Puluhan Ton Ikan Mati Mendadak di Danau Ranau, Nelayan Terpukul
Meningkatnya kadar belereng di Danau Ranau, Lampung Barat, Lampung, memicu kematian ikan massal secara mendadak di danau tersebut. Puluhan nelayan merugi dan terancam gulung tikar.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
LIWA, KOMPAS — Puluhan ton ikan dalam keramba jaring apung di Danau Ranau, Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, mati mendadak sejak tiga hari terakhir. Ikan mati akibat belerang yang mengalir dari Gunung Seminung ke danau tersebut.
Rohi Putrawan (40), pemilik keramba jaring apung di Lumbok Seminung, menuturkan, kematian ikan di keramba jaring apung terjadi sejak Selasa (10/1/2023). Hingga hari ketiga, diperkirakan jumlah ikan mati milik para nelayan budidaya di kawasan Danau Ranau diperkirakan sudah mencapai 50 ton.
”Kematian ikan terus terjadi dan semakin meluas. Kami tidak tahu sampai kapan ini akan berakhir,” kata Rohi saat dihubungi dari Bandar Lampung, Jumat (13/1/2023).
Dengan harga nila saat ini Rp 20.000 per kilogram, total kerugian yang ditanggung nelayan sudah mencapai Rp 1 miliar. Jumlah itu belum termasuk ratusan ribu bibit ikan yang turut mati.
Saat ini, para nelayan terpaksa memanen dini agar tidak menanggung rugi yang semakin besar. Mereka juga memanfaatkan mesin pompa air alkon untuk meningkatkan kadar oksigen di keramba. Hal ini dilakukan agar ikan-ikan yang masih berusia 1-2 bulan dan belum bisa dipanen tetap bertahan hidup.
Rohi menuturkan, aliran belerang dari Gunung Seminung ke Danau Ranau merupakan fenomena alam yang berulang setiap lima tahun. Saat musim hujan, aliran belerang di dasar danau naik ke permukaan sehingga kadar oksigen di air menipis. Hal itulah yang membuat ikan-ikan mati mendadak.
Kadar belerang yang naik ke permukaan tahun ini diprediksi lebih banyak sehingga ikan-ikan tidak mampu bertahan.
Kejadian ikan mati mendadak di Danau Ranau pernah juga terjadi pada Desember 2018. Namun, kematian ikan tahun ini menjadi yang paling parah dalam 10 tahun terakhir.
Menurut Rohi, nelayan sebenarnya sudah mengurangi jumlah bibit ikan di setiap kerambang jaring apung. Namun, kadar belerang yang naik ke permukaan tahun ini diprediksi lebih banyak sehingga ikan-ikan tidak mampu bertahan.
Rohi berharap Pemerintah Kabupaten Lampung Barat memberikan perhatian kepada nasib nelayan keramba jaring apung di Danau Ranau yang terancam gulung tikar. Saat ini, para nelayan kesulitan modal untuk melanjutkan usaha budidaya. Selain itu, masih banyak nelayan yang harus membayar kredit usaha ke perbankan.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Barat Religius Helman mengatakan, saat ini ada sekitar 400 keramba jaring apung di Danau Ranau yang dikelola sekitar 200 nelayan setempat. Luas area pemanfaatan untuk budidaya ikan air tawar di danau tersebut sekitar 0,05 kilometer persegi.
Jumlah area pemanfaatan itu masih sangat kecil dibanding luas area Danau Ranau yang masuk ke wilayah administrasi Lampung Barat, yakni 40-50 kilometer persegi. Sementara itu, total luas Danau Ranau adalah 125,9 kilometer persegi. Danau ini merupakan danau terluas kedua di Sumatera setelah Danau Toba.”Luas area pemanfaatan untuk perikanan budidaya masih kurang dari 10 persen. Kematian ikan mendadak di danau itu karena fenomena alam,” katanya.
Saat ini pemerintah daerah masih terus melakukan pendataan jumlah nelayan budidaya yang terdampak. Pemerintah juga telah melaporkan kejadian itu kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung untuk tindakan lebih lanjut. Pihaknya juga akan berdiskusi dengan kelompok nelayan terkait bantuan yang dibutuhkan.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Liza Derni menuturkan, pemerintah provinsi bekerja sama dengan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Lampung segera menurunkan tim untuk menyelidiki kematian ikan secara massal tersebut.
”Kami akan mengambil sampel air untuk mengetahui penyebab pastinya. Setelah ada hasilnya, kami juga akan membuat langkah selanjutnya,” katanya.