Sungai Payau dan Gunung Mesangat, ”Rumah Bebas” Lima Orangutan di Kaltim
Sepanjang tahun 2022, lima orangutan Kalimantan dilepasliarkan di Hutan Sungai Payau dan Hutan Lindung Gunung Mesangat di Kalimantan Timur. Sebelum dilepasliarkan, para orangutan itu menjalani sejumlah tahapan persiapan.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Sepanjang tahun 2022, masih banyak orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) yang tidak hidup di habitatnya lantaran ulah manusia. Sejumlah orangutan itu dikembalikan ke Kalimantan Timur untuk direhabilitasi. Lima di antaranya telah dilepasliarkan di Hutan Sungai Payau dan Hutan Lindung Gunung Mesangat.
Beberapa tahun sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama sejumlah aparat menyita lima orangutan. Kelimanya disita dari warga hingga kebun binatang yang izin dan pengelolaannya bermasalah di Kaltim dan Jawa Tengah. Lima ”pongo” itu kemudian diboyong ke Kaltim untuk direhabilitasi.
Kelimanya dirawat di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA), pusat rehabilitasi orangutan di Kabupaten Berau, Kaltim. BORA dikelola oleh Centre for Orangutan Protection (COP), organisasi nirlaba yang juga mitra pemerintah dalam merehabilitasi orangutan.
Orangutan yang diberi nama Nigel (17), Hercules (20), dan Antak (15) disita dari warga yang memelihara secara ilegal di Kaltim. Adapun orangutan Ucokwati (18) disita dari sebuah taman satwa bermasalah di Jawa Tengah. Saat menjalani masa rehabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa Yogyakarta, Ucokwati melahirkan satu anak betina yang diberi nama Mungil (8).
Hasil tes DNA menunjukkan, Ucokwati dan Mungil adalah spesies orangutan Kalimantan. Keduanya kemudian ditranslokasikan ke Kaltim oleh KLHK. Direktur COP Daniek Hendarto mengatakan, karena sudah terbiasa hidup di sekitar manusia, kelima orangutan tersebut tak bisa serta-merta dilepasliarkan ke hutan.
Sebab, mereka sudah tak lagi liar lantaran setiap hari diberi makan manusia, hidup di kandang yang lingkupnya sempit, serta tercerabut dari hutan sebagai habitat alaminya. Di BORA, para orangutan dikarantina dan dilatih hidup mandiri di alam.
”Di tahun 2022, COP bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dan Dinas Kehutanan Kaltim melepasliarkan kelima individu orangutan itu di kawasan Hutan Sungai Payau dan Hutan Lindung Gunung Mesangat, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur,” ujar Daniek, Senin (26/12/2022).
Hercules, Antak, Ucokwati, dan Mungil dilepasliarkan di Hutan Lindung Gunung Mesangat pada Oktober 2022. Hutan ini beberapa kali menjadi tempat pelepasliaran lantaran dinilai masih alami dan sesuai dengan kebutuhan hidup orangutan.
Adapun Nigel dilepasliarkan pada Juni 2022 di Hutan Sungai Payau, tempat pelepasliaran orangutan yang paling anyar di Kaltim. Daniek mengatakan, Hutan Sungai Payau disurvei dan diobservasi sekitar 2,5 tahun sebelum ditetapkan sebagai tempat pelepasliaran orangutan.
Pada April 2021, tim COP bersama BKSDA Kaltim, masyarakat Busang, dan beberapa elemen lain menyurvei Hutan Sungai Payau yang terletak di Desa Long Lees, Kecamatan Busang. Hutan itu dinilai memiliki tutupan pohon alami yang baik dan ketersediaan pakan alami yang cukup bagi orangutan.
Hasil survei menunjukkan, terdapat 72 jenis pohon dari 27 famili di Hutan Sungai Payau. Sebanyak 54 jenis di antaranya merupakan pohon pakan orangutan. Adapun 37 jenis pohon berpotensi sebagai pohon sarang orangutan.
”Kerapatan vegetasi pohon juga termasuk tinggi dengan 263,7 pohon per hektar. Ancaman perburuan termasuk rendah karena lokasi kawasan ini sulit untuk diakses dan masyarakat berburu babi hanya terbatas saat pesta adat,” ujar Daniek.
Kepala BKSDA Kalimantan Timur Matheas Ari Wibawanto mengatakan, timnya dan COP juga melibatkan warga untuk memonitor orangutan tersebut selama enam bulan setelah pelapasliaran. Hal itu bertujuan untuk memastikan orangutan aman di tempat baru dan terhindar dari perburuan atau perusakan hutan.
Ia menuturkan, pelepasliaran orangutan amat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Sebab, sebagai umbrella species, keberadaan orangutan turut menyokong keberlangsungan spesies makhluk lain. Umbrella species adalah spesies yang menjadi pendukung keberhasilan upaya konservasi spesies lain.
Ari mencontohkan, sisa kotoran dan sisa makanan orangutan berpotensi menjadi tumbuhan di hutan. Melalui daya jelajah yang luas, sisa biji tumbuhan itu bisa dibuang oleh orangutan di tempat yang jauh dari pohonnya, kemudian tumbuh secara alami.
”Hutan alami ini berfungsi sebagai daya dukung lingkungan, penyerap air, dan penyedia oksigen. Itu semua bermanfaat bagi manusia,” ujar Ari.
Tahapan rehabilitasi
Daniek memaparkan, sebelum dilepasliarkan, orangutan sitaan mula-mula menjalani karantina. Pada tahap tersebut, orangutan dites kesehatannya dan diajarkan beradaptasi terhadap makanan di pusat rehabilitasi baru.
Pada masa karantina pun para ”pongo” diobservasi rutin oleh tim medis dan staf biologi. Tujuannya, untuk mengetahui apakah ada penyimpangan tertentu dari perilaku orangutan. Tes medis dimulai dari pemeriksaan fisik, cek darah, kotoran, urine, dahak, hingga foto x-ray untuk mengetahui detail kondisi orangutan.
Orangutan sehat akan menjalani tahap rehabilitasi selanjutnya. Namun, jika memiliki luka atau penyakit, satwa akan menjalani serangkaian perawatan hingga dinyatakan sehat oleh tim medis.
Hasil survei menunjukkan, terdapat 72 jenis pohon dari 27 famili di Hutan Sungai Payau.
Setelah karantina, orangutan berumur kurang dari tujuh tahun akan menjalani masa sekolah hutan. Di tahap ini, orangutan akan diajarkan mengenali hutan sebagai habitat aslinya yang amat berbeda dengan habitat mereka sebelumnya saat berada di kandang.
Tujuan sekolah hutan untuk mengembalikan insting alami orangutan. Rata-rata orangutan menjalani tahapan ini selama 4-5 tahun. Mereka yang dinilai sudah bisa beradaptasi dengan hutan akan memasuki tahap selanjutnya, yakni pra-pelepasliaran.
Sebelum dilepasliarkan, orangutan ditempatkan di pulau terisolasi yang dikelilingi sungai. Di sana, orangutan diamati dan dilatih untuk belajar hidup mandiri tanpa bergantung pada manusia. Orangutan akan diawasi dari jauh untuk menilai kemampuan bertahan hidup mengandalkan segala sumber yang ada di pulau tersebut.
Tim rehabilitasi kemudian melakukan penilaian akhir bagi para orangutan tersebut. Hanya orangutan yang dinyatakan benar-benar layak dan mampu bertahan di alam secara mandiri yang dilepasliarkan.