Sejumlah Kawasan Hulu dan DAS di Pulau Timor Tidak Lagi Berfungsi
Sejumlah kawasan hulu sungai dan daerah aliran sungai di Timor barat dirusak sehingga terjadi banjir dan longsor. Pembangunan perlu perhatikan daya dukung lingkungan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
DOKUMEN BPBD NTT
Ratusan rumah warga di Kelurahan Pariti, Kabupaten Kupang, NTT, terendam banjir 24-25 Desember 2022. Banjir terjadi diduga akibat penambangan galian C di wilayah hulu oleh lima perusahaan di sana. Bahan galian C ini untuk kepentingan pembangunan di Kota dan Kabupaten Kupang. Izin tambang galian c perlu mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah kawasan hulu sungai dan daerah aliran sungai di Pulau Timor bagian barat, Nusa Tenggara Timur, sudah tidak berfungsi akibat masifnya penambangan galian C, pembangunan jalan, dan alih fungsi lahan. Kawasan itu mudah terjadi banjir dan longsor seperti di Kabupaten Kupang. Setiap pembangunan sebaiknya diawali dengan kajian lingkungan yang memadai.
Kepala Devisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Deddy Febrianto di Kupang, Selasa (27/12/2022), mengatakan, banjir di Kecamatan Takari, Sulamu, dan Pariti, ketiganya di Kabupaten Kupang. Bencana itu baru terjadi tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya, kawasan itu tidak terjadi banjir.
Sejumlah kawasan hulu sungai dan daerah aliran sungai atau DAS di Pulau Timor barat tidak lagi berfungsi menjaga keutuhan ekosistem yang ada. Hal itu terjadi karena izin penggalian golongan C berupa batu dan pasir yang diberikan secara masif untuk mengejar PAD daerah di Timor barat, khususnya di Kabupaten Kupang, berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar.
Salah satu fungsi DAS, yakni menjaga agar aliran air tidak terjadi dengan cepat dari hulu ke hilir. DAS berperan menyerap air melalui fungsi vegetasi yang ada. Ketika DAS dirusak, ancaman bencana sulit dihindarkan. Korban dari perusakan DAS dan hulu sungai itu adalah masyarakat yang diam di sekitar dan di dalam kawasan DAS.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Tanaamah Paringgi (kacamata kedua dari kanan) bersama staf Walhi NTT dalam pertemuan daerah tentang lingkungan hidup Walhi NTT XVIII, 23-24 September 2021.
Banjir yang dialami masyarakat di Kecamatan Takari, Sulamu, dan Pariti, misalnya, bukti dari kesewenang-wenangan terhadap lingkungan tadi. Pemerintah sering berpikir bahwa bencana itu kekuatan alam, tidak bisa dihindari. Padahal, bencana hidrometeorologi datang selalu ada kaitan dengan ulah manusia, yakni merusak lingkungan sekitar.
”Biasanya setelah bencana, pemerintahturun melihat situasi, berdialog dengan korban bencana, dan menyerahkan bantuan darurat terbatas,” katanya.
”Tidak ada gerakan massal bagaimana memperbaiki kawasan hulu yang telah rusak akibat penambangan dan penggundulan hutan dan berdampak pada bencana itu. Banjir dan longsor itu ada kaitan dengan daya dukung lingkungan,” katanya.
Dampak dari bencana banjir di Kabupaten Kupang jauh lebih buruk ketimbang keuntungan yang diperoleh masyarakat dari kebijakan memberi izin tambang galian C, pembangunan jalan, dan pembangunan permukiman warga.
Pengerukan pasir dan batu di wilayah hulu dan DAS dengan alat berat belakangan ini semakin memprihatinkan. Bahan galian C ini dimanfaatkan untuk pembangunan di Kota dan Kabupaten Kupang.
Aktivitas pertambangan ini sedikitnya dilakukan oleh lima perusahaan di wilayah hulu dan kawasan DAS. Kegiatan penambangan berlangsung sejak lima tahun terakhir. Akibat penambangan itu, daya dukung lingkungan sekitar makin terbatas sehingga mudah terjadi bencana banjir dan longsor.
Kepala BPBD NTT Ambrosius Kodo menyerahkan bantuan darurat simbolis kepada Camat Sulamu, Minggu (25/12/2022). Sebanyak 500 kilogram beras diserahkan provinsi ke Kecamatan Takari dan Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang.
Pemerintah selalu melihat pembangunan itu dari sisi ekonomi hari ini, yang langsung didapatkan. Upaya meningkatkan PAD sering berdampak pada masalah lingkungan, tetapikurang mempertimbangkan dampak dari kegiatan penambangan itu.
Selama musim kemarau pun wilayah itu sering dilanda kekeringan ekstrem, ditandai gagal panen, gizi buruk, dan tingginya angka stunting. Bencana silih berganti menimpa warga, setiap musim hujan dan musim kemarau hadir. Butuh satu kebijakan yang menaruh kepedulian terhadap lingkungan hidup sekaligus ekonomi.
Deddy menilai, selama ini pembangunan di NTT, termasuk di Pulau Timor bagian barat, belum mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang ada. Hampir 60 persen kawasan Timor barat gersang dan tandus saat musim kemarau. Pada musim hujan, wilayah yang sama dilanda bencana hidrometeorologi.
Terkait bencana banjir di Kabupaten Kupang, belum ada indikasi dengan galian C di sana. Perlu ada penelusuran lebih jauh. (Yusuf Adoe)
Awal kepemimpinan Gubernur Viktor-Joseph, dideklarasikan moratorium pertambangan di NTT. Itu berarti kegiatan pertambangan jenis apa pun dilarang, termasuk material galian C. Namun, dalam praktiknya, kegiatan penambangan galian C tetap jalan. Penebangan hutan di sejumlah kawasan pun marak dilakukan masyarakat.
Jembatan Kapsali yang menghubungkan Oepoli, Kecamatan Amfoang Timur, dengan Oelamasi, berjarak sekitar 180 kilometer, nyaris putus, Minggu (25/12/2022). Jembatan ini tidak bisa dilalui kendaraan sama sekali sehingga harus dibangun jalan alternatif, membantu mobilisasi warga dan barang dari dan ke Oelamasi atau sebaliknya.
Bahkan kawasan cagar alam Gunung Mutis, dengan berbagai jenis kayu di dalamnya, ditebang oknum warga, tanpa ada yang peduli. Ribuan kubik kayu lokal berbagai jenis, yang telah diolah,diangkut ke Kupang untuk dijual.
Mengorbankan lingkungan
Konsep pembangunan ekonomi yang kuat dan masif selalu mengorbankan lingkungan. Bahkan, lingkungan hidup di NTT dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir tidak tersentuh sama sekali. Tidak ada aksi massal reboisasi dan penghijauan di lahan-lahan kritis, kawasan DAS, bantaran sungai, kawasan bendungan, dan sumber-sumber mata air.
”Kurang peduli lingkungan, maka aksi pembakaran lahan selama musim kemarau pun diabaikan. Aksi pembakaran lahan di NTT cukup masif, melebihi provinsi tetangga, NTB dan Bali,” kata Deddy.
Selain tambang, pembangunan jalan, dan permukiman warga di kawasan hulu dan DAS pun memperburuk lingkungan sekitar. Sebagian kawasan hulu sungai dan DAS sering diklaim sebagai hak milik perorangan, kemudian dijual ke pengembang untuk pembangunan permukiman, tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan yang ada.
Kepala BPBD NTT Ambrosius Kodo menyapa korban banjir di lokasi pengungsian sementara di Sulamu, Kabupaten Kupang, Minggu (25/12/2022).
Untuk itu, dia meminta agar setiap kebijakan pembangunan, termasuk izin usaha pertambangan, diawali kajian secara menyeluruh. Jangan abaikan masalah lingkungan hidup. Keuntungan sesaat dari pertambangan, tetapi kerusakan lingkungan berdampak lebih buruk dan menghasilkan bencana berkelanjutan jika tidak segera ditangani.
Kepala BPBD Kabupaten Kupang Jimy Didoek mengatakan, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2021, seluruh perizinan tambang adalah kewenangan provinsi. Ketika ada laporan terhadap aktivitas tambang, pemerintah kabupaten melakukan koordinasi dengan provinsi. Izin usaha tambang yang ada di wilayah Kabupaten Kupang dari provinsi.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTT Yusuf Adoe mengatakan, pemerintah daerah terus melakukan pengawasan terhadap setiap perusahaan yang melakukan kegiatan di lapangan. Selain itu, perusahaan juga membuat laporan rutin mengenai aktivitas mereka.
”Terkait bencana banjir di Kabupaten Kupang, belum ada indikasi dengan galian C di sana. Perlu ada penelusuran lebih jauh,” ujarnya.