Lebih dari 13 tahun KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berpulang pada 30 Desember 2009. Nilai-nilai yang diperjuangkan Presiden ke-4 RI itu, kemanusiaan dan keadilan, terus dipelihara dan dipraktikkan oleh anak-anak muda.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Kegiatan mewarnai bersama anak-anak penyandang disabilitas digelar sebagai salah satu rangkaian acara haul atau peringatan meninggalnya Gus Dur yang diadakan oleh Jaringan Gusdurian Lampung, Selasa (10/1/2023).
Ramai suara anak-anak memecah suasana hening usai doa bersama mengenang kepergian Gus Dur yang digelar di aula Sekolah Luar Biasa Growing Hope di Kota Bandar Lampung, pada Selasa (10/1/2023). Hari itu, anak-anak penyandang disabilitas yang bersekolah di sana mengikuti kegiatan mewarnai bersama.
Kegiatan mewarnai itu adalah bagian dari rangkaian acara haul atau peringatan meninggalnya Gus Dur ke-13 yang digelar anak-anak muda lintas iman yang tergabung dalam Jaringan Gusdurian Lampung. Tak hanya pelajar dan mahasiswa, tokoh agama, camat, TNI, hingga pegiat berbagai organisasi kemasyarakatan hadir.
Setiap anak diberikan kertas gambar dan pensil warna oleh para guru. Sebagian anak duduk di kursi kecil menghadap ke meja. Ada juga anak-anak yang memilih duduk di lantai. Mereka adalah penyandang disabilitas tunarungu, autis, tunagrahita, dan anak dengan down syndrome dari Bandar Lampung.
Para tamu yang hadir lantas menghampiri anak-anak itu duduk di samping mereka dan ikut mewarnai. Salah satunya adalah Rasyidah Al Ganiyati (20), mahasiswa semester 7 Jurusan Manajemen Bisnis Syariah, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Rasyidah menemani Fitriyana (14), anak penyandang tunarungu.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Berbagai pesan tentang tolerasi yang diajarkan oleh Gus Dur.
Sembari mewarnai bersama, Rasyidah belajar berkomunikasi dengan bahasa isyarat pada Fitriyana dengan bantuan salah satu guru. Rasyidah menggerak-gerakkan jari tangan ke arah Fitriyana menyampaikan sesuatu.
”Saya bilang kalau dia anak yang cantik,” ujar Rasyidah. Fitriyana membalas dengan senyum dan ucapan terima kasih lewat bahasa isyarat.
Rasyidah menempuh jarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya untuk mengikuti acara itu. Saat Gus Dur menjabat presiden, Rasyidah belum dilahirkan. Ia lebih banyak mengenal sosok Gus Dur dari cerita orangtua atau buku-buku bacaan yang mengulik biografi dan perjuangan bapak bangsa itu.
Bagi Rasyidah, kegiatan pagi itu bukan sekadar mewarnai bersama. Setengah jam bersama Fitriyana, ia merasakan langsung sulitnya berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Pengalaman itu membuka matanya bahwa ada kelompok yang memiliki kebutuhan dan cara komunikasi yang berbeda dengan kebanyakan orang selama ini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mural Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid menghiasi tembok di Jalan Halim Perdana Kusuma, Benda, Kota Tangerang, Banten, Minggu (26/4/2020). Presiden Indonesia keempat (1999-2001) tersebut merupakan tokoh pluralisme yang begitu dihormati tidak hanya umat Islam, tetapi juga umat agama lain. Ketokohan Gus Dur ini membuatnya sangat populer dan banyak dijadikan model mural di sudut-sudut kota, Selain Gus Dur, tokoh lain yang juga sangat populer yaitu Soekarno dan Hatta.
Nilai-nilai untuk mau merasakan dan membersamai kelompok yang berbeda inilah yang sejatinya diperjuangkan Gus Dur selama hidup. Selain perdamaian dan persaudaraan, Gus Dur adalah sosok yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan toleransi. ”Sosok Gus Dur mengajarkan saya tentang rasa toleransi dan saling menghargai sesama manusia,” ujar Rasyidah.
Demikian pula dengan Husen (28), mahasiswa asal Provinsi Yala, Thailand, yang saat ini sedang menempuh pendidikan Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung. Husen mengenal sosok Gus Dur sebagai salah satu tokoh berpengaruh dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian di Indonesia.
Kami ingin ini menjadi langkah awal untuk membuat gerakan sosial dan mendorong kebijakan pemerintah agar lebih inklusi. (Yogi Prazani)
Husen yang lahir dan dibesarkan di daerah konflik di Thailand mengaku sangat terinspirasi padanilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur. Ia bertekad ingin menjadi pemuda yang turut merawat dan menyebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian.
”Nilai-nilai toleransi yang diajarkan oleh Gus Dur sangat relevan dengan kondisi saat ini. Banyak konflik yang terjadi karena setiap kelompok tidak bisa saling menghargai,” ujarnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga melintas di depan spanduk yang mengutip pernyataan mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, Minggu (10/8/2014). Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang memberi tempat lebih layak bagi kaum minoritas di Indonesia.
Saat nanti Kembali ke Thailand, Husen juga ingin memperkenalkan sosok Gus Dur pada anak-anak muda di sana. Ia berharap, suatu saat konflik di wilayahnya segera berakhir.
Adapun bagi Alentinus (27), pemuda beragama Kristen-Protestan yang bergabung dalam Jaringan Gusdurian Lampung, sosok Gus Dur mengajarkan dia tentang pentingnya saling menghargai antarumat beragama. Karena itulah, Gus Dur tidak hanya dicintai oleh santri dan umat Islam, tetapi juga dikasihi oleh berbagai kalangan, mulai dari agamawan, negarawan, politisi, dan pejuang hak asasi manusia.
”Tak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu,” demikian nasihat Gus Dur yang Alentinus ingat.
Koordinator Jaringan Gusdurian Lampung Yogi Prazani menuturkan, kegiatan mewarnai bersama anak-anak penyandang disabilitas sengaja dipilih sebagai salah satu kegiatan dalam haul Gus Dur yang tutup usia pada 30 Desember 2009 itu. Ini karena mereka ingin mengenal lebih dekat dengan anak-anak penyandang disabilitas di Lampung.
”Kami ingin ini menjadi langkah awal untuk membuat gerakan sosial dan mendorong kebijakan pemerintah agar lebih inklusi. Karena itu, kami ingin merasakan dan membersamai anak-anak penyandang disabilitas untuk bisa mengetahui tentang inklusivitas,” kata Yogi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mural tokoh bangsa Abdurrahman Wahid atau biasa dikenal dengan Gus Dur dan ucapan yang menjadi ciri khasnya "gitu aja kok repot" menghiasi tembok bangunan di Ciater, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (11/3/2021). Selain proklamator Soekarno, Gus Dur menjadi salah satu tokoh bangsa yang cukup populer dan banyak dijadikan inspirasi dalam bentu mural.
Pendiri Sekolah Luar Biasa (SLB) Growing Hope, Maria Novitawati, juga memuji cara anak-anak muda Jaringan Gusdurian Lampung dalam menerjemahkan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Gur. Meski sederhana, kegiatan mewarnai bersama dengan anak-anak penyandang disabilitas tentu akan menjadi cerita tersendiri bagi setiap orang yang hadir di acara itu.
”Pasti ada kesan mendalam untuk setiap orang yang hadir. Mereka secara nyata belajar empati, kerja sama, dan toleransi dari kegiatan sederhana ini,” kata Maria.
Menurut dia, anak-anak penyandang disabilitas di sekolah itu juga secara konkret belajar tentang nilai-nilai toleransi yang diajarkan Gus Dur. Tidak dengan narasi yang rumit, anak-anak penyandang disabilitas sudah terbiasa mempraktikkan untuk saling menyayangi, melindungi, dan menghargai satu sama lain.
Karena itulah, generasi pemuda perlu terus menjaga warisan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gus Dur. Karena pilihan menjadi bangsa yang beragam sesungguhnya adalah kekuatan bagi Indonesia.