Kasus Pelecehan Terbongkar, Kegiatan Belajar di Ponpes Dihentikan
Kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren di Lampung kembali terbongkar. Pemilik ponpes diduga melecehkan enam santri perempuan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
TULANG BAWANG BARAT, KOMPAS — Kegiatan belajar di Pondok Pesantren Hidayatul Salafiah di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, dihentikan sejak Selasa (3/1/2023). Hal itu dilakukan setelah polisi menangkap AA (45), pemilik pondok pesantren tersebut, atas kasus dugaan kekerasan seksual terhadap enam santrinya.
Kepala Bidang Pendidikan Pondok Pesantren Kantor Wilayah Kementerian Agama Lampung Karwito mengatakan, pihaknya prihatin dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pemilik pondok pesantren tersebut. Pihaknya menyerahkan penyelidikan kasus itu kepada polisi.
”Saat ini semua siswa sudah dijemput oleh orangtua masing-masing. Kegiatan belajar mengajar di sana pun sudah dihentikan,” kata Karwito kepada Kompas, Selasa.
Menurut dia, Kantor Wilayah Kemenag Lampung akan melakukan evaluasi terhadap manajemen di pondok pesantren tersebut. Pihaknya juga akan meminta pengurus ponpes untuk bermusyawarah dengan orangtua santri terkait keberlanjutan kegiatan belajar di sana.
Ia menilai, kasus dugaan kekerasan seksual yang menyeret pemilik pondok merupakan persoalan personal AA dan tidak terkait dengan perizinan pondok pesantren.
Saat ini semua siswa sudah dijemput oleh orangtua masing-masing. Kegiatan belajar mengajar di sana pun sudah dihentikan. (Karwito)
Apabila orangtua siswa masih mempunyai kepercayaan pada pondok pesantren tersebut, kegiatan belajar bisa dilanjutkan. Namun, apabila keluarga menolak melanjutkan pendidikan di sana, para santri akan dipindahkan ke pondok pesantren lain.
Pencegahan kasus
Selama ini, Karwito mengatakan, Kementerian Agama sebenarnya telah menetapkan prosedur standar untuk pencegahan kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren. Pola interaksi dan pengasuhan di pondok pesantren semestinya diatur agar tidak memungkinkan terjadinya pelecehan seksual.
Berdasarkan catatan Kompas, kasus kekerasan seksual yang terjadi di Lampung bukan kali ini terjadi. Pada Juni 2022, Polres Lampung Timur juga menangkap pengasuh pondok pesantren di Lampung Timur karena mencabuli belasan santrinya.
Sebelumnya diberitakan, pemilik Pondok Pesantren Hidayatul Salafiah, AA, ditangkap polisi atas dugaan pencabulan dan persetubuhan anak di bawah umur. Penangkapan dilakukan setelah polisi menerima laporan dari salah satu orangtua korban.
Kepala Polres Tulang Bawang Barat Ajun Komisaris Besar Sunhot P Silalahi mengatakan, pelaku ditangkap pada Sabtu (31/12/2022). Saat ini, polisi masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada tersangka karena diduga masih ada santri perempuan lain yang menjadi korban pemerkosaan dan pencabulan oleh pelaku.
Ia mengungkapkan, kekerasan seksual itu terjadi di lingkungan pondok pesantren yang juga menjadi tempat tinggal pelaku. AA menggunakan modus menyuruh korban membuat teh pada malam hari saat korban selesai menjalankan ibadah shalat.
Saat korban mengantarkan teh ke rumah pelaku, AA justru melakukan tindakan keji itu terhadap para santrinya. Diduga, ada enam santri yang menjadi korban.
Salah satu korban yang mengalami kekerasan seksual tersebut lantas melaporkan kejadian itu kepada orangtuanya. Keluarga korban dengan cepat melapor ke polisi sehingga kasus ini akhirnya dapat terungkap.
Kepada polisi, pelaku juga sudah mengakui perbuatan keji yang dilakukan kepada para santrinya. Atas perbuatan itu, pelaku dijerat dengan Pasal 82 juncto Pasal 76e dan atau Pasal 81 juncto Pasal 76d Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR Lampung Ana Yunita Pratiwi mendesak polisi untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Saat ini, pihaknya juga berupaya mengadvokasi agar kasus kekerasan seksual yang dialami oleh santri pondok pesantren di Natar bisa diproses hingga ke pengadilan. Pihaknya telah mengirimkan surat berisi desakan agar polisi segera menangkap pelaku.
Ia tak ingin kasus dugaan pelecehan yang dilaporkan keluarga korban berakhir dengan perdamaian. Hal ini rentan terjadi karena pelaku dinilai memilki kekuasan. Apalagi, dari keterangan keluarga korban, mereka sudah pernah melaporkan kasus ini pada perangkat desa setempat, tetapi tidak direspons.