Perempuan Sulut Protes Investasi yang Berpotensi Merusak Lingkungan
Puluhan perempuan dari 14 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Sulawesi Utara memprotes masuknya berbagai investasi yang berpotensi merusak lingkungan. Maraknya kekerasan seksual juga mengkhawatirkan mereka.
MANADO, KOMPAS — Puluhan perempuan dari 14 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Sulawesi Utara memprotes masuknya berbagai investasi yang berpotensi merusak lingkungan. Di samping itu, mereka menuntut keseriusan pemerintah dalam mencegah dan mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual yang terbengkalai.
Protes dan tuntutan itu mereka sampaikan dalam panggung aspirasi terbuka di Taman Kesatuan Bangsa Manado, Kamis (22/12/2022), dalam rangka Hari Ibu. Acara itu mereka beri tema ”Perempuan Bertutur kepada Negara”.
Gugatan utama yang mereka sampaikan di panggung adalah berbagai investasi yang merusak lingkungan serta ruang hidup yang telah mereka tempati secara turun temurun. Beberapa di antaranya adalah tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe dan hotel Manado Marriott Resort and Spa di Likupang Barat, Minahasa Utara.
Di samping itu, para perempuan juga menyerukan penolakan mereka terhadap pembukaan Griya Sea Lestari 5 di Desa Sea, Minahasa serta gangguan perusahaan kelapa sawit di Desa Tiberias, Bolaang Mongondow. Berbagai pembangunan tersebut menyebabkan para nelayan dan petani kehilangan akses ke laut dan kebun, bahkan sumber air bersih.
Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa, Jull Takaliuang, mengatakan, perlawanan masyarakat di tempat-tempat tersebut membuktikan kelestarian lingkungan tidak diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan. Kebutuhan masyarakat setempat, terutama perempuan yang memiliki peran ganda di ruang publik dan domestik, tidak diperhatikan.
“Perempuan tidak pernah ditanya, apa kemauan mereka untuk lingkungan. Mereka cuma jadi objek (pembangunan) yang tidak pernah diperhitungkan. Padahal, kalau lingkungan rusak, yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan,” kata Jull.
Baca juga: Keluarga Anak Korban Pemerkosaan di Manado Berharap Kasus Tuntas dari Viralitas Hotman Paris
Ia mencontohkan, dalam kasus pembangunan hotel di Likupang Barat, perempuan tidak bisa serta merta disuruh beralih menjadi pemandu wisata karena tidak pernah memiliki kemampuan untuk itu. Saat suami mereka kehilangan akses ke laut untuk menangkap ikan, peran domestik perempuan dalam mengolah makanan bagi anak-anak juga akan hilang.
“Laki-laki mungkin bisa pergi ke daerah lain untuk bekerja, tetapi perempuan tidak bisa serta-merta begitu. Akhirnya, perempuan akan jadi korban pembangunan yang tidak direncanakan berbasis kebutuhan masyarakat,” kata Jull.
Elbi Pieter, perwakilan masyarakat Kampung Bowone, Sangihe, yang menolak PT TMS, mengatakan perempuan selalu terlibat dalam perjuangan di lapangan. Setidaknya tiga kali ia dan ratusan wanita turun ke jalan untuk mencegah akses alat berat dari Pelabuhan Panararu di Tamako ke situs tambang di Bowone.
“Siang-malam kehujanan, menahan lapar, anak-anak kami tidak bisa kami antar ke sekolah karena kami menghadang alat berat. Itu semua karena penyelamatan Pulau Sangihe adalah yang utama bagi kami. Kalaupun tidak ada laki-laki, kami para perempuan akan tetap turun untuk menjaga pulau kami dari kehancuran,” kata Elbi.
Kami sebagai masyarakat cuma memohon dengan sangat agar pemerintah berjuang bersama kami, masyarakat.
Ia juga menegaskan, emas tidaklah dibutuhkan warga. Ia sendiri membuktikan, dua anaknya bisa kuliah meskipun ia hanya berkebun, sementara suaminya menjadi nelayan. ”PT TMS tidak pernah membantu saya. Makanya, sebagai perempuan kita tidak akan pernah menyerah,” tambah Elbi.
Sementara itu, Yasfira Pinamangun yang mewakili masyarakat Desa Paputungan, Jayakarsa, dan Tanah Putih di Likupang Barat mengatakan, pembangunan Manado Marriott Resort and Spa yang berlangsung sejak 2018 sudah 75 persen selesai. Namun, masyarakat kini kehilangan akses ke laut karena dermaga pendaratan nelayan telah ditutup tembok.
Warga juga kehilangan lahan yang telah mereka gunakan untuk tinggal dan berkebun selama bertahun-tahun karena tiba-tiba keluar sertifikat tanah. Selain itu, warga juga mempertanyakan penebangan mangrove di sekitar lokasi pembangunan sejak 2019, sedangkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) baru muncul pada 2020.
”Kami tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Pantai dan lahan kami sudah dipagari tinggi-tinggi. Kami sebagai masyarakat cuma memohon dengan sangat agar pemerintah berjuang bersama kami, masyarakat,” kata Yasfira.
Baca juga: Pantang Berpangku Tangan di Hadapan Tambang
Sementara itu, Lenda Rende, perwakilan masyarakat Desa Sea, menyatakan, warga menolak pembangunan rumah yang menyebabkan rusaknya mata air di sana. ”Sekarang, sekalipun sudah tidak hujan, air yang mengalir ke rumah kami sudah kabur karena penebangan pohon-pohon besar oleh pihak pengembang,” ujarnya.
Sementara itu, aktivis perempuan Sulut, Yuni Wahyuni Srikandi, menuntut penyelesaian berbagai kasus kekerasan seksual. Salah satu yang paling ia soroti adalah kasus kematian CT (10), pengidap kanker yang sekaligus korban kekerasan seksual, yang meninggal pada Januari 2022.
“Sampai Kapolri dan menteri PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) turun, kasus juga tidak selesai. Di mana keadilan? Untuk itu kami tidak akan pernah diam. Perempuan berhak untuk terus mengangkat suara bagi Indonesia,” kata Yuni.
Terkait ini, Jull menyatakan, pemerintah perlu memerhatikan Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Para pelaku kekerasan seksual tidak hanya harus dijebloskan ke penjara, tetapi juga membayar kompensasi dalam bentuk uang demi pemulihan korban.
Menanggapi hal ini, anggota DPRD Sulut dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Melky Pangemanan, yang juga hadir mendengarkan aspirasi para perempuan, menyatakan berbagai keluhan mereka telah diterima di DPRD. Ia secara pribadi menyatakan keberpihakannya kepada masyarakat dalam melawan pemodal besar.
Baca juga: Hari Ibu dan Kemajuan Indonesia
Ia juga menyatakan akan memperkuat supremasi hukum di daerah dengan pembuatan peraturan daerah terkait perlindungan perempuan dan anak. Ini akan menjadi kelanjutan dari perda terkait inklusivisme, dimulai dari perda tentang penyandang disabilitas yang telah diberlakukan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Manado Lenda Pelealu,menyatakan, data nasional menyebutkan delapan dari 10 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Ia menyatakan, perlindungan perempuan akan terus menjadi prioritas pemerintah.