Calon Pekerja Migran asal NTT Beralih ke Kalimantan ketimbang Malaysia
Ribuan calon pekerja migran asal NTT lebih memilih bekerja di Kalimantan ketimbang Malaysia. Upah hampir sama, tetapi Kalimantan dinilai lebih aman.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Para calon pekerja migran Nusa Tenggara Timur dalam dua tahun terakhir lebih memilih bekerja di sejumlah perkebunan sawit di lima provinsi di Kalimantan. Mereka enggan ke Malaysia melalui Nunukan atau Batam karena sering tersandung masalah keimigrasian. Upah buruh sawit di Kaimantan hampir sama dengan di Malaysia, tetapi kondisinya lebih aman.
Herman Manek (54), warga Nunukan, Kalimantan Utara, yang juga menjadi calo pekerja migran Nusa Tenggara Timur (NTT), di Kupang, Rabu (21/12/2022), mengatakan, kebanyakan orang NTT tidak lagi ke Malaysia timur melalui Nunukan ataupun melalui Batam, Kepulauan Riau, menuju Malaysia barat.
”Saat ini ribuan orang memilih bekerja di sejumlah perkebunan sawit di lima provinsi di Kalimantan, wilayah Indonesia. Sampai Mei 2020, masih banyak orang NTT ke Malaysia, saya salah satu dari puluhan pengurus, atau pemerintah sebut calo, mengatur keberangkatan itu. Sekarang sudah sepi. Penghasilan kami pengurus pun menurun,” kata Manek.
Setiap kapal Pelni dari arah barat Indonesia bersandar di Nunukan, tidak ada lagi calon pekerja migran ke Malaysia. Kalaupun ada, mereka melanjutkan perjalanan ke beberapa perusahaan sawit di pedalaman Nunukan atau Kalimantan Utara.
Para tenaga kerja tak tertarik ke Malaysia karena biaya pengurusan dokumen keimigrasian masuk Malaysia yang mahal, yakni sampai Rp 10 juta per orang. Jika melakukan perjalanan lewat jalan tikus secara ilegal, mereka rawan celaka. Beberapa kali terjadi kapal yang membawa calon pekerja migran dari Nunukan menuju Tawau, Malaysia, tenggelam.
Saat ini informasi tentang lowongan di perusahaan sawit di lima provinsi di Kalimantan tersebar. Para pekerja dari sejumlah provinsi di Indonesia, seperti NTT, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan beberapa provinsi di Sulawesi yang relatif lebih dekat dengan Kalimantan, lebih memilih bekerja di kebun sawit negeri sendiri.
Opir Fallo (32), mantan sopir mobil pribadi salah seorang pejabat di Kupang, adalah salah satu yang memilih menjadi pekerja sawit di Kalimantan Tengah. April 2020 lalu, ia berangkat bersama istrinya, Evi Fallo (27), dan seorang anak perempuan mereka, Lidia (5). Mereka menuju salah satu wilayah pedalaman di Kabupaten Barito Utara. Ia bersama ratusan calon pekerja dari NTT, termasuk 43 mantan sopir dari Kupang dan Soe, menuju perusahaan itu.
”Sudah enam bulan saya dan istri kerja di sawit. Saya turunkan tandan sawit dan memuat ke truk. Istri memilih buah yang terserak dan membersihkan pohon sawit sambil menjaga anak, yang juga ikut kami di lahan perkebunan. Honor saya Rp 5 juta, sementara istri Rp 4 juta per bulan. Jadi, kami berdua tiap bulan dapat Rp 9 juta,” kata Opir dengan nada semangat.
Pria asal Amanatun, Timor Tengah Selatan, ini mengatakan, meski baru enam bulan bekerja, sudah membeli sebidang tanah berukuran 15 meter x 20 meter di pinggiran Kelurahan Belo, Kota Kupang, senilai Rp 30 juta. Kini, saudara kandung Opir membantu membangun rumah berukuran 6 meter x 7 meter di lokasi itu.
Setelah rumah selesai dibangun, Opir akan membuka usaha di Kupang. Ia ingin membeli mobil angkot bekas layak pakai sebagai usaha harian dan sebuah kios bahan pokok yang dikelola istrinya.
Matias Ola Daton (45), warga Adonara, Flores Timur, yang baru tiba dari Sabah, Malaysia, ke kampung asal di Adonara mengatakan, pekerja migran baru dari NTT ke Malaysia sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada. ”Kalau ada, biasanya ada pengumuman atau informasi dari grup-grup WA orang NTT di sana, untuk mencarikan lowongan pekerjaan. Tetapi, dalam 1-2 tahun terakhir tidak ada informasi soal itu,” kata Daton.
Ia mengaku telah berkomunikasi denganAgus (41), anggota keluarga yang sedang bekerja di perkebunan sawit di Kalimatan Timur. Agus adalah sopir dump truck di perusahaan sawit itu dengan upah Rp 15 juta per bulan. Gaji sebesar itu hampir sama dengan pekerja sawit dan sopir-sopir di perkebunan sawit Malaysia timur.
Daton pun berencana, setelah merayakan Natal dan Tahun Baru di kampung asal, ia akan mengikuti jejak Agus untuk bekerja di Kalimantan Timur. ”Kerja di dalam negeri tidak perlu pengurus dokumen keimigrasian. Kita kerja dengan aman dan tenang. Bisa bepergian ke mana-mana. Tidak sembunyi di hutan seperti di Malaysia bagi pekerja gelap,” katanya.
Kerja di dalam negeri tidak perlu pengurus dokumen keimigrasian. Kita kerja dengan aman dan tenang.
Koordinator Konferensi Serikat Pekerja Indonesia Kalimantan Kornelis Gato mengatakan, jumlah TKI asal NTT yang bekerja di Kalimantan Timur tercatat 135.500 orang dari total 239.540 orang. Mereka tersebar di 359 perusahaan sawit, antara lain milik pengusaha Indonesia, Malaysia, Thailand,dan Sri Lanka. Ini belum termasuk wilayah Kalimantan yang lain.
”Total pekerja migran asal NTT di Kalimantan sekitar 500.000 orang. Selain di lahan sawit, juga di sektor pertambangan, logging kayu, operator pabrik seperti CPO, sopir truk, dan buruh bangunan di ibu kota negara (IKN Nusantara). Saat ini pemerintah sedang butuh 7.500 buruh bangunan di IKN, tetapi kami sedang bicara soal upah mereka,” kata Gato.