Total lahan sawah Oepura, Kota Kupang, Nusa tenggara Timur, sekitar 20 hektar. Pemiliknya ada sekitar 50 orang. Namun, lahan terus dijual oleh pemiliknya hingga menyusut, sisa sekitar 5 hektar.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Harga bahan kebutuhan pokok terus merangkak naik, sementara harga komoditas pertanian dari tahun ke tahun relatif stagnan. Kondisi ini mendorong para petani pemilik lahan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, terus menjual lahan secara bertahap, demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Padahal, lahan di dalam kota itu selama ini menjadi penyangga kebutuhan hortikultura dan pangan lokal bagi warga kota.
Johan Fais (56) bersama putranya, Agus Fais (28), tengah mengisikan bahan pestisida pembasmi rerumputan ke dalam jeriken yang sudah diisi air. Campuran pestisida dimanfaatkan untuk menyemprot rerumputan. Lahan seluas 50 are itu siap diolah dan ditanam pada musim tanam pertama, Februari 2023.
”Sawah warisan orangtua ini seharusnya ada 500 are, tetapi kami jual sedikit-sedikit setiap tahun, sejak 2006. Kini, sisa 50 are saja. Total lahan sawah Oepura ini sekitar 20 hektar. Pemiliknya ada sekitar 50 orang, salah satunya mantan wakil gubernur NTT. Tetapi lahan ini terus dijual oleh setiap pemilik sehingga menyusut, sisa sekitar 5 hektar,” kata Fais.
Kebanyakan pembeli dari unsur pemerintah. Mereka membangun pusat perkantoran di atas lahan itu. Kini, sudah sekitar 25 unit bangunan perkantoran mengepung lahan itu, di luar rumah penduduk dan tempat usaha.
Petani terpaksa menjual lahan itu karena kesulitan biaya hidup. Apalagi mereka sering mengalami gagal panen karena saluran irigasi kering.
Sumber air Oepura tidak cukup mengairi lahan sawah seluas 5 hektar itu karena debit air terus menyusut. Dari 100 liter per detik pada tahun 1980-an, kini sekitar 2 liter per detik pada puncak kemarau, Agustus-November. Adapun pada musim hujan hanya 20 liter per detik.
Jika tidak ada kebijakan pemerintah berpihak kepada petani terkait produksi hasil pertanian, suatu saat petani akan menjual semua lahan itu. Konversi lahan pertanian menjadi pusat perkantoran, permukiman penduduk, dan kegiatan lain ini tidak bisa dihindari kalau pemerintah tidak berpihak kepada petani.
Puncak kemarau petani hanya bisa menanam jenis tanaman hortikultura. Itu pun tidak semuanya berhasil tumbuh karena kekeringan. Beberapa petani terpaksa membuat sumur bor, atau sumur galian. Kawasan itu termasuk daerah resapan air sehingga kedalaman sumur galian cukup 10 meter.
Biaya sumur bor saat ini Rp 30 juta per titik, termasuk murah. Sebelumnya, sampai Rp 75 juta per titik bor, dengan kedalaman sampai 80 meter.
”Mereka tidak hitung per meter, tetapi sekali mengebor Rp 75 juta meskipun pada kedalaman 5 meter atau 10 meter sudah ditemukan air,” kata pria yang hanya mengenyam pendidikan kelas dua sekolah menengah pertama ini.
Petani sulit membiayai sumur bor atau menggali sumur sampai mendapatkan air, dengan biaya Rp 30 juta per sumur galian. Mereka tidak punya biaya. Rata-rata pemilik lahan di tengah Kota Kupang itu adalah warga miskin. Lahan milik beberapa bekas pejabat disewakan kepada petani lokal.
Di sisi lain, harga sejumlah kebutuhan pokok, hasil pabrikan seperti gula pasir, tepung terigu, minyak goreng, dan mi instan terus naik. Dalam satu tahun bisa naik sampai lima kali. Kenaikan tertinggi menjelang hari raya keagamaan. Sementara harga hasil pertanian di pasar tetap stabil, bahkan cenderung menurun, seperti rumput laut, kopi, kemiri, jagung, dan umbi-umbian.
”Mi instan dulu hanya Rp 1.000 per bungkus, sekarang sudah sampai Rp 7.000 per bungkus, sementara harga jagung pipilan dari tahun 1990-an sampai sekarang tetap Rp 5.000 per kg. Kalau naik Rp 7.000 per kg, pun tidak lama lagi turun ke posisi Rp 5.000 per kilogram lagi. Di mana keadilan bagi petani. Pemerintah tidak berpikir soal itu,” kata Fais.
Para petani kecewa sehingga menjual lahan kepada pengusaha atau pejabat. Mereka memanfaatkan hasil jualan tanah itu untuk mengusahakan kios bahan pokok di samping rumah atau di pasar.
”Itu berhasil, setelah menjual sebagian dari lahan di sini. Sekarang mereka sudah membuka kios sembako di pasar dan di samping rumah. Bahkan ada yang menjalankan uang sebagai modal usaha pedagang pasar lain, semacam koperasi harian begitu. Usaha mereka terus berkembang. Perubahan hidup dalam keluarga pun terjadi,” katanya.
Jika tidak ada kebijakan pemerintah berpihak kepada petani terkait produksi hasil pertanian, suatu saat petani akan menjual semua lahan itu. Konversi lahan pertanian menjadi pusat perkantoran, permukiman penduduk, dan kegiatan lain ini tidak bisa dihindari kalau pemerintah tidak berpihak kepada petani.
Di tengah lahan yang kian menciut, masih ada petani yang tidak memiliki lahan, tetapi masih tetap bercocok tanam dengan menyewa lahan. Salah satunya Martadon Edon (35) yang menggarap lahan milik salah satu pejabat di Kota Kupang, sejak tiga tahun terakhir.
Ia menyewa lahan itu per are atau 100 meter persegi seharga Rp 25.000. Edon mengolah 100 are atau 1.000 meter persegi untuk menanam padi.
Pria tiga anak ini ditemui sedang membajak sawah dengan traktor tangan. Ia berencana menanam lahan itu akhir Januari ini.
”Musim tanam biasanya bulan Februari. Tapi, untuk mengantisipasi kekeringan, tanam lebih awal agar masih bisa mengandalkan air hujan. Debit irigasi sangat kecil, apalagi hujan juga turun tidak merata,” kata Edon.
Memasuki musim kemarau, lahan itu ditanami hortikultura pada bulan Juli dan September. Ia biasanya menanam sawi, kol, kangkung, dan pada titik tertentu ditanami jagung. Namun, Edon enggan menyebutkan keuntungan dari hasil produksi padi dan hortikultura ini.
Dari hasil produksi itu, ia bisa menyewa lahan untuk tahun berikut, menyekolahkan anak di perguruan tinggi, memperbaiki rumah, dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari bagi istri dan tiga orang anak.
Sebagian dari lahan pertanian di tengah kota itu juga menjadi tempat pembelajaran sejumlah siswa SMK pertanian, mahasiswa, dan dosen.
Ia pun berharap lahan yang digarap itu tidak dijual. Lahan itu setiap tahun menyuplai hasil produksi hortikultura bagi masyarakat Kota Kupang, seperti kangkung, sawi, kol, wortel, dan kacang-kacangan.
Edon juga berharap ada kebijakan melindungi semua lahan pertanian di dalam dan di pinggiran Kota Kupang. Apalagi hasil pertanian itu sebagai penyangga kebutuhan warga Kupang.