Industri Karet Nasional Hadapi Tekanan Berat di 2023, Serapan Dalam Negeri Perlu Ditingkatkan
Tahun 2023 akan menjadi tahun berat bagi industri karet. Permintaan tertekan akibat melambatnya industri otomotif yang disebabkan resesi dunia. Mitigasi harus disiapkan untuk menyelamatkan industri karet nasional.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Industri karet nasional akan menghadapi tantangan cukup berat pada 2023 akibat volume ekspor yang menurun, harga karet petani yang anjlok, produksi yang terpuruk, dan persaingan industri ban yang kian ketat. Pemerintah, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lain didorong untuk menyiapkan mitigasi terutama dengan meningkatkan penyerapan dalam negeri.
Ketua Dewan Karet Indonesia A Aziz Pane, kepada Kompas, Senin (26/12/2022), mengatakan, industri karet harus dipandang sebagai industri strategis karena merupakan salah satu komoditas ekspor andalan nasional. Indonesia mempunyai 3,6 juta hektar kebun karet dan masih berpeluang untuk dikembangkan.
”Dan yang paling penting, ada 2,9 juta petani karet di Indonesia yang sumber ekonomi keluarganya terutama berasal dari kebun karet. Industri ban dan pabrik karet remah juga menyerap tenaga kerja yang banyak. Karena itu, menyelamatkan industri karet nasional sangat penting,” kata Aziz.
Aziz mengatakan, tantangan utama industri karet nasional adalah melemahnya permintaan karet di pasar dunia yang sebanyak 75 persen diserap oleh industri ban kendaraan. Pembelian bahan baku oleh pabrik-pabrik ban di banyak negara masih menunjukkan penurunan khususnya negara tujuan ekspor utama seperti Jepang, Amerika Serikat, Eropa, dan China.
Resesi ekonomi dunia yang diperkirakan terjadi pada 2023 masih akan menekan industri otomotif yang pada akhirnya menurunkan permintaan karet remah. Selain itu, Indonesia juga mengekspor ban untuk original equipment (OE/kebutuhan untuk mobil baru).
Setelah terpuruk akibat Covid-19, kata Aziz, ekspor ban dari Indonesia sempat membaik pada semester I-2022. Namun, ekspor ban kembali menurun pada semester II. ”Ekspor ban ke Amerika Serikat dan Eropa menurun hingga 50 persen karena inflasi yang meroket di negara tersebut. Industri otomotif terpuruk di negara itu,” katanya.
Selain itu, ekspor ban ke Jepang juga menurun karena laju produksi mobil tersendat pasokan semikonduktor yang terhambat. Menurut Aziz, penurunan ekspor ban dari Indonesia juga disebabkan ekspansi pabrik ban dari China di Thailand maupun di China sendiri. Mereka menghasilkan ban yang jauh lebih murah karena bisa menekan biaya logistik dan produksi.
Aziz menyebut, industri ban sangat bergantung pada pasar ekspor karena 70 persen produksinya dijual di pasar dunia, hanya sekitar 30 persen yang dapat terserap pasar domestik. ”Sepanjang 2022, diperkirakan volume ekspor ban Indonesia menurun 30 persen,” katanya.
Menurut Aziz, penurunan penjualan ban di dalam negeri menurun hingga 20 persen setelah kenaikan harga bahan bakar minyak. Industri ban perlu melakukan berbagai persiapan menghadapi penurunan penjualan di tahun depan.
Pasar dalam negeri bisa diselamatkan dengan memaksimalkan potensi pasar ban sepeda motor yang sangat besar. Untuk pasar luar negeri, Indonesia harus meningkatkan daya saing untuk berhadapan dengan ekspansi pabrik ban dari China dan menurunnya permintaan dunia.
Untuk bertahan di tengah ketidakpastian pasar karet di 2023, kata Aziz, pemerintah, pelaku industri, dan semua pemangku kepentingan harus menyiapkan mitigasi khususnya dengan meningkatkan serapan karet di dalam negeri.
Ekspor ban ke Amerika Serikat dan Eropa menurun hingga 50 persen karena inflasi yang meroket di negara tersebut.
Selain untuk industri ban, ada banyak produk lain yang berpotensi menyerap karet alam dalam jumlah besar seperti sarung tangan karet, bantalan karet dermaga, karet peredam gempa untuk bangunan atau jembatan, bahan campuran aspal, hingga keset kaki.
Produk-produk itu masih banyak diimpor dalam bentuk jadi dari luar negeri. Dengan pembatasan impor, produk-produk turunan karet diyakini akan berkembang di dalam negeri.
Menyelamatkan petani
Tantangan terbesar industri karet nasional di tahun 2023 tidak hanya akan terjadi di sektor hilir. Persoalan di hilir dipastikan merembet ke hulu, yakni harga getah karet di tingkat petani yang bisa menurun drastis hingga menyentuh harga tidak wajar yang tidak mencukupi untuk menghidupi petani.
Aziz mendorong agar industri hilir sebagai ”lokomotif penarik gerbong” bisa memberikan harga yang lebih adil bagi petani dengan didukung regulasi dan kebijakan dari pemerintah. Di awal tahun 2022, harga karet petani masih Rp 11.000, lalu anjlok mendekati Rp 6.000 di akhir tahun ini.
Gairah petani menyadap karet menurun. Petani tetap menyadap karetnya karena tidak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagian kebun karet dibiarkan telantar karena harga tidak cukup membayar tenaga kerja untuk menyadap semua kebun. Petani hanya menyadap semampu mereka.
”Sinergi, kolaborasi, dan komitmen menjadi kunci menanggulangi keterpurukan karet alam di Tanah Air,” katanya.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah mengatakan, tantangan industri karet yang semakin berat mulai tergambar dari penurunan volume ekspor karet dari Sumut dalam beberapa bulan terakhir ini. Untuk pengapalan karet remah pada November hanya mencapai 20.237 ton atau menurun 17,5 persen dari Oktober yang masih 24.537 ton. Pada September, ekspor karet Sumut pun masih 28.978 ton.
”Volume ekspor karet remah Sumut pada November juga jauh dari volume rata-rata, yakni 38.000 sampai 40.000 ton per bulan,” kata Edy.
Penyumbang penurunan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat yang turun 55,5 persen dan Brasil turun 30,3 persen dibandingkan Oktober. Faktor penyebab lain adalah pembeli beralih ke negara yang biaya logistiknya lebih kompetitif, yakni Thailand dan Vietnam.
Sungkunen Tarigan, Ketua Kelompok Tani Mbuah Page di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Sumut, mengatakan, di awal 2022 gairah petani sempat meningkat karena harga sempat menyentuh Rp 11.000 per kilogram.
”Kebun karet yang sudah sempat terbengkalai sudah mulai disadap lagi. Namun, harga yang terpuruk dalam beberapa bulan terakhir ini membuat petani menjadi lesu lagi,” kata Sungkunen.
Sungkunen berharap harga di tingkat petani bisa meningkat lagi minimal di Rp 10.000 per kilogram. Menurut dia, harga itu harga minimal agar karet dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Jika tidak, petani akan meninggalkan kebun karet dan beralih ke tanaman lain atau menjadi buruh bangunan untuk sementara waktu.