Tantangan Tambang dan Lahan Pangan yang Kian Menyempit
Luasnya lahan yang diberikan untuk berbagai izin usaha di Kalimantan Timur membuat sejumlah lahan untuk kebutuhan pangan warga menyempit. Pemprov Kaltim berupaya mengoptimalkan lahan pangan.
Mengenakan caping, pria itu berjongkok membersihkan rumput di antara padi yang belum lama ia tanam. Dari tempatnya bekerja itu, lamat-lamat terdengar suara truk dan ekskavator meraung-raung di galian yang amat dalam. Syadari, pria 45 tahun itu, seperti berada di sebuah arena yang menghadapkan tambang dengan lahan pertanian miliknya dan milik puluhan warga lain.
Beberapa meter dari tempatnya berdiri, terdapat gundukan batubara di tanah yang lebih tinggi. Saat hujan turun, lumpur dari sekitar tumpukan itu terbawa hingga ke sawah milik Syadari. ”Bisa gagal panen kalau begitu. Kadang bisa panen, tapi padinya berlumpur dan kuning,” katanya.
Siang itu, Sabtu (7/1/2023), matahari begitu terik di Desa Karang Tunggal, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Lahan sawah tadah hujan milik Syadari mulai mengering. Sawah miliknya kini tak lebih seperempat hektar. Saat panen bagus, 1 kuintal gabah kering bisa ia dapatkan.
Seringnya, ia hanya mendapat tak lebih dari 30 kilogram gabah kering akibat gagal panen dan banjir lumpur yang mengalir dari area pertambangan. Tambang batubara yang beroperasi di seberang sawahnya kini kian mendekat. Salah satu petak sawah milik tetangga Syadari bahkan sudah ambles lantaran aktivitas tambang tersebut.
Baca juga: Menyusuri IKN: Jalan Mulus, tapi Ada yang Takut Tergerus
Syadari dan ratusan warga di desa itu adalah transmigran asal Magelang, Jawa Tengah. Mereka mulai menggarap lahan di sana sekitar pertengahan tahun 1981. Semula, Syadari dan keluarganya punya lahan sekitar 3 hektar. Namun, pada tahun 2000-an, pemerintah memberi izin perusahaan tambang batubara di desanya.
Perusahaan kemudian membeli banyak lahan warga, termasuk milik keluarga Syadari. Kini ia hanya memiliki seperempat hektar lahan untuk menanam padi. Hasilnya tak selalu bisa terjual. Kebanyakan untuk kebutuhan makan ia dan kerabatnya.
”Untuk kebutuhan hidup lain, saya kerja jadi kuli. Kalau dulu enak, masih bisa tanam jagung atau yang lain buat dijual. Sekarang susah, lahan tinggal sedikit,” ujar Syadari, menatap ke arah lubang tambang.
Kisah hilangnya lahan untuk pangan juga terjadi di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Saparudin, Kepala Adat Paser Desa Binuang, bercerita, setidaknya sejak 30 tahun lalu masyarakat Paser dan Balik mulai meninggalkan tradisi ladang berpindah.
Ladang berpindah adalah sistem berladang yang tak mengandalkan satu lahan saja untuk berkebun. Jika lahan saat ini sudah digunakan untuk memanen padi gunung, pada musim tanam selanjutnya mereka akan menggunakan lahan lain sambil menunggu lahan lama meremajakan diri secara alami. Peremajaan alami itu ditandai dengan tumbuhnya rumput-rumput atau tumbuhan lain.
Sekarang tidak ada lagi yang menanam padi gunung karena ndak punya lahan. Kami sekarang beli beras dari hasil sawit atau kerja lain.
Padi gunung tak lagi ditanam masyarakat Paser dan Balik di Kecamatan Sepaku lantaran pemerintah menerbitkan izin usaha hutan tanaman industri dengan luas mencapai 190.000 hektar pada tahun 1970-an. Menurut Saparudin, hutan adat dan lahan warga untuk berladang pun masuk di dalamnya. Warga tak bisa berbuat banyak dan akhirnya merelakan lahan mereka digunakan untuk hutan tanaman industri.
”Sekarang tidak ada lagi yang menanam padi gunung karena ndak punya lahan. Kami sekarang beli beras dari hasil sawit atau kerja lain,” katanya.
Baca juga: Bersoyong, Ritual Suku Asli IKN yang Sirna Seiring Hutan Menyempit
Dua kisah tersebut adalah beberapa dampak akibat luasnya izin yang diterbitkan pemerintah di Kalimantan Timur. Izin itu meliputi sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan batubara. Luas izin di daratan Kaltim sekitar 9,33 juta hektar atau 73 persen luas Povinsi Kaltim.
Itu pula yang diperkirakan turun mempersempit lahan untuk produksi pangan warga di Kaltim. Sawah irigasi dan nonirigasi di Kaltim pada 2012 seluas 68.120 hektar. Luasan tersebut menurun sekitar 4.000 hektar pada 2022 menjadi 64.030 hektar.
Meskipun belum ada data pasti apa penyebab berkurangnya luasan sawah itu, tetapi mendengar cerita dua warga Kaltim tersebut mencerminkan satu hal: salah satu penyebab berkurangnya lahan untuk pangan di Kaltim akibat pemberian izin usaha yang memakan banyak lahan warga.
Badan Pusat Statistik mencatat, produksi beras Kaltim pada 2022 sekitar 135.300 ton. Itu hanya memenuhi sekitar 40 persen kebutuhan pangan warga. Sisanya, Kaltim menerima suplai dari Jawa Timur dan Sulawesi untuk memenuhi kebutuhan beras, sayur, hingga daging.
”Daya rusak tambang dan pemberian izin itu mengakibatkan perubahan sumber-sumber penghidupan serta perubahan budaya dan identitas,” ujar aktivis lingkungan, Pradarma Rupang, yang banyak mendampingi warga yang berkonflik dengan perusahaan tambang.
Saat ini, untuk harga beras di Kaltim tak terlalu berbeda dengan di Jawa, sekitar Rp 13.000. Namun, untuk kebutuhan lain, seperti sayur bayam, di akhir tahun 2022 di Kota Balikpapan sempat menyentuh Rp 15.000 per ikat.
Baca juga: Sudah Dihentikan Polisi, Tambang Ilegal Dekat IKN Kembali Beroperasi
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar, mengatakan, mahalnya sejumlah bahan pangan itu terjadi lantaran rantai pasok yang bermasalah di Kaltim. Salah satu penyebabnya adalah infrastruktur yang belum merata. Untuk itu, ia menyarankan agar Kaltim beranjak dari ketergantungan pertambangan batu bara di bidang ekonomi.
Menurut dia, jika pemerintah mengandalkan batubara dan perkebunan sawit, yang diuntungkan adalah pemilik modal. Agar warga lebih diuntungkan, sektor pertanian yang cocok di Kaltim menurut dia punya potensi dikembangkan. Masyarakat lokal Kaltim, kata Hairul, amat mengenal dan berpengalaman mengelola lahan di Kaltim. Namun, mereka belum memiliki pengetahuan kapan harus menanam dalam jumlah besar untuk kebutuhan pasar.
”Kalau pertanian, lahan itu milik masyarakat. Itu berpotensi menjadi industri, pemerintah tinggal menambah lini untuk pengolahan bahan setengah jadi dan seterusnya. Petani bisa membentuk koperasi dan itu bisa jadi kekuatan,” katanya.
Optimalkan Lahan
Dengan menilik data tersebut, lanskap Kaltim hari ini adalah dampak dari kebijakan yang diambil pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, sejak lama. Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengatakan, saat ini kewenangan pemberian izin, evaluasi, dan pengawasan tambang batubara berada di pemerintah pusat.
”Sementara (kewenangan) lari ke Jakarta, tidak ada aturan transisi yang bisa bertanggung jawab,” ujar Isran.
Meski demikian, Kaltim berupaya mengoptimalkan lahan pangan yang bisa dikembangkan. Staf Ahli Bidang Sumber Daya Alam, Perekonomian Daerah, dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Kaltim, Christianus Benny, mengatakan, Pemprov Kaltim saat ini sudah memulai upaya agar kebutuhan pangan warga disuplai dari wilayah Kaltim sendiri. Beberapa program mulai diinisiasi untuk memanfaatkan kolam di lubang tambang sebagai sumber air untuk pengairan sawah.
Contoh lain, Pemprov Kaltim membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Delta Mahakam di Kutai Kartanegara. Melalui KPHP, kawasan hutan bisa ditetapkan menjadi kawasan pertanian bagi warga. Di sana diterapkan agrosilvofishery atau wana-mina-tani, pola yang mengintegrasikan budidaya pertanian, kehutanan, perikanan, dan wisata dalam satu hamparan lahan.
”Satu hektar lahan sawah bisa menghasilkan 7 ton padi. Sekarang sudah ada 400 hektar sawah. Saat Kota Samarinda kekurangan beras, kebutuhannya ditutupi dari sana,” kata Benny. Dengan langkah itu harapannya kebutuhan pangan bisa tercukupi.