Mediasi Konflik Keraton Surakarta Bergantung pada Kemauan Keluarga
Konflik yang terjadi di Keraton Surakarta dianggap sebagai permasalahan keluarga. Penyelesaian masalah melalui jalur kekeluargaan dikedepankan jajaran penegak hukum.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Konflik yang terjadi pada Keraton Surakarta dianggap sebagai permasalahan keluarga. Penyelesaian masalah melalui jalur kekeluargaan dikedepankan jajaran penegak hukum. Aparat kepolisian juga siap memediasi pihak yang berseteru. Namun, mediasi hanya bisa dilaksanakan jika setiap kubu menghendakinya.
Konflik di antara kerabat keraton tersebut memanas sejak 17 Desember 2022. Bermula dari aksi dugaan pencurian yang terjadi di dalam lingkup kerajaan, eskalasi meningkat sewaktu terjadi bentrok antarkubu yang berselisih hingga mengakibatkan sejumlah orang terluka dari pihak masing-masing.
Adapun pihak yang berkonflik adalah penguasa keraton, yakni Raja Keraton Surakarta Pakubuwono XIII, dan Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta yang diketuai adik sang raja, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari atau Gusti Moeng.
”Apa yang terjadi di keraton adalah konflik internal. Kami tidak akan ikut campur dalam konflik internal. Kehadiran kami sesuai tugas pokok dan fungsi kami, yaitu kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Kami sesuai dengan kapasitas,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta Komisaris Besar Iwan Saktiadi di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/12/2022).
Iwan mengungkapkan, pihak kepolisian tidak memihak satu sama lain. Sempat beredar isu ada penodongan terhadap kerabat keraton dari kubu Gusti Moeng. Namun, kabar itu ditampik kepolisian.
Anggota kepolisian yang berada di lokasi pada saat terjadi bentrok dua kubu justru tengah berusaha melerai. Setiap anggota yang bertugas juga berdasarkan permintaan dari keraton. Tidak ada petugas ilegal.
Kami ingin mengedepankan restorative justice. Itu adalah yang utama.
Lebih lanjut Iwan mengatakan, pihaknya mendorong dilakukan mediasi. Akan tetapi, rencana tersebut seakan sulit diwujudkan. Seolah tidak ada kemauan dari setiap pihak untuk menempuh jalur tersebut.
”Dari pihak internal memang mungkin tidak mau mediasi. Kalau memang mau mediasi, ya, kami mediasi. Kami ingin mengedepankan restorative justice. Itu adalah yang utama,” ujar Iwan.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menyampaikan hal serupa. Ia tak menginginkan konflik tersebut berlangsung lama. Hendaknya kubu yang berseteru mau duduk bersama mencari jalan keluar atas persoalan yang ada.
”Saya berharap, ayo dong ada inisiator dari keluarga keraton untuk duduk bersama, dirembuk bareng, karena ini problem keluarga. Kalau ditarik-tarik keluar dan melibatkan orang-orang luar, pasti akan jauh lebih lama urusannya,” kata Ganjar.
Dihubungi secara terpisah, Gusti Moeng mengaku terbuka untuk melaksanakan mediasi. Pihaknya justru ingin segera bisa bertemu dengan Pakubuwono XIII. Pertemuan tersebut diyakininya mampu menuntaskan persoalan yang ada. Ia merasa seolah ada pihak-pihak yang menghalanginya untuk bertemu dengan sang kakak.
”Sebetulnya kalau bisa malah segera bertemu Sinuwun (Pakubuwono XIII). Itu malah segera selesai. Saya tidak menutup ruang sama sekali untuk mediasi. Saya itu selalu mau ketemu dengan Sinuwun. Tetapi, ada yang bilang kalau Sinuwun tidak mau,” kata Gusti Moeng.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Kanjeng Raden Aryo Dani Nur Adiningrat mengatakan, konflik yang terjadi bukan konflik keluarga. Memang, pihak yang berselisih terikat hubungan kekerabatan, tetapi ia enggan menyebut permasalahan tersebut sebagai persoalan internal. Sejatinya, perjanjian perdamaian antarkedua kubu yang kini tengah berseteru juga telah disepakati pada 2017.
Dalam perjanjian tersebut, lanjut Dani, terdapat kesepakatan bahwa kubu Gusti Moeng tidak lagi diizinkan beraktivitas di lingkungan keraton. Pasalnya, mereka dianggap telah mengusik kedaulatan Pakubuwono XIII selaku pemimpin sah Keraton Surakarta. Untuk itu, menurut dia, tindakan Gusti Moeng dan kubunya yang kembali memasuki keraton justru melanggar perjanjian perdamaian yang telah disepakati sebelumnya.
”Sudah ada perjanjian damai di tahun 2017. Kalau mau beritikad baik, laksanakan itu. Di sana telah diakui ’kubu sebelah’ menguasai keraton. Itu merongrong kewibawaan Sinuwun,” kata Dani, yang berada pada kubu Pakubowono XIII.