Kapal tidak berlayar akibat gelombang tinggi, pasokan bahan pokok di daerah Kepulauan Maluku menipis. Daerah itu mengandalkan kapal perintis.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Terhentinya pelayaran perintis dari Kupang menyebabkan pasokan bahan kebutuhan pokok di sejumlah daerah menipis. Sementara itu, cuaca buruk perairan masih berlangsung hingga satu pekan ke depan. Penguatan pangan lokal di daerah perlu dilakukan mengingat kondisi semacam ini akan terus berulang.
Marsel Darisera (40), warga Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, lewat sambungan telepon pada Selasa (3/1/2023) mengatakan, persediaan beras di sejumlah kios di sana sudah berkurang. Para pedagang menaikkan harga hingga Rp 18.000 per kilogram untuk beras medium.
”Bahan pokok sebagian besar habis untuk kebutuhan Natal dan Tahun Baru. Setelah itu belum ada kapal yang bawa barang masuk. Masuk terakhir sekitar pertengahan Desember tahun lalu,” katanya.
Selama ini, bahan kebutuhan pokok untuk Pulau Wetar dan sekitarnya diangkut dengan kapal perintis dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dua kapal yang menyinggahi daerah itu adalah KM Sabuk Nusantara 67 dan KM Sabuk Nusantara 87.
Masing-masing kapal singgah sekali setiap dua sampai tiga minggu. Kapal membawa barang kebutuhan pokok dan barang penting. “Jadi, kalau dua kapal itu tidak datang, di pulau ini tidak ada pasokan bahan makanan dari luar,“ ujar Marsel. Pulau itu dihuni sekitar 10.000 jiwa.
Keluhan yang sama disampaikan Angky (30), warga Pulau Lirang. Pasokan makanan untuk pulau itu juga dibawa dari Kupang menggunakan dua kapal tersebut.
Jadi, kalau dua kapal itu tidak datang, di pulau ini tidak ada pasokan bahan makanan dari luar. (Marsel)
Seperti Wetar, terakhir kapal masuk membawa barang pada pertengahan Desember 2022. Sebagian besar sudah dipakai untuk kebutuhan Natal dan Tahun Baru.
”Sebenarnya kami bisa ke Pulau Atauro (milik negara Timor Leste), tetapi terkendala cuaca buruk. Kami biasa pakai perahu motor untuk beli bahan makanan di sana,” ujar Angky.
Sementara itu, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas III Kupang Hendrik Kurnia belum mencabut larangan berlayar dari Kupang lantaran cuaca buruk belum juga reda. Tinggi gelombang di jalur yang dilewati mencapai 6 meter.
Kondisi ini diperkirakan masih berlangsung hingga satu pekan ke depan. Pelabuhan Tenau merupakan pelabuhan terbesar di NTT yang menjadi pangkalan bagi semua kapal perintis dan feri yang dikelola PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan.
Nakhoda Kapal Perintis KM Sabuk Nusantara 67, Petrus Parapaga, mengatakan, kapal tersebut sedang berlabuh di Teluk Kupang. ”Sesuai jadwal, kapal mulai berlayar ke daerah Maluku pada 3 Januari ini, tapi ditunda. Kami sudah buat berita acaranya,” ujar Petrus.
Dihubungi secara terpisah, nakhoda Kapal Perintis KM Sabuk Nusantara 87, Ampa Uleng, menuturkan, kapal saat ini sedang berlindung di Pulau Sermata. Kapal dalam pelayaran ke Ambon. Perairan yang akan dilewati, yaitu Laut Banda, kini diterjang gelombang setinggi 6 meter.
Pangan lokal
Petrus dan Ampa memahami kondisi yang dialami masyarakat di sana karena mereka berpengalaman melayani daerah itu selama bertahun-tahun. Masyarakat di sana bergantung pada pelayaran perintis.
Menanggapi kelangkaan pasokan makanan dari luar, Abraham Mariwy, tokoh muda dari Maluku Barat Daya, mengingatkan pentingnya kembali memperkuat pangan lokal. Masyarakat harus mengurangi ketergantungan pada beras.
”Sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir karena di sana ada pisang, ubi, jagung, dan kacang. Mari kita rawat lagi pangan lokal dan mengonsumsinya. Di tengah dampak perubahan iklim, cuaca seperti sekarang akan terus terulang pada masa yang akan datang,” kata Abraham.