Patroli Aparat Terhambat Anggaran, Kapal Ikan Vietnam Marak di Natuna
Akibat kehabisan anggaran operasi di akhir tahun, Bakamla dan PSDKP tak mampu menggelar patroli untuk menindak kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Enam kapal ikan Vietnam diduga menangkap ikan secara ilegal di zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia, Laut Natuna Utara, pada 27 Desember 2022. Ini terjadi hanya lima hari setelah Indonesia dan Vietnam menyepakati batas ZEE. Ironisnya, aparat tak mampu melakukan penindakan karena kehabisan anggaran operasi.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Kamis (29/12/2022), mengatakan, kehadiran enam kapal ikan Vietnam itu terjadi di perairan yang hanya berjarak sekitar 20 mil laut atau 37,04 kilometer (km) dari Pulau Laut yang merupakan pulau terluar di Natuna. Peristiwa itu direkam dalam bentuk video oleh nelayan setempat.
”Kapal-kapal ikan Vietnam yang terlihat dalam video itu berukuran 80-100 gros ton (gt). Ada enam kapal yang beroperasi secara berpasangan untuk menangkap ikan dengan pukat harimau,” kata Hendri saat dihubungi dari Batam.
Dihubungi secara terpisah, peneliti dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso, mengatakan, sinyal perangkat identifikasi otomatis (automatic identification system/AIS) kapal ikan Vietnam terpantau di sekitar perairan Pulau Laut pada 25 Desember. Namun, sinyal AIS itu hilang pada hari berikutnya.
Imam menuturkan, kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated/IUU fishing) biasanya memang mematikan AIS di waktu tertentu untuk mengelabui pihak-pihak yang memantau pergerakan mereka. Kapal-kapal ikan yang mematikan AIS itu sering disebut sebagai dark vessels.
Peristiwa 27 Desember itu adalah lokasi kapal ikan Vietnam terpantau paling jauh masuk ke ZEE Indonesia, yakni di perairan yang hanya berjarak 37,04 km dari Pulau Laut. Sebelumnya, lokasi terpantaunya kapal ikan Vietnam yang paling dekat berada di perairan yang berjarak 77,8 kilometer dari Pulau Laut.
Hendri mengatakan, kapal-kapal ikan Vietnam memang lebih marak melakukan IUU fishing pada musim ombak tinggi sepanjang Oktober-Februari. Pada periode itu, mereka memanfaatkan kekosongan patroli aparat untuk beroperasi jauh lebih dalam ke Laut Natuna Utara.
”Kalau aparat Indonesia tidak segera bertindak, (kapal ikan asing), ini pasti akan semakin merajalela di Natuna. Akhir tahun, saat cuaca buruk dan ombak tinggi, adalah kesempatan kapal ikan asing untuk menangkap ikan secara ilegal di Natuna,” ucap Hendri.
Menanggapi hal itu, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Pung Nugroho Saksono menyatakan baru bisa menggerakkan kapal pengawas perikanan ke Laut Natuna Utara pada Januari. Saat ini, anggaran PSDKP untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) sudah habis.
”Awal Januari kami baru ada BBM. (Nanti) langsung kami sikat,” ucapnya lewat pesan tertulis.
Persoalan anggaran itu sebenarnya telah diungkap Pung sejak akhir April 2022. Saat itu, ia mengatakan, PSDKP mengalami kendala untuk menggelar patroli laut secara optimal di tengah harga BBM yang melambung. Menurut dia, PSDKP hanya diberi anggaran untuk membeli BBM dengan harga Rp 11.500 per liter.
Awal Januari kami baru ada BBM.
Padahal, kini PSDKP harus membeli BBM jenis Pertamina Dex dengan harga Rp 21.500 per liter. Harga itu adalah harga dasar Pertamina Dex ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Kepala Bagian Humas dan Protokol Badan Keamanan Laut (Bakamla) Kolonel Wisnu Pramandita mengatakan, anggaran operasi Bakamla juga habis. Oleh karena itu, untuk sementara kapal patroli Bakamla yang biasa bersiaga di Natuna saat ini berlabuh di Batam.
Anggaran operasi Bakamla lebih kurang Rp 370 miliar pada 2022. Menurut Wisnu, nilai itu jauh dari ideal karena sebenarnya Bakamla butuh anggaran operasi sekitar Rp 1 triliun per tahun.