetap berusaha bersekolah meskipun harus menumpang truk atau naik sepeda hingga belasan kilometer ke Medan. Kesempatan semakin terbuka pascareformasi setelah sekat-sekat kasta dihancurkan.
”Hakim Agung Supandi yang baru saja pensiun merupakan generasi kuli kontrak uang asli lahir dan besar dari Desa Saentis ini,” kata Asmawito. Asmawito sendiri kuliah hingga mendapat gelar sarjana sosial dan menjadi kepala desa di perkebunan itu.
Budaya baru
Bupati Serdang Bedagai periode 2013-2021, Soekirman, juga merupakan generasi keempat kuli kontrak. Kakek buyutnya berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Kakeknya kuli kontrak di Kebun Adolina yang sekarang menjadi daerah Serdang Bedagai. ”Saya dulu sering melihat pesawat capung terbang rendah untuk menyemprot kebun tembakau. Melihat itu, saya bersekolah penuh cita-cita untuk bisa menjadi pilot,” kata Soekirman saat menjadi pembicara dalam Festival Koeli Kontrak.
Generasi kuli kontrak juga hidup dalam falsafah bahwa generasi mereka harus lebih baik.
Meski melenceng dari cita-citanya, Soekirman bisa mencicipi pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Ia menjadi konsultan pangan, pertanian organik hingga terpilih menjadi Wakil Bupati Serdang Bedagai pada 2005 dan menjadi Bupati sejak 2013.
Persaudaraan genarasi kuli kontrak, kata Soekirman, juga sangat kuat sampai muncul istilah Sedulur Tunggal Sekapal. Falsafah itu menggambarkan bahwa mereka saudara sekapal yang membawa mereka dari Jawa ke tanah Deli berbulan-bulan, sehidup semati. Persaudaraannya lebih dekat dari saudara kandung. Generasi kuli kontrak juga hidup dalam falsafah bahwa generasi mereka harus lebih baik.
Sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan, kemakmuran yang didapat kuli kontrak dan generasinya di tanah Deli menjadi salah satu sisi yang jarang diangkat. Berbagai cerita hanya mengangkat kesengsaraan atau perbudakan yang dialami kuli kontrak, padahal hal itu juga sebenarnya dialami kelompok buruh sampai hari ini.
Ichwan menyebut, kuli kontrak yang didatangkan secara massal pada awal 1900-an berasal dari kelas sosial paling bawah di Jawa. Pemerintah Hindia Belanda waktu itu menyasar mereka yang terjerat kemiskinan di kampung halamannya di Jawa. Koran-koran di era itu memasang iklan yang menggiurkan, ”Ayo bekerja di Deli, ada pohon berdaun emas”.
Dibandingkan dengan kehidupan awal mereka di Jawa, menurut Ichwan, kuli kontrak mendapat kemakmuran di tanah Deli. Mereka mendapat rumah, penghasilan, dan keluarga.
Kehidupan di kebun tembakau lalu menciptakan sebuah peradaban kehidupan baru. Kuli kontrak dari Jawa berbaur dengan berbagai suku, seperti Melayu, China, dan India. Dari peradaban perkebunan, lahir kesenian rakyat untuk mengekspresikan diri dan mengobati rindu kampung halaman, seperti ketoprak dor dan kuda kepang dengan atraksinya memakan kaca beling.
”Kesenian ini lahir dari peradaban perkebunan dan menyatukan banyak budaya, bukan sekadar memindah-mindahkan kesenian dari Jawa,” kata Ichwan.
Ichwan menyebut, kesenian seperti wayang dan gamelan tidak hidup di tengah masyarakat Jawa Deli karena dianggap elitis. Jawa Deli membangun ulang kebudayaan mereka. Mereka menabrak pakem-pakem yang hidup di Jawa. Pakaian adat pernikahan, misalnya, Jawa Deli bisa menggabungkan sarung dari Solo, blangkon dari Yogyakarta, dan menggunakan bale yang merupakan pakaian adat Deli.
Agus Susilo dan Ayub, salah satu penggagas Festival Koeli Kontrak, menyebut, festival itu menjadi ziarah pada kehidupan kuli kontrak generasi awal. Festival itu merekonstruksi ulang metamorfosis Jawa Deli, dari kuli kontrak hingga menjadi bupati, hakim agung, dan pengusaha sukses.