Penerapan Sains dan Teknologi Didorong untuk Kelautan Berkelanjutan
Sejatinya potensi laut yang dimiliki Indonesia menjadi harapan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Butuh pendekatan sains dan teknologi agar pengelolaannya optimal.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Di tengah laju pertumbuhan penduduk dunia dan kebutuhan pangan termasuk protein, laut menjadi salah satu potensi yang menjanjikan. Namun, perluasan konservasi laut dan penerapan penangkapan berbasis kuota juga diperlukan untuk pelestarian. Karena itu, diperlukan komitmen bersama dibarengi penerapan sains dan teknologi untuk memaksimalkan pengelolaan potensi kelautan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan.
Hal ini mengemuka dalam Seminar ”Revitalisasi Arah Pembangunan Kemaritiman Menuju Indonesia sebagai Poros Matirim Dunia”. Seminar dilaksanakan secara hibrid melalui pertemuan daring dan tatap muka, Sabtu (17/12/2022). Pertemuan tatap muka berlangsung di Kampus Universitas Hasanuddin.
Sejumlah peneliti, pemerhati, dan praktisi kelautan mengikuti seminar dengan pembicara, antara lain, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan I Nyoman Radiarta. Selain itu, Prof Okky Karna Radjasa, Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Dalam pemaparannya, I Nyoman Radiarta mengatakan, aset laut di Indonesia cukup besar. Dengan luas 6,8 juta kilometer persegi dan panjang garis pantai 108.000 kilometer, laut bukan hanya memiliki potensi perikanan, tapi juga mangrove, lamun, pariwisata, hingga fungsi produksi oksigen dan penyerapan senyawa kimia.
”Di tengah potensi yang besar ini ada banyak persoalan yang dihadapi, di antaranya degradasi ekosistem laut. Saat ini, degradasi ekosistem laut makin meningkat dengan indeks kesehatan laut yang rendah, yakni 65 dari 100. Pada terumbu karang, 71 persen dalam kondisi buruk, 42 persen padang lamun dalam kondisi tidak sehat, dan laju deforestasi mangrove mencapai 19.000 hektar per tahun,” katanya.
Radiarta menambahkan, sebenarnya hingga 2021 Indonesia telah memperluas kawasan konservasi laut menjadi 28,4 juta hektar. Luasan ini melebihi komitmen 20 juta hektar dan rencana aksi nasional 26,4 juta hektar. Namun, jumlah ini baru mencakup 8,75 persen dari laut Indonesia baik teritorial maupun pedalaman. Jumlah ini juga baru melindungi kurang dari 30 persen ekosistem laut utama, yakni terumbu karang, magrove, dan lamun.
Karena itu, upaya perluasan konservasi laut akan terus dilakukan. Perlindungan akan dilakukan dengan aktivitas perikanan berkelanjutan dengan sistem kuota penangkapan. Namun, kepentingan nelayan kecil akan tetap diakomodasi dengan berbagai kebijakan yang bersifat melindungi.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo S Brodjonegoro mengatakan, sejauh ini AIPI menyadari pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pemgembangan potensi sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.
”Indonesia harus memiliki sistem berbasis teknologi dalam penegakan kelautan serta memanfaatkan kekayaan alam Nusantara untuk kesejahteraan masyarakat. Kita memiliki Deklarasi Juanda yang sudah lama dan ini dapat menjadi pendekatan untuk pengembangan potensi perekonomian Indonesia terutama sektor maritim,” katanya.
Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Matitim BRIN Prof Okky Karna Radjasa mengatakan, banyak penelitian yang bisa diterapkan untuk menghasilkan laut bersih, sehat, aman, dan berkelanjutan. Di BRIN bahkan sudah terbentuk pusat riset laut dalam yang bersifat multidisiplin. Pusat riset ini nantinya akan berusaha mengeksplorasi potensi yang selama ini terabaikan baik aspek biologi maupun perikanan dan aspek sumber daya geologi.
”Sebuah kapal penelitian saat ini sedang dibuat di Norwegia dengan ukuran panjang sekitar 80 meter dan dilengkapi peralatan yang bisa mencapai kedalaman 11.000 meter. Nantinya hasil penelitian BRIN bisa menjadi rekomendasi pada pemerintah untuk melakukan berbagai langkah dan kebijakan termasuk dalam sektor mengembangkan potensi kekayaan laut sekaligus menjaga keberlanjutannya,” katanya.
Hasanuddin Atjo, pelaku industri kemaritiman, mengatakan, sebenarnya memanfaatkan potensi kekayaan laut tak melulu harus mengandalkan penangkapan. Persoalannya selama ini budidaya dengan sentuhan sains dan teknologi masih kurang masif dilakukan.
”Sejumlah negara, seperti Ekuador, yang memiliki panjang garis pantai atau luas lautan yang jauh lebih kecil dari Indonesia, nyatanya bisa mengekspor hasil laut lebih besar. Kita hanya belum banyak melakukan budidaya dengan memanfaatkan teknologi. Padahal, jika dioptimalkan, ini bisa jadi potensi ekonomi yang besar. Laju pertumbuhan penduduk dunia cukup tinggi dan kebutuhan pangan terutama protein cukup besar. Mestinya peluang ini bisa kita ambil dengan pemanfaatan teknologi,” katanya.