Komnas HAM Selidiki Dua Laporan Pelanggaran HAM Lingkungan di Sulut
Komnas HAM beraudiensi dengan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey untuk menyelidiki dua laporan dugaan pelanggaran HAM di Sulut. Sementara investigasi berlangsung, Olly menegaskan pemprov telah patuh hukum.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia beraudiensi dengan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, Rabu (21/12/2022), di Manado untuk menyelidiki dua laporan dugaan pelanggaran HAM terkait penyerobotan lahan masyarakat serta reklamasi pantai. Sementara investigasi berlangsung, Olly menegaskan pemprov telah patuh terhadap hukum.
Dalam audiensi itu, yang dilaksanakan tertutup bagi publik di Kantor Gubernur Sulut, Komnas HAM diwakili oleh dua komisioner, yaitu Hari Kurniawan dan Uli Parulian Sihombing. Topik pembahasan adalah penggusuran lahan perkebunan masyarakat di Desa Kalasey Dua, Minahasa, untuk dijadikan lokasi pembangunan Politeknik Pariwisata Manado serta reklamasi Pantai Malalayang I, Manado, untuk dijadikan pusat bisnis dan pariwisata.
Ditemui selepas acara, Hari dan Uli mengaku belum bisa memberikan informasi apa pun terkait hasil audiensi. ”Kami masih investigasi. Untuk kasus di Kalasey, itu juga masih awal sehingga kami belum bisa kasih informasi. Ini kaitannya dengan kode etik,” kata Hari.
Sebelumnya, Komnas HAM telah menerima laporan dugaan pelanggaran HAM dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado yang menjadi pendamping warga Kalasey Dua pada pekan kedua November 2022. Adapun laporan terkait reklamasi diterima dari Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut antara Agustus dan September.
Di lain pihak, Olly menyatakan, pemprov menjalankan pengambilan lahan serta pemberian izin reklamasi tanpa melanggar aturan apa pun. Dalam kasus di Kalasey, misalnya, ia menyebut pemprov telah mengantongi sertifikat sejak 1982 di wilayah yang selama bertahun-tahun juga dijadikan kebun oleh masyarakat.
Direktur LBH Manado Frank Tyson Kahiking mengatakan, kajian dari pihaknya menunjukkan lahan sekitar 20 hektar yang ditanami pisang, kelapa, dan umbi-umbian itu telah digunakan oleh warga sejak 1935. Saat itu, mereka menjadi buruh di sebuah perusahaan perkebunan bernama PT Asiatik.
Hak guna usaha (HGU) perusahaan tersebut berakhir pada 1982 dan warga mulai menggarap lahan tersebut secara mandiri. Namun, pemprov disebut secara sepihak mengambil alih lahan tersebut, lalu menghibahkannya kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Frank menyebutkan, pelanggaran HAM juga terjadi dalam proses eksekusi lahan oleh kepolisian serta anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Ia mengklaim terjadi kekerasan ketika warga bentrok dengan aparat. Kemudian, sebanyak 46 orang, termasuk wartawan dan pengacara LBH Manado, diringkus dan dibawa ke markas Polresta Manado.
Kendati demikian, Olly mengatakan, pemprov telah menjalankan eksekusi lahan sesuai prosedur. Keabsahan kepemilikan lahan oleh pemprov dibuktikan dengan kemenangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado terhadap gugatan warga. Pemprov Sulut kembali dimenangkan dalam gugatan banding di Pengadilan Tinggi TUN Makassar.
Menurut Olly, pemerintah telah mengambil jalan tengah dengan memberikan sertifikat lahan kepada beberapa warga pada September lalu, bertepatan dengan kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN). ”Namun, ada sekelompok orang yang masih belum mau menerima,” katanya.
Reklamasi
Terkait reklamasi di Pantai Malalayang I, Olly menyatakan, izin reklamasi sudah lengkap. Izin itu meliputi izin lokasi reklamasi, surat keputusan kelayakan lingkungan hidup, serta izin pelaksanaan reklamasi dari pemprov. Ia tak keberatan dengan upaya investigatif Komnas HAM.
Pantai itu adalah satu-satunya ruang pendaratan nelayan di Manado yang belum diprivatisasi.
”Semua informasi yang dibutuhkan sudah kami sampaikan, tinggal mereka cek lapangan saja. Akan tetapi, pembangunan harus dilanjutkan, namanya juga investasi. Yang senang juga rakyat Sulut, kalau ada investasi besar, akan ada lapangan pekerjaan,” katanya.
Reklamasi di pantai tersebut dilaksanakan oleh PT TJ Silfanus di perairan tepi Kampung Baru serta Kampung Bantik dengan luasan 5,33 hektar. Reklamasi itu akan membuka jalan bagi pembangunan hotel bintang lima, pusat pameran, mal, teater outdoor, serta wahana olahraga air.
Nilai investasi Rp 2,5 triliun itu nantinya memprivatisasi area di sepanjang 500 meter garis pantai. Saat ini, penimbunan dengan bongkahan batu-batu besar sedang berlangsung. Proses ini beberapa kali dihentikan secara paksa oleh warga setempat, hampir semuanya nelayan, yang menolak pembangunan tersebut.
Ketua Antra Sulut Rignolda Djamaluddin mengatakan, pantai itu adalah satu-satunya ruang pendaratan nelayan di Manado yang belum diprivatisasi. Pantai yang berfungsi sebagai akses menuju laut itu menjadi ruang hidup masyarakat dan harus dilindungi, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Di samping itu, penimbunan batu ia sebut sudah merusak terumbu karang di pantai. Menurut hasil riset Scientific Exploration Team yang dipimpin Rignolda pada Agustus 2022, Pantai Malalayang I terbukti sebagai wilayah tumbuhnya karang tepi (fringing reefs) serta tempat habitat kima, yaitu kerang dalam genus Tridacna yang hidup di perairan laut hangat.
Kerusakan ini pun ia sebut melanggar Undang-Undang No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Berdasarkan Pasal 35, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menimbulkan kerusakan ekosistem terumbu karang.
Kendati begitu, Olly meragukan temuan tim Rignolda. ”Kamu sudah pernah menyelam di situ belum? Kita pakai logika. Di mana ada muara sungai, pasti tidak ada terumbu karang. Di situ muara Sungai Bahu,” katanya ketika ditanya tentang kerusakan terumbu karang.
Menanggapi ini, Rignolda justru ingin Olly mendapatkan informasi yang tepat tentang potensi kerusakan alam bahari. Apalagi, Manado pernah memiliki peran penting dalam konservasi keanekargaman hayati di laut pada 2009, yaitu dengan menjadi tuan rumah World Ocean Conference (WOC).
”Divecenter pertama di Manado, NDC (Nusantara Dian Centre), yang sekarang menjadi resor, itu dulu bertempat di sana (Pantai Malalayang I) karena wilayah itu adalah spot terumbu karang. Sekarang masih ada Minanga Divers Manado yang melanjutkan peran NDC. Jadi, kami tetap pada pendirian bahwa reklamasi ini merusak terumbu karang,” tuturnya.
Selain itu, PT TJ Silfanus disebut belum mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diatur dalam beberapa aturan turunan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Alasan perusahaan, izin lokasi reklamasi di Pantai Malalayang 1 telah diurus sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan.