Transportasi Sungai, Nadi Angkutan di Sumatera Selatan
Keberadaan moda transportasi sungai masih menjadi andalan bagi masyarakat yang hidup di kawasan perairan Sungai Musi. Lalu lintas sungai pun seakan tidak pernah sepi. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun.
Moda transportasi sungai masih menjadi andalan masyarakat yang hidup di kawasan perairan Sungai Musi di Sumatera Selatan. Lalu lintas sungai tidak pernah sepi dari ratusan perahu yang berlalu-lalang. Keberadaan moda transportasi itu terus dipelihara berintegrasi dengan transportasi darat.
Ujang Ciping (60) warga Karang Anyar, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan tengah bersantai di dalam perahu cepatnya di tepian Sungai Musi, Kamis (22/12/2022). Kala itu, dia sedang menunggu penumpang di dermaga kapal Pasar 16 Ilir Palembang. Tidak hanya Ujang, puluhan kapal lain pun bersandar di tempat yang sama untuk mencari penumpang.
Sesekali ia memeriksa mesin kapal sebagai persiapan sebelum berlayar. Kapal berkapasitas mesin 40 PK itu maksimal mengangkut sembilan orang penumpang. "Jika kapal sudah penuh, kita bisa langsung berangkat," ucap Ujang. Untuk setiap penumpang, Ujang mematok tarif Rp 70.000 per orang.
Dalam sehari, ia melakukan perjalanan selama dua kali yakni dari Karang Anyar menuju ke Palembang dan arah sebaliknya. Sekali perjalanan membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan.
Kebanyakan pelanggannya adalah warga yang tinggal di kawasan Karang Anyar ataupun daerah lain yang dilewati rute kapal. Mereka akan berhenti di dermaga kecil yang memang disediakan untuk bersandar kapal di sepanjang rute.
Baca juga : Harapan Pupus di Ayunan Gelombang Sungai Musi
Usaha itu membuat Ujang bisa memperoleh pendapatan hingga Rp 200.000 per hari. Penghasilan itulah yang ia andalkan untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. "Hanya saja, tidak ada satupun anak saya yang menjadi serang," ujarnya sembari tersenyum.
Ari (25) kenek kapal cepat lain juga tengah menunggu penumpang. Ia menggunakan kapal cepat dengan kapasitas yang lebih besar yakni 200 PK. Jumlah penumpang yang diangkut pun cukup banyak yakni mencapai 30 orang.
Untuk satu orang, ia mematok tarif Rp 130.000 menuju ke Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam. Tidak hanya itu, kapal cepat tersebut juga mengangkut barang yang lebih besar seperti kulkas, televisi, bahkan motor. "Tentu dengan ongkos tambahan berkisar Rp 100.000-Rp 300.000 tergantung dengan besarnya barang," ucap Ari.
Menurut Ari, masih banyak warga yang mengandalkan moda transportasi sungai terutama mereka yang tinggal di kawasan perairan, "Alasannya karena memang tempat tinggalnya belum terhubung jalan darat atau kalaupun ada jalan darat, kondisinya rusak," ucap dia.
Alasan inilah yang menjadi penyebab Fisri (42) Warga Muara Sugihan, Banyuasin memilih untuk menggunakan kapal cepat. Ia menggunakan jasa angkutan kapal saat ingin mengunjungi anaknya yang sedang menempuh pendidikan di sebuah pesantren di Kabupaten Ogan Ilir. "Dari kapal saya mampir dulu di Palembang kemudian berlanjut menggunakan jalur darat sekitar 2 jam perjalanan lagi," ujarnya.
Pria yang bekerja sebagai petani ini lebih memilih menggunakan kapal cepat karena akses darat dari tempatnya tinggal sampai ke Palembang sangat buruk. "Jika hujan jalannya becek dan sulit dilalui," ucapnya.
"Kalau naik travel, perjalanan membutuhkan waktu sampai tujuh jam. Berbeda jika naik kapal cepat, waktu tempuh hanya sekitar tiga jam untuk sampai ke Palembang," kata Fisri. Karena itu, menurutnya, menggunakan kapal cepat merupakan pilihan paling efektif.
Kalau naik travel, perjalanan membutuhkan waktu tujuh jam. Berbeda jika naik kapal cepat, waktu tempuh hanya sekitar tiga jam untuk sampai ke Palembang
Tidak hanya kapal berpenumpang, di dermaga yang sama, juga terdapat puluhan kapal jukung, kapal berkapasitas 60 ton yang bersandar. Kapal itu mengangkut sejumlah kebutuhan pokok bagi masyarakat perairan. Mereka mengangkut barang dari Pasar 16 Ilir ke sejumlah kawasan di Banyuasin dan Ogan Komering Ilir.
Fauzi kenek kapal jukung menunggu para buruh panggul mengangkut barang dari Pasar 16 Ilir ke kapal jukung. Mereka menggunakan papan sepanjang 1 meter-2 meter sebagai akses dari darat menuju kapal jukung. Kapal berkapasitas 60 ton itu mengangkut beragam barang seperti beras, mi, semen, galon, dan beragam barang lainnya untuk diangkut ke kawasan perairan.
Butuh waktu pelayaran hingga empat hari untuk bisa menyalurkan barang ke dermaga-dermaga kecil yang mereka lewati. Jika akses ke lokasi tujuan kecil, tentu barang tersebut akan dipindahkan ke kapal yang lebih kecil.
Baca juga : Berjibaku Merawat Anak-anak Sungai Musi di Palembang
Peneliti Badan Riset dan Investasi Nasional (BRIN) Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim dan Budaya Berkelanjutan, Aryandini Novita menjelaskan penggunaan angkutan sungai di Sumatera Selatan sudah berlangsung sejak lama.
Warga bahkan menguasai teknologi angkutan saat itu. Di masa Kedatuan Sriwijaya misalnya, sudah ada kapal yang bisa digunakan di sungai dan laut yang dinamakan perahu kajang.
Mereka juga memiliki kemampuan terkait navigasi dan kelautan. Hal inilah yang membuat Kedatuan Sriwijaya menguasai maritim di kawasan Asia Tenggara. Pengetahuan ini berlanjut hingga sekarang. Di kawasan Kayu Agung masih ada perajin yang bisa membuat perahu kajang.
Namun, sejak masa kolonial, penggunaan perahu semakin berkurang beralih ke transportasi darat. Tujuannya adalah untuk memudahkan penyaluran komoditas perkebunan. Karena itu jalan raya di masa kolonial terhubung dengan pusat perkebunan.
Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah VII Sumsel Babel, Muhammad Fahmi menuturkan, moda transportasi sungai seperti perahu dan kapal memang masih menjadi andalan bagi masyarakat di Sumsel. Mulai dari perahu getek, kapal cepat, ada juga jukung.
Lalu lintas kapal dan perahu baik di dalam Kota Palembang maupun jalur antarkabupaten juga terbilang cukup padat. Terhitung, setidaknya ada 500 kapal melintas Kota Palembang setiap hari, Dari angka itu, ada 70-100 kapal angkutan antarkabupaten di Sumsel. Kapal-kapal itu berlabuh di sejumlah dermaga-dermaga yang sudah tersedia.
Hanya saja, ujar Fahmi, masih banyak serang maupun penumpang yang masih mengabaikan keselamatan. Misalnya tidak menggunakan pelampung selama perjalanan. "Menurut mereka menggunakan pelampung tidak nyaman sehingga hanya disediakan saja tidak dipakai," ucapnya.
Oleh karena itu edukasi dan sosialisasi tentang keselamatan harus diprioritaskan, karena di dalam sungai banyak bahaya yang masih mengintai.
Integrasi
Untuk melestarikan moda transportasi sungai, pemerintah telah mencanangkan integrasi antara moda transportasi darat dengan sungai. Integrasi yang dimaksud, yakni menyatukan kereta ringan (light rail transit/LRT), kendaraan pengumpan, dan angkutan sungai dalam sistem transportasi massal yang terintegrasi.
Namun untuk tahap awal, ungkap Fahmi, sistem integrasi ini masih menyasar pada pusat-pusat bisnis seperti Dermaga 16 Ilir. Jika sistem ini berhasil, pengembangan juga akan dilakukan di dermaga lain yang ada di dalam Kota Palembang seperti Dermaga 7 ulu, 16 ilir, 35 ilir, dan dermaga Jakabaring.
Pembenahan dilakukan secara simultan, mulai dari pembenahan dermaga agar laik digunakan serta digitalisasi sistem agar proses integrasi dapat berjalan. Jika di Palembang berhasil, tentu pengembangan juga akan diterapkan di simpul transportasi sungai lain seperti di Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir.
Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Soeharto menuturkan Palembang memiliki moda transportasi massal yang lengkap mulai dari udara, sungai, dan darat. Keunggulan itu memungkinkan Kota Palembang memiliki sistem angkutan massal yang terintegrasi. "LRT yang nantinya menjadi kiblat transportasi," ucapnya.
Pengembangan ini akan berlangsung secara bertahap disesuaikan dengan anggaran dan juga kebutuhan masyarakat. "Adapun untuk moda transportasi sungai merupakan tahapan terakhir jika semua sistem integrasi angkutan darat sudah terhubung," kata Soeharto.