Wacana Pembangunan Hotel di Zona C Gedung Kebudayaan Sumbar Tuai Polemik
Wacana pembangunan hotel di Zona C kawasan Gedung Kebudayaan Sumbar menuai polemik. Alih fungsi ruang itu dinilai menghilangkan ruang bagi para seniman.
PADANG, KOMPAS — Wacana Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membangun hotel di Zona C kawasan Gedung Kebudayaan Sumbar menuai polemik. Para seniman dan budayawan menolak wacana alih fungsi ruang tersebut karena dinilai sebagai upaya menyingkirkan keberadaan mereka.
Gedung Kebudayaan Sumbar dibangun dengan APBD Sumbar sejak 2015 di kawasan Unit Pelaksana Teknis Taman Budaya di Kelurahan Belakang Tangsi, Padang Barat, Kota Padang. Gedung itu terdiri atas tiga zona, yaitu Zona A, Zona B, dan Zona C.
Zona A yang sudah selesai sekarang, antara lain, dimanfaatkan sebagai kantor Dinas Kebudayaan Sumbar. Zona B ditujukan sebagai gedung pertunjukan dan sebagainya, tetapi mangkrak dan sedang diselidiki kejaksaan. Adapun Zona C untuk teater dan pentas/ruang terbuka dan mulai dibangun fondasi.
Baca juga: Taman Budaya Sumbar Gelar Pameran Etnofotografi Lanskap Budaya Minangkabau
Pada 22 Desember lalu, Dinas Bina Marga Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) Sumbar mengundang sepuluh orang seniman dan budayawan Sumbar untuk mengikuti Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) DED Reviu Gedung Kebudayaan Sumbar. Dalam surat undangan nomor 2661/CK-BMCKTR/2022 disebutkan adanya perubahan fungsi Zona C menjadi hotel.
Budayawan Edy Utama, yang menghadiri rapat itu, kepada Kompas, Jumat (30/12/2022), mengatakan, ia menolak rencana alih fungsi Zona C itu menjadi hotel. Edy pun meminta Gubernur Sumbar Mahyeldi yang sudah menyetujui wacana itu untuk meninjau ulang dan membatalkan rencana tersebut.
”Secara pribadi, saya menolak perubahan fungsi itu jadi hotel. Ini hampir sama dengan merampok ruang publik yang sudah sangat terbatas menjadi area komersial yang nanti nasib seniman di dalamnya tidak jelas,” kata Edy.
Edy pun mengkhawatirkan alih fungsi di kawasan Taman Budaya itu akan membuat para seniman yang tumbuh dan besar di sana tenggelam. Pengalaman selama ini, ketika ruang-ruang publik yang terkait aktivitas kebudayaan berubah fungsi menjadi ruang komersial/area baru, justru terjadi penyingkiran berbagai kehidupan kreatif di sana.
Menurut Edy, Zona C rencana awalnya menjadi semacam ruang terbuka dan merupakan area penunjang dari gedung Zona A dan Zona B. Dengan adanya rencana pembangunan hotel empat tingkat dengan jumlah 108 kamar di sana, tidak ada lagi ruang terbuka bisa menjadi pendukung berbagai fasilitas di Zona A dan Zona B.
”Saya mengharapkan, supaya tidak jadi preseden buruk dalam kehidupan kebudayaan dan politik Sumbar, gubernur dengan bijak seharusnya membatalkan rencana itu,” ujar Edy.
Koreografer Ery Mefri, yang juga menghadiri rapat itu, mengatakan, kawasan Taman Budaya Sumbar sebenarnya sudah lama hendak diambil untuk kegiatan bisnis. Namun, para seniman terdahulu bersatu dan menolak, pemerintah pun mendengarkan. Sejak pembangunan Zona B, seniman tidak lagi diberi tahu dan diajak berdiskusi.
Ery melanjutkan, pembangunan fondasi Zona C yang sudah dimulai beberapa bulan terakhir menghilangkan tempat para seniman untuk berkegiatan. Padahal, di Zona C itu, seniman membuat pentas darurat bersama Taman Budaya selagi adanya pembangunan di Zona B.
Ketika Zona B mangkrak dan Zona C dibangun menjadi hotel, kata Ery, tidak ada lagi ruang bagi mereka untuk mengasah dan mengadu argumen dan kecerdasan di Taman Budaya. ”Jangankan tempat untuk mentas, tempat duduk pun hilang,” ujarnya.
Pantauan Kompas di kawasan Gedung Kebudayaan Sumbar, Jumat (30/12/2022) siang, area Zona C dipagar seng. Lokasi itu sebelumnya ruang terbuka dengan lantai susunan batu cetak dan rumput taman. Para pekerja sedang mengerjakan fondasi dan tiang gedung. Ada yang mengaduk semen, memasang bata, dan ada pula memotong dan memasang rangka besi.
Sementara itu, di bagian timur Zona C berdiri gedung Zona B empat tingkat. Kerangka utama gedung mangkrak itu sudah jadi, tetapi masih kasar, tidak berdinding dan beratap. Sejumlah bagian bangunan berlumut hitam karena berhujan-berpanas.
Baca juga: Takjub dengan Seruan dari Dalam Tubuh
Menurut Ery, di dunia, gedung-gedung pertunjukan bagus memang punya hotel dan mal. Namun, mereka tidak membunuh gedung kebudayaan. Kondisi saat ini justru seolah-olah membunuh gedung kebudayaan. Gedung Zona B mati, tinggal tonggak-tonggak saja, kemudian malah dibangun Gedung C sebagai hotel.
”Zona B tidak jalan (mangkrak), uang habis. Lalu gedung Zona C mereka bangun untuk menutup Taman Budaya dengan tidak ada gerakan seniman di situ,” kata Ery, pendiri dan pemimpin Nan Jombang Dance Company ini.
Ery melanjutkan, semestinya pemda fokus menuntaskan gedung Zona B dulu agar para seniman tetap bisa berkegiatan dan menampilkan karyanya di kawasan Taman Budaya itu. Langkah yang dilakukan pemda saat ini sama halnya dengan penyingkiran seniman secara perlahan.
”Sampah saja dibuang disediakan tempatnya nan elok. Seniman dibuang ke mana? Lebih rendah pula seniman dibanding sampah?” kata Ery.
Ditambahkan Ery, ia dan kawan-kawan sedang menghimpun dukungan untuk mengirimkan petisi kepada Pemerintah Provinsi Sumbar menolak wacana alih fungsi Zona C menjadi hotel itu.
Hentikan dulu
Sementara itu, anggota Komisi V DPRD Sumbar, Hidayat, mengatakan, dalam rapat evaluasi dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah Sumbar beberapa waktu lalu, ia mengonfirmasi rencana pemda mengalihfungsikan Zona C itu. Pemprov Sumbar melalui asisten dan Kepala Bappeda waktu itu mengakui ada rencana alih fungsi jadi hotel dan dibangun pihak ketiga atau investor.
”Saya kaget. Kapan (dilakukan) pengalihan fungsi, (padahal) desain sudah lengkap untuk Zona A, B, dan C. Kami minta stop dulu rencana tersebut sebelum ada presentasi ke DPRD Sumbar secara kelembagaan,” kata Hidayat.
Hidayat mengatakan, ia sangat kaget dan tidak menerima rencana pembangunan hotel di kawasan Taman Budaya itu. Selain karena tidak jelas skema, desain, dan sebagainya, filosofi keberadaan Taman Budaya tidak hanya soal pertunjukan, tetapi juga tempat seniman dan budayawan berdialektika dan berdiskusi soal kebudayaan dan kemanusiaan.
”Karena pembangunan Gedung Kebudayaan mangkrak, aktivitas (seniman dan budayawan) itu terhenti, tidak efektif sama sekali. Nilai rasa berkesenian dan berkebudayaan senior kami di Taman Budaya itu yang terganggu. Komunikasi ini yang tidak efektif dilakukan pemprov kepada komunitas seniman dan budayawan,” ujar politikus Partai Gerindra itu.
Baca juga: 14 Tokoh dan Komunitas di Sumbar Dapat Anugerah Kebudayaan
Hidayat pun mendukung petisi menolak pembangunan hotel di kawasan Gedung Kebudayaan itu. ”Itu harus dikembalikan rohnya lagi. Filosofi dan sejarah keberadaan Taman Budaya itu harus dikembalikan, tetapi harus dilengkapi fasilitas modern. Tugas dan fungsi pemerintah memberikan fasilitas, tidak memberangus aktivitas,” ujarnya.
Dilanjutkan Hidayat, memang ada anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membangun fondasi Zona C tahun ini. Walakin, seyogianya gedung Zona B dituntaskan dulu agar asas manfaat bisa dirasakan oleh seniman dan budayawan.
Menurut Hidayat, alasan pemprov membangun hotel dengan dana investor karena APBD tidak kuat. Hal itu dibantah karena APBD ada dan anggaran ada setiap tahun, tetapi bermasalah sehingga diusut oleh kejaksaan.
Alasan selanjutnya, kata Hidayat, adalah untuk menambah pendapatan daerah. Padahal, Sumbar sudah punya banyak BUMD yang harus dibenahi, tetapi malah tidak diurus. Hotel Balairung di Jakarta, misalnya, sudah bertahun-tahun selalu rugi.
”Ini hendak membuat hotel lagi. Siapa yang bangun? BUMD atau pihak ketiga? Bagaimana sistem dan skema kerja samanya? Tidak jelas juga. Saya curiga ini, ada apa? Apalagi di kawasan aktivitas seniman dan budayawan,” katanya.
Bukan alih fungsi
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar Medi Iswandi mengatakan, desain gedung Zona A, Zona B, dan Zona C sama. Desain kekuatan dan struktur fondasinya sama. Oleh sebab itu, ada wacana dari Dinas BMCKTR Sumbar untuk menambahkan hotel di atas desain bangunan Zona C kepada gubernur.
”Jadi, bukan beralih fungsi, tetapi menambah fungsi, menambah bangunan. Tidak menghilangkan bangunan (teater kecil dan ruang terbuka) yang direncanakan sebelumnya. Namun, ditambahkan fungsinya, ada ruangan besar/ballroom dan ditambah kamar-kamar. Saya mengakui itu salah komunikasi, tidak ada beralih fungsi,” kata Medi.
Menurut Medi, pembangunan hotel di area Zona C belum dilakukan dalam waktu dekat. Pemprov fokus dulu dalam pembangunan Zona B yang belum selesai, baru selanjutnya ke Zona C. Adapun pembangunan fondasi Zona C memang harus dikerjakan karena targetnya fondasi semua zona tuntas tahun 2022.
Wacana pembangunan hotel itu, kata Medi, terinspirasi dari Taman Ismail Marzuki di Jakarta yang juga ada hotel di sekitarnya. Dinas BMCKTR menyayangkan apabila konstruksi fondasi Zona C yang sama kuatnya dengan Zona A dan Zona B tidak dimanfaatkan.
”Tujuannya (dibangun hotel) agar ini bisa dimanfaatkan karena punya nilai ekonomis. Kalau tidak, pembiayaan gedung ini besar operasionalnya yang harus ditanggung APBD. Kalau gedung ini punya penghasilan sendiri, ada ruang hotel bisa disewakan, ruang pertemuan, bisa menyubsidi operasionalnya nanti,” ujarnya.
Baca juga: Menyigi Ulang Filosofi ”Alam Takambang Jadi Guru”
Medi melanjutkan, untuk 2023, tidak ada pembangunan untuk Gedung Kebudayaan Sumbar. Pemprov fokus menyelesaikan masalah di gedung Zona C sesuai rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan. Adapun penganggaran untuk pembangunan baru akan ada pada 2024.
”(Pembangunan) hotelnya kalau ada uang nanti. Bisa jadi tawarkan ke investor atau pemprov bangun sendiri, tetapi tergantung kondisi keuangan kami. Pokoknya selesaikan dulu Zona B dan Zona C, baru bicara wacana pembangunan hotel,” ucapnya.