Banjir Semarang Butuh Lebih dari Sekadar Penawar Sementara
Kota Semarang, Jawa Tengah, masih berjuang melepaskan diri dari bencana banjir yang telah bertahun-tahun membelenggu. Komitmen bersama berbagai pihak diperlukan untuk menyelesaikan persoalan itu secara tuntas.
Jika diibaratkan penyakit, banjir yang melanda Kota Semarang, Jawa Tengah, sudah tergolong sebagai komplikasi sehingga tak mudah disembuhkan. Perlu upaya jangka panjang dan komitmen kuat agar ibu kota Jateng itu tidak semakin ”sakit” digerogoti banjir.
Hujan lebat yang turun sejak Jumat (30/12/2022) petang hingga Sabtu (31/12/2022) siang disebut sebagai biang kerok dari banjir di Kota Semarang dan sekitarnya. Ditilik lebih dalam, hujan bukan satu-satunya pihak yang ”bersalah” dalam peristiwa itu.
Di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Semarang Utara, misalnya, banjir terjadi karena saluran air di sekitar permukiman warga meluap. Kondisi itu terjadi karena saluran air terlalu kecil ditambah adanya sumbatan sampah.
”Di Purwosari, banjir baru terjadi setahun belakangan ini. Puncaknya pada akhir 2022, air sampai masuk ke dalam rumah. Sebelum-sebelumnya tidak pernah masuk rumah. Kalaupun ada genangan, paling cuma di jalan, tidak sampai masuk ke dalam rumah,” kata Alfian (22), warga Kelurahan Purwosari, Rabu (4/1/2023).
Banjir setinggi 15 sentimeter yang menggenangi permukiman pada Sabtu pagi-siang tersebut menghambat aktivitas masyarakat. Alfian berharap, ada solusi agar peristiwa serupa tidak terulang.
Baca juga: Banjir Sambut Pergantian Tahun di Semarang
Selain merendam permukiman dan memaksa sejumlah orang mengungsi, banjir juga membuat jalan pantura Semarang tidak bisa dilalui. Rel kereta tak luput dari dampak banjir. Akibatnya, empat perjalanan kereta dibatalkan dan sepuluh perjalanan kereta diubah melalui jalur selatan.
Dosen Planologi Universitas Negeri Semarang, Saratri Wilonoyudho, mengatakan, setidaknya ada tiga penyebab lain di luar cuaca buruk yang membuat sebagian wilayah daratan di Kota Semarang menjadi ”segara” selama beberapa hari terakhir.
Pertama, penurunan muka tanah. Kondisi itu dipicu oleh aktivitas pengambilan air bawah tanah yang masif. Penurunan muka tanah yang dibarengi dengan peningkatan air muka laut ini membuat air laut mengalir ke daratan.
Baca juga: Pantura Jateng Terendam Banjir, Perjalanan Kereta Api Tersendat
”Kedua, Kota Semarang sudah tidak memiliki daya dukung lingkungan yang memadai. Bangunan-bangunan yang ada sudah melebihi kapasitas, bahkan dibangun tanpa ada perencanaan sistem drainase yang memadai. Kondisi itu masih ditambah dengan jumlah ruang terbuka hijau yang kurang dari 30 persen dan daerah resapan yang minim,” kata Saratri.
Sementara itu, faktor ketiga yang turut andil dalam memicu banjir adalah kerusakan mangrove di kawasan pesisir pantai utara Jateng. Kerusakan mangrove disebut Saratri muncul seiring dengan masifnya pembangunan di wilayah pesisir, seperti pembangunan kawasan-kawasan industri.
Selama ini, sedikit banyak banjir di Semarang diatasi dengan pompa air. Namun, solusi itu dinilai Saratri hanya sebagai penawar sementara. Sementara untuk mengatasi banjir yang sudah ”komplikasi” tersebut butuh perawatan yang intensif dan komprehensif.
Menurut Saratri, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan, mulai dari memetakan luasan lahan yang tak bisa menyerap air, memetakan saluran air yang tidak tersambung, hingga memetakan daerah yang muka tanahnya menurun.
Hasil pemetaan itu bisa menjadi panduan untuk melakukan berbagai upaya, antara lain menambah daerah resapan, memperbaiki saluran air yang tidak tersambung, serta menyetop ekspolitasi air tanah pada wilayah yang muka tanahnya terus menurun.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Solusi Jangka Panjang Atasi Banjir Semarang
Upaya lain yang tak kalah penting adalah perawatan sungai melalui upaya normalisasi sungai. Mayoritas sungai yang ada saat ini dangkal dan penuh dengan sampah. Kondisi itu membuat fungsinya sebagai jalan air tidak optimal.
Jika sungai sudah berfungsi optimal, air hujan sebanyak apapun akan bisa lewat, tidak akan meluap hingga merendam permukiman. Kalaupun meluap, dampaknya tidak akan separah saat sungai tidak berfungsi optimal.
Namun, perawatan sungai itu tidak bisa hanya dilakukan di daerah hulu dan tengah, tetapi juga perlu dilakukan di daerah hilir. Sebab, selama beberapa tahun terakhir, banyak hutan mangrove di kawasan pesisir yang rusak. Kerusakan itu terjadi karena faktor alam dan faktor manusia. Perbaikan hutan mangrove harus dilakukan sebagai bagian dari melindungi daratan dari intrusi air laut.
”Upaya selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mencegah pertumbuhan aktivitas baru yang tidak sesuai dengan tata ruang. Soal tata ruang ini harus ketat. Kalau sudah dipetakan bahwa daerah itu tidak boleh dibangun, ya jangan dibangun, harus tegas,” ujar Saratri.
Kota Semarang sudah tidak memiliki daya dukung lingkungan yang memadai. (Saratri Wilonoyudho)
Saratri mengusulkan, rencana tata ruang wilayah diumumkan kepada masyarakat. Jika masyarakat tahu, mereka juga bisa ikut mengontrol lingkungannya. Celah pengambil keputusan untuk berbuat curang, memberikan izin pembangunan di tempat yang tidak seharusnya demi keuntungan pribadi, juga bisa ditekan.
”Harus ada komitmen bersama untuk tegas dengan aturan. Kalau tidak, sama saja Semarang bunuh diri bersama,” katanya.
Masih tergenang
Memasuki hari kelima atau Rabu (4/1/2023), banjir masih menggenangi Kota Semarang. Salah satu wilayah yang masih tergenang adalah Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk. Ketinggian air di wilayah itu pada Rabu sekitar 50 sentimeter. Kondisi di Trimulyo itu terbilang lebih baik dari ketinggian air pada hari sebelumnya, yakni 1 meter.
Pelaksana Tugas Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu menyebut, mulai surutnya banjir di Kota Semarang itu berkat bantuan pompa portabel yang dikirimkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pompa yang didatangkan dari berbagai daerah itu memiliki kapasitas hingga 3.500 liter per detik.
Baca juga: Modifikasi Cuaca di Jateng Cegah Perluasan Dampak Bencana
Menurut Hevearita, penanganan jangka panjang untuk banjir di wilayahnya terbagi ke dalam dua rencana, yakni penanganan banjir untuk wilayah timur dan barat Kota Semarang. Di wilayah timur, akan ada penambahan pintu air dan pembangunan kolam retensi dengan luas 250 hektar di sekitar rumah pompa Kali Sringin.
Sementara itu, penanganan banjir untuk wilayah barat akan dilakukan dengan cara menormalisasi Sungai Plumbon. ”Normalisasi ini akan difokuskan pada titik sepanjang 4,6 kilometer. Untuk melancarkan proses normalisasi, harus ada pembebasan lahan sekitar 11 hektar di wilayah tersebut. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah kami,” kata Hevearita.
Hevearita menuturkan, pembebasan lahan akan menjadi prioritas program Pemerintah Kota Semarang awal tahun ini. Ia berharap, masyarakat mendukung rencana tersebut.
Selain Kota Semarang, sejumlah daerah di pantai utara Jateng juga kerap dilanda banjir. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, ada beberapa langkah penanganan jangka panjang untuk mengatasi banjir di wilayah pantura, misalnya pembangunan polder dan tanggul serta penambahan pompa air.
”Rasa-rasanya butuh pompa portabel. Maka, kita dorong untuk menyiapkan bantuan itu,” tuturnya.
Selain pembangunan fisik, Ganjar juga berharap ada pengendalian tata ruang dan lingkungan. Dalam beberapa kesempatan, Ganjar sempat menyinggung akan melakukan audit pada bangunan-bangunan di pesisir. Hal itu disebut sebagai salah satu bentuk pengendalian tata ruang.
Perjalanan menuju kesembuhan dari komplikasi penyakit banjir di Kota Semarang dan daerah sekitarnya bisa jadi tidak singkat. Dalam perjalanan itu, komitmen dan konsistensi pemerintah dan masyarakat pun diuji. Akan sembuh atau semakin sakit, hanya waktu yang bisa menjawab.